Abdurrahman Muhammad Fachir
Dubes RI untuk Mesir
Negeri kinanah Mesir, khususnya Universitas al-Azhar, masih tak tertandingi menjadi tujuan utama pelajar/mahasiwa yang ingin mendalami ilmu-ilmu Islam. Tapi nyatanya, banyak dari mereka mengalami masalah saat belajar di sana. Tingkat kegagalan mahasiswa Indonesia pun cukup tinggi.
Apa kiat dan usaha Pemerintah Indonesia, melalui Kedutaan Besarnya menganggulangi masalah ini? Berikut petikan wawancara Fathurroji, reporter Majalah Gontor dengan Abdullah Muhammad Fachir, Duta Besar RI untuk Mesir, beberapa waktu lalu.
Bagaimana kondisi pelajar/mahasiswa Indonesia di Mesir?
Beberapa bulan lalu, tepatnya April, kami mengadakan lokakarya tentang pendidikan di al-Azhar dengan tema ”Back to Campus”.
Ketika kami menyampaikan ide ini kepada Syeikh al-Azhar, kening beliau berkerut sambil berkata: ”Apa yang salah dengan al-Azhar, kenapa harus ada lokakarya. Seolah-olah ada yang perlu diperbaiki dari al-Azhar.
Kami katakan, di al-Azhar tidak ada yang salah. Justru kami yang salah. Sebab kami tidak menerapkan kreteria yang al-Azhar tetapkan. Hingga banyak pelajar/mahasiswa Indonesia di universitas itu mengalami masalah dalam belajar. Tingkat kegagalan mahasiswa kita cukup tinggi. Tingkat keberhasilannya hanya 60%.
Mengapa?
Ini disebabkan oleh persiapan yang kurang baik dari sisi akademis maupun mental. Juga dipicu oleh sistem pendidikan al-Azhar yang sangat luwes dan independen, yang tidak mewajibkan mahasiswa untuk hadir kuliah atau dibebani tugas ilmiah. Kombinasi keduanya menyebabkan tingginya tingkat kegagalan mahasiswa kita.
Tapi kita tidak bisa menyalahkan sistem al Azhar. Karena sistemnya memang sudah memberi banyak kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dengan biaya gratis. Mahasiswa dianggap sudah dewasa. Tapi sayangnya mahasiswa kita banyak yang belum siap menghadapi sistem ini.
Apa upaya menanggulanginya?
Kita pelajari dan perlahan mencarikan jalan keluarnya. Salah satu masalahnya adalah kecenderungan rumah-rumah daerah yang dibangun atas bantuan pemerintah daerah asal mahasiswa Indonesia (seperti rumah adat dari Sulawesi, Kalimantan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebaginya), dimanfaatkan kurang maksimal. Bahkan cenderung menjadi faktor lekatkannya sektarianisme.
Kami coba menggunakan itu untuk mencairkan kondisi yang ada. Caranya, menjadikan rumah-rumah daerah itu layaknya ”darsul idhâfi” (pelajaran tambahan) di Gontor. Misalnya, rumah Sulawesi kita gunakan untuk pendalaman materi-materi dan kuliah tambahan Fakultas Syariah, atau Fakultas Usuludin di rumah Jawa Tengah.
Selain itu, kami juga mengundang dosen-dosen al-Azhar didampingin asisten dosen dari kalangan senior mahasiswa Indonesia untuk memberi kuliah.
Kami kedepankan hapalan al-Qur’an sebagai syarat. Kami juga membuat gerakan masal untuk menghafal al-Qur’an menggunakan rumah-rumah daerah itu.
Ada rencana mendirikan asrama untuk mahasiswa Indonesia? Apa alasannya?
Utamanya untuk membantu teman-teman mahasiswa di Mesir. Karena mereka rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Dan karena alasan ekonomi, tak sedikit dari mereka terpaksa tinggal di daerah yang cukup jauh dari kampus.
Awal ide ini?
Sebenarnya ide membangun asrama merupakan bagian dari rekomendasi lokakarya yang kami selenggarakan, dalam upaya meningkatkan prestasi para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir. Idenya berasal dari keprihatinan kami yang mendapati tingginya tingkat kegagalan mahasiswa kita.
Maka melalui Menteri Agama, dan restu Pimpinan Pondok Gontor yang kala itu hadir, kami datangkan sekitar 60 orang tokoh seperti Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Pemda-pemda, Gubernur, DPR, Deplu, Depdiknas, Ormas, dan para alumni al-Azhar.
Apa hasilnya?
Lokakarya itu menghasilkan 61 rekomendasi, di bagi dalam tiga tahap: persiapan, pembinaan selama kuliah di Mesir, dan persiapan sebelum pulang.
Terkait tahap persiapan sebelum pulang, kami ingin agar mahasiswa Indonesia tak lagi gamang ketika ingin pulang ke tanah air. Mereja tak lagi bingung akan membaktikan ilmu ke mana. Sektor pendidikan maupun lapangan pekerjaan lainnya. Karena itulah kami mengundang pihak-pihak Pemda untuk turut datang.
Yang paling krusial, adalah masalah konsentrasi mahasiswa Indonesia selama proses belajar di Mesir. Maka dihasilkan salah satu rekomendasi yang berisi agar pemerintah pusat dan daerah bersama-sama mengupayakan mendirikan asrama. Dasar itulah yang mendorong kami melakukan kontak dengan Rektor Universitas al-Azhar Mesir.
Kronologi hingga menghasilkan kesepakatan?
Saat bertemu Rektor al-Azhar, kami utarakan bahwa kami punya niat mencari lahan untuk asrama yang berdekatan dengan kampus al-Azhar, agar mahasiswa mudah mengikuti perkuliahan.
Ternyata, respon Rektor sangat luar biasa dan mengejutkan. Beliau mengatakan: ”Kenapa hanya berdekatan dengan kampus, dan kenapa tidak di dalam kampus saja?” Rektor juga menunjukkan bahwa masih ada lahan kosong di dalam kampus al-Azhar.
Terus terang ini luar biasa, dan menandakan citra Indnesia sudah begitu lekat bagi al-Azhar.
Statusnya kelak?
Rektor al-Azhar menegaskan bahwa pihak al-Azhar yang akan menyiapkan tanah, dan pihak kita yang membangun secukupnya. Selepas itu diserahkan kepada pihak al-Azhar untuk dikelola. Mereka yang akan membimbing semua penghuni, dan menjamin akan memberi makan mereka tiga kali sehari.
Lahan yang disediakan untuk kita bangun seluas 200x80 meter. Setelah dibangun, urusan nama gedung diserahkan kepada kita. Bisa disesuaikan dengan nama penyumbang, atau apapun.
Berapa gedung rencananya akan dibangun?
Lima gedung. Satu gedung diasumsikan menghabiskan dana 14 milyar. Gedung pertama berlantai enam, dan diperkirakan bisa menampung 600 mahasiswa. Dan jika bisa genap dibangun lima gedung itu, jelas akan mampu menampung banyak mahasiswa.
Penghuninya nanti tidak hanya khusus untuk orang Indonesia. Tapi komposisinya 50% dari Indonesia, 25% Mesir, dan 25% orang asing lainnya. Bayangan kami, satu kamar akan diisi empat orang: dua dari Indonesia yang berlainan daerah, satu asal Mesir, dan satu lagi orang asing.
Dari kalangan mahasiswa Indonesia, masih dipikirkan apakah akan diutamakan mereka yang berprestasi atau mahasiswa baru.
Mengapa proporsinya demikian?
Pencampuran ini untuk menghindari kelompok-kelompok primordial mahasiwa Indonesia yang hingga kini masih ada. Seperti kelompok mahasiswa Jakarta yang hanya mau bergaul dengan kawan asal Jakarta. Yang asal Sunda, Jawa atau daerah lainnya juga hanya mau bergaul dengan anak asal daerahnnya saja.
Bahasa asing pun menjadi mandek. Hasilnya, tak sedikit mahasiswa Indonesia yang sudah dua tahunan hidup di Mesir, tapi masih belum juga fasih berbahasa Arab.
Makanya percampuran yang akan dilakukan bertujuan agar mahasiswa kita bisa lebih aktif belajar bahasa, meluaskan wawasan dan interaksi antarmahasiswa. Di samping untuk melahirkan nilai kompetisi dalam aspek akademis.
Upaya yang telah dilakukan untuk merealisasikan rencana ini?
Sejak mendapat respon sangat positif dari Rektor al-Azhar, kami mencoba menemui Menteri Agama waktu itu, Maftuh Basuni. Beliau merespon baik, dan menjanjikan akan berusaha mencarikan bantuan.
Selain itu?
Kami melakukan safari ke daerah-daerah asal mahasiswa Indonesia. Di Sumera Utama kami bertemu Gubernur Syamsul Arif, yang sangat antusias mendukung. Bahkan dijanjikan akan mengupayakan membangun satu gedung.
Di Aceh kami bertemu Wakil Gubernur yang juga berminat mendukung satu gedung. Selain itu kami ke Jawa Tengah, Jawa Barat, dan ke NTB yang kebetulan Gubernurnya masih tercatat sebagai mahasiswa S3 di al-Azhar.
Gubernur Kalimatan Timur juga menyatakan bahwa DPRD sudah menyetujui bantuan untuk proyek ini. Sementara Gubernur DKI Fauzi Bowo, intinya mendukung, tapi masih harus mempelajari lagi aturan yang ada agar tidak keliru.
Kapan target realisasinya?
Karena ini adalah upaya bersama banyak kalangan, kami tidak menargetkan apa-apa. Biar berjalan apa adanya. Ke depan mungkin tak hanya lima gedung. Bisa jadi 10 atau lebih. Tergantung batuan dari daerah-daerah asal mahasiswa kita.
Bahkan, orientasinya kelak tak hanya gedung. Bisa juga gedung perkuliahan, komputerisasi, atau lainnya. Tapi kita akan upayakan hal yang paling urgen untuk anak-anak kita saat ini.
Nasib rumah daerah yang sudah ada selama ini?
Sekarang telah ada sekitar 11 rumah daerah. Sebaiknya rumah-rumah daerah itu dijual saja, karena menurut saya keberadaannya kontra-produktif. Para mahasiwa hanya berkumpul dengankawan daerahnya. Bisa dikatakan mereka cuma pindah kampung.
Sebab, untuk apa belajar jauh-jauh ke Mesir, tapi tidak memerluas wawasan. Rumah-rumah daerah itu bisa digunakan bukan hanya untuk kepentingan daerah saja.
Mengenai upaya seleksi mahasiswa yang belajar ke Mesir?
Saat ini kami tengah mengupayakan untuk mengundang Syeikh al-Azhar untuk bertandang ke Indonesia. Intinya untuk menandatangani MoU pihak al-Azhar dengan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama, berkenaan dengan seleksi mahasiswa.
Selama ini memang sudah ada seleksi, tapi sayang belum tertata baik. Pelaksaannya pun masih menimbulkan semacam ketidakjelasan, siapa yang melakukan apa.
Maksudnya?
Selama ini, baik Departemen Agama (Depag) maupun Kedutaan Mesir sama-sama melakukan seleksi. Tapi standarnya tidak ada. Kita sudah menyusun MoU yang sudah disetujui oleh al-Azhar tapi belum ditandatangani.
MoU itu mencakup uraian bahwa Depag hanya mengurusi aspek administratif, karena memang hanya Depag yang memiliki jaringan dengan madrasah dan pesantren-pesantren di Indonesia, sementara Kedutaan Mesir tidak. Pendaftaran pun hanya mengandalkan Depag.
Pihak kedutaan hanya bertugas dalam urusan visa. Tanpa harus mengurus tes calon mahasiswa. Penguji akan didatangkan langsung dari dosen-dosen al-Azhar yang dikirim ke daerah-daerah di Indonesia.
Tinggal melihat kesiapan IAIN di daerah dan Pemda untuk memanfaatkan dosen-dosen yang akan datang hanya sekitar dua minggu untuk menguji.
Jadi, tidak akan ada lagi kong kalikong penyeleksian. Karena semua penguji dan bahan (soal) ujian dari pihak al-Azhar.
Rencana lainnya?
Kami mengharap, ketika Syeikh al-Azhar datang ke Indonesia, beliau tak cuma menandatangani MOU. Presiden RI kita harapkan bisa menyampaikan keinginan Indonesia untuk berkontribusi pada wakaf di al-Azhar.
Sebab, sejak Indonesia merdeka, al-Azhar sudah banyak memberi sumbangan kepada puluhan ribu kader pemimpin Indonesia. Tapi di lain pihak, kita tak pernah sekalipun berkontribusi kepada wakaf al-Azhar.
Apa yang harus kita lakukan?
Selama ini, tangan kita selalu di bawah. Kita harus malu dan berusaha untuk membalas kebaikan itu. Sebab menurut saya, Mesir tidaklah sekaya Indonesia, dan ekonominya juga tidak sebesar kita.
Apalagi saat ini ada lebih dari 5000 orang mahasiswa Indonesia di Mesir. Kebanyakan belajar di al-Azhar. Menurut data, setiap tahun, al-Azhar harus memberi bantuan kepada mahasiswa kita sebesar 23,6 miliar. Baik dalam bentuk SPP yang murah, atau menampung secara gratis lebih dari 700 mahasiswa Indonesia di asrama-asrama al-Azhar yang diberi makan tiga kali sehari.
Belum lagi ada sekitar 1200 orang mahasiswa yang setiap bulan menerima beasiswa 160 pound Mesir dari al-Azhar. Karena itu kita harus melakukan balance (penyeimbangan), dengan memberi kontribusi kepada wakaf al-Azhar.
Rencana kita membangunan asrama di kampus al-Azhar, merupakan upaya peran kita dalam wakaf al-Azhar untuk kepentingan umat Islam. Keuntungannya akan berbalik kepada kita semua.
Anak-anak kita akan ditampung di sana. Dan sekalipun juga akan nampung orang asing, kepentingan untuk anak-anak kita juga ada, seperti pengembangan bahasa dan wawasan mereka.
Bentuk kontribusi kita yang paling simpel kepada al-Azhar adalah itu. Disamping akan sangat baik bagi pencitraan bangsa dan mahasiswa kita di Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar