Jumat, 13 November 2009

Haji Mandiri Menuju Mabrur

Wawancara Fathurroji NK bersama Sekjen Penyelenggara Haji & Umrah Departemen Agama Drs Haji Abdul Ghafur Djawahir.

Jamaah haji mandiri, itulah yang kerap didengungkan Departemen Agama dalam melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Kemandirian bukan hanya dalam urusan manasik dan pelaksanaan ibadah haji saja, tapi juga mandiri dalam urusan perjalanan haji.

Jamaah haji yang mampu mandiri, akan memberi kekhusyu’an beribadah. Kemandirian yang tentunya didasarkan oleh ilmu. Artinya, kemandirian lahir karena memahami ilmu untuk berhaji, hingga saat melaksanan haji tak banyak lagi merepotkan orang-orang sekitar, dan jamaah pun bisa fokus beribadah mencapai haji mabrur.

Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji Departemen Agama Drs Haji Abdul Ghafur Djawahir sempat mengupas isu ini bersama reporter Majalah Gontor Fathurroji NK beberapa waktu lalu.

Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Departemen Agama (Depag) mengarahkan jamaah haji agar bisa mandiri?

Haji mandiri dalam pengertian bahwa jamaah haji tidak tergantung dengan siapapun. Ketidakan tergantungan itu artinya bisa mandiri dalam hal manasik, hingga perjalanan.

Sebab, agar seorang jamaah memeroleh haji yang baik, ia memang harus tahu tentang manasik dan perjalanan. Tapi jangan malah sok tahu tapi akhirnya tersesat, kemudian terkena masalah-masalah lain yang akhirnya mengurangi kekhusyu’an.

Haji mandiri akan paham betul tentang manasik, perjalanan, perumahan, bagaimana air, bagaimana kalau tersesat, dan bagaimana semua mengatasi semua itu.

Apa yang mendasari ide haji mandiri ini?

Karena banyak keluhan dari jamaah, yang ingin kembali menunaikan ibadah haji kalau ada rezeki, karena merasa hajinya terduhulu belum sempurna. Padahal saat ini jika seseorang ingin kembali haji, akan sulit, karena masalah kuota.

Selain itu, akibat tidak mandiri, banyak jamaah yang tertipu. Misalnya jamaah yang akan berangkat kloter awal atau akhir, mereka didramatisir oleh orang luar, sehingga dituntun membayar sekian. Jadi, banyak juga penipuan-penipuan tidak hanya dalam urusan perjalanan. Di saat ibadah nanti juga dikhawtirkan akan ada.

Semua ini kami lakukan untuk kepentingan jamaah, agar pelaksanaan ibadahnya lebih baik. Jamaah pasti didahulukan kepentingannya, termasuk dilindungi undang-undang. Masalahnya tinggal bagaimana pembinaan, pelayanan dan perlindungan bagi mereka.

Kalau jamaah tidak mandiri, mudah akan mudah dipermainkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Mohon maaf misalnya, mengambil koper yang sebenarnya gratis, tapi ada oknum suka meminta uang untuk administrasi koper. Hal kecil-kecil seperti ini bisa menjadi sapi perahan. Karena itu harus kita lindungi.

Berarti, banyak orang yang memanfaatkan ketidaktahuan jamaah haji kita?

Ya. Di Indonesia banyak orang yang ingin meraih hasil dari jamaah haji. Calon jamaah haji sering disetting agar tidak tahu tentang aturan yang ada, sehingga mereka mudah tergantung kepada perusahaan atau orang yang ia ikuti.

Misalnya urusan kloter pertama, ada jamaah yang minta katabelece untuk mendapatkan kloter pertama dengan imbalan uang jika berhasil. Jadi jamaah memang sengaja dibuat tidak mandiri.

Soal layanan yang kurang maksimal di Tanah Suci?

Ya ada ragam argumentasi. Misalnya, haji plus yang tinggal di hotel bintang lima kelas internasional, saat haji mencapai puncak, satu kamar yang ada bisa ditempati empat orang. Kebanyakan melebihi standar, karena banyaknya jamaah.

Selain itu, dalam tradisi haji, biasa pada jam yang sama semua jamaah bergerak menuju satu titik yang sama. Hotel pun akhirnya pun penuh dan kondisinya tidak lagi menjadi seperti hotel bintang lima.

Belum lagi yang dialami jamaah regular. Satu kamar mereka terkadang harus rela mengisinya sampai sepuluh orang. Belum lagi jamaah dalam satu kamar ada yang senang tinggal dengan ruang AC, ada pula yang tidak. Ada yang bisa menggunakan toilet, ada pula yang tidak. Kalau mereka tidak sabar, maka lagi-lagi cacian yang terlontar, baik kepada penyelenggara maupun Allah. Kalau niat ibadah tidak kuat, biasanya jamaah akan komplain terus kepada penyelenggara.

Maka, harus ada sikap saling tolong menolong antarjamaah. Yang pintar memberi pengetahuan kepada yang belum tahu. Yang punya tenaga lebih kuat menolong yang lemah. Dan seterusnya.

Begitu juga urusan kendaraan jamaah haji yang disiapkan pemerintah Arab Saudi. Sopir yang bekerja semuanya outsorcing. Janji ketepatan dan kelayakan kendaraan tidak terjadi, karena ramainya jamaah, dan kendaraan pun harus mengantar jamaah ke banyak tempat.

Jamaah kita banyak yang tidak sabar dan tak sadar dengan kenyataan ini. Begitulah, meski banyak orang berpendidikannya tapi karena kurang mandiri dalam berhaji yang didapat hanya terus komplain.

Karena itu, pembinaan harus sesuai dengan amanat undang-undang, dibarengi dengan peningkatan pelayanan. Sering terjadi, jamaah sudah kita layani dengan baik, tapi ia tidak merasa dilayanai, karena tidak paham akibat mendapat informasi keliru atau kurang jelas.

Kelemahan Depag untuk menciptakan haji mandiri?

Kelemahannya terletak pada minimnya aparat yang mengurusi ini yang hanya sampai tingkat kabupaten. Dan itupun hanya dilakukan oleh dua hingga tiga orang, dengan urusan rutin yang sangat banyak.

Kini kami mulai memberdayakan Kantor Urusan Agama (KUA). Karena merekalah yang kami nilai dekat dengan masyarakat dalam urusan ini. Sayangnya, penataran yang dilakukan KUA, selama ini masih terlalu banyak aspek manasiknya, dan kurang tentang kebijakan. Ke depan akan disesuaikan agar KUA juga menguasai administrasi dan kebijakan Depag.

Langkah Depag menciptakan haji mandiri?

Depag telah membentuk gugus tugas satuan-satuan yang langsung dekat dengan jamaah. Langkah pertama, memberdayakan KUA.

Program ini memang butuh waktu. Sebelum bisa menatar seluruh KUA secara bertahap, kami menatar Trainer of Trainees (TOT). Di samping penataran kebijakan, juga ditatar pokok-pokok masalah ibadah manasik.

Peran KUA ini bukan jalan sendiri, atau menjadi “KBIH plat merah” seperti dikuatirkan sebagian orang. KUA selaku manajer di tingkat paling bawah, bisa memercayakan tokoh masyarakat maupun para ahli di daerahnya. Atau bekerjasama dengan para ulama dan asatidz yang telah diberi sarana dan dasar-dasar kebijakan.

Sebelum kebijakan ini diberlakukan, apa peran KUA?

Selama ini aparat Depag yang memagang penuh urusan haji. Itupun dikerjakan orang SDM yang terbatas. Kekurangan ini sekarang akan ditutupi oleh pegawai KUA yang dilibatkan.

Kami juga mengupayakan adanya dana untuk KUA, agar kelak KUA bisa memberdayakan masyarakat. KUA memang sudah biasa berhubungan dengan masyarakat, baik di masjid, pernikahan, ceramah, atau pertemuan, dan mereka sangat bisa menyampaikan pengetahun tentang haji dan urusan-urusannya. Dengan begitu, diharapkan calon jamaah haji akan tahu tentang ibadah haji lebih awal dan selanjutnya dapat lebih mandiri.

Mekanismenya?

Yang mengorganasi urusan pendaftaran haji memang

Depag Kabupaten atau Kota bertugas menerima pendaftaran. Begitu di kabupaten, Kantor Depag Kabupaten/Kota memberi tahu segala informasi tentang jamaah kepada KUA-KUA setempat melalui sistem komputer Siskohat.

Begitu ada calon pendaftar yang memiliki batas cukup dana ONH Rp 20 juta, ia sudah lekas mendapat kursi yang daftar namanya diberikan ke masing-masing KUA.

Kalau sistem yang lalu biasanya pembinaan dilakukan begitu si calon haji akan berangkat ke Tanah Suci. Dalam kondisi ini jamaah hanya mendapat 16 kali penataran. Dengan sistem yang baru, jumlah bobot penataran semoga akan ditingkatkan hingga lebih dari 20 kali. Semakin banyak jamaah mendapat pembinaan, mereka juga akan lebih matang dan mandiri.

Mengenai peran KBIH?

KBIH tetap berperan secara profesional. Mereka memiliki kelebihan berkat bikin jaringan dan waktu untuk memberi peran-peran positif kepada jamaah. Tapi jangan hanya dimanfaatkan untuk sekedar mencari keuntungan.

Karena pembimbingnya hanya menguruskan biaya ini, bayar itu, mau ini nggak boleh, ingin itu nggak boleh. KBIH harus profesional. Untuk pelayanan yang lebih bagus harus ada pilihan. Tidak dipaksa-paksa, dengan kebutuhannya, tarik sana-tarik sini.

Jika calon jamaah semakin tahu, itu akan semakin bagus. Di samping profesionalitas, KBIH juga harus peningkatan pembinaan jamaahnya.

Bagaimana seharusnya peran KBIH pra dan pascapelaksanaan haji?

Kami berharap ONH Plus atau KBIH berperan sebagai lembaga pendidikan dan dakwah. Setelah aktivitas haji selesai, upaya menjaga kemabruran jamaahnya harus terus dilakukan para pembimbingya. Setidaknya melakukan pengembangan jamaah melalui bimbingan.

Dulu, banyak orang yang pulang ibadah haji bisa menjadi tokoh dan panutan masyarakat. Tapi sekarang, 200 ribu jamaah haji Indonesia justru pulang tanpa menjadi apa-apa. Karena itu, perlu pembekalan secara matang, baik sebelum dan sesudah dilaksanakannya ibadah haji.

Boks

Konsisten dan Berani

Kalau ditanya siapa orang yang konsisten menangani urusan haji, jawabannya adalah Drs Haji Abdul Ghafur Djawahir. Sejak bekerja di Departemen Agama (Depag) tahun 1981, lelaki kelahiran Pekalongan 1 Maret 1954 ini tak pernah pindah tugas dari bagian Penyelenggara Haji dan Umrah.

Memang suami dari Ida Saida Nashirah ini sudah bulat tekad mewakafkan diri untuk mengabdi dalam bidang perbaikan penyelenggaraan haji hingga dating masa pensiun kelak.

Konsistensinya ini tak membuatnya berkecil hati. Ia justru semakin matang dan mumpuni menguasai persoalan terkait ibadah haji dan umrah.

Bapak yang biasa dipanggil Ghafur ini, menjadi satu-satunya lulusan IAIN Walisongo kala itu yang berhasil menjadi pegawai Depag. Begitu pula ketika mencapai jabatan eselon dua, ia menjadi satu-satu alumni Mesir yang mengurusi bidang itu. Meski begitu, iag tetap berusaha bekerja secara profesional.

Tak jarang ia harus pulang malam karena harus menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Ketekunannya bekerja ini membawanya dipercaya sebagai Sekretaris Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Depag. Sebelumnya, ayah dari M Agung Hidayat ini pernah didaulat menjadi direktur Pengelolaan Penyelenggara Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah Depag.

Ia dikenal sebagai salah seorang petinggi Depag yang sangat terbuka terhadap penyelenggaraan haji dan umrah. “Saya tidak takut kalau saya benar. Sebagai pelayan masyarakat, saya tidak boleh menutup-nutupi kepentingan masyarakat,” tegasnya.

Bagi Ghafur, bekerja adalah amanah yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Pekerjaan adalah kesempatan yang Allah berikan kepada manusia untuk lebih mensyukuri nikmat yang didapatnya.

Tantangan untuk bisa tetap bersyukur adalah nafsu. Karena itu dalam usaha mengendalikan nafsu, Ghafur memiliki resep tersendiri. “Resepnya sangat sederhana, yaitu mendekatkan diri kepada Allah, menjaga hati, berdoa untuk orangtua dan sekeliling, pimpinan, anak buah, dan lain-lain,” katanya.

28 tahun mengabdi di Depag, bukan tanpa halangan. Fitnah sering ia terima. Bahkan ia pernah sempat dinon aktifkan karena difitnah melakukan korupsi. Setelah beberapa waktu, terbukti ia sadar sedang diamanahi.

Caci maki, kritik dan hasutan, terus menghinggapi perjalanan karirnya. Namun kesupelan dalam berinteraksi dengan sesama, tak jarang membuahkan kedekatan dirinya dengan atasan.

Fitnah yang kerap ia rasakan adalah di saat masa pergantian menteri. Ia diisukan sebagai orang dekat menteri sebelumnya. “Saya dianggap sebagai penghianat dan sebagainya,” tandasnya.

Meski demikian, ia hanya berdoa kepada Allah semoga kebenaran akan berpihaknya. Tanpa argumentasi ia buktikan kekeliruan fitnah itu. Silaturahim dan kerja profesional telah membuatnya tetap bertahan hingga kini.

Sosok Tak Kenal Diam Pengusaha Susu

Ridwan Munir

Sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman yang mapan tak membuat Ridwan Munir puas begitu saja. Ia akhirnya memilih menjadi pengusaha susu kambing organik daripada selamanya menjadi karyawan.


Selalu ingin maju, tak mau diam, dan nyali besar. Itulah syarat utama bagi siapa pun yang hendak mendirikan usaha sendiri. Hal itu juga yang dilakukan Ridwan Munir. Meski sudah sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan yang mapan, dengan jabatan setingkat supervisor, semua itu tidak membuatnya puas begitu saja.

Kisah berawal ketika ia berkesempatan naik haji melalui biaya perusahaan. Waktu itu, selama di kota suci Makkah, ia bermunajat kepada Allah untuk kebaikan masa depannya. Yaitu pada satu doa yang berisi pilihan antara terus bekerja sebagai karyawan atau usaha sendiri. “Saya berdoa agar diberi petunjuk,” ujar suami Wiwin Fauziyah.

Selesai ibadah haji, Ridwan berkonsultasi dengan orangtuanya untuk mendirikan usaha sendiri. Awalnya orangtuanya tidak menyetujui, karena ia sudah berkeluarga, sedang bisnis yang akan ia jalani masih terbilang baru dan belum dikuasai.

Tapi orangtua Ridwan akhirnya pasrah setelah melihat kesungguhan Ridwan, dan berdoa kepada Allah untuk kelancaran usahanya. Pada tahun 2008, dengan tekad bulat, Ridwan Munir akhirnya mengundurkan diri dari perusahaan lamanya.

Sebelum terjun total sebagai produsen susu kambing etawa, Ridwan sebenarnya telah merintis bisnis susu ini saat menjadi karyawan. Ia melakukannya di tengah-tengah kesibukannya bekerja di kantor. Setiap hari ini berangkat lebih pagi untuk mengantarkan pesanan susu kambing para pelanggannya. Setelah jam kantor, ia pun masih harus mengantarkan susu ke para pelanggannya hingga tengah malam.

“Pulang rumah kadang hingga jam dua belas malam,” kenang ayah dua anak ini kepada majalah GONTOR. Awalnya ia hanya memasarkan 1 liter susu untuk orang-orang di sekelilingnya, terutama orang-orang kantor. Satu liternya ia beli dengan harga Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu.

Tak disangka, permintaan susu yang dia jual semakin bertambah hingga mencapai 40 liter per minggu. Karena order semakin banyak, Ridwan pun mengajukan diri ke produsen menjadi agen di Jakarta, dengan demikian margin keuntungan yang ia peroleh semakin besar dan pasarnya semakin luas.

Dari hasil penjualan susu itu ia bisa membeli lemari es seharga Rp 1,6 juta. Selanjutnya, bahkan ia bisa membeli kambing, tanah, dan membuat kandang. “Alhamdulillah setelah melalui proses akhirnya mulai menemukan pasarnya,” kata lelaki berkaca mata ini.

Ridwan adalah sosok yang tak mau diam. Setelah sukses sebagai agen susu, ia kemudian mulai menjajaki peternakan kambing. Di sini ia melihat gambaran bisnis yang menjanjikan. Setidaknya ada empat item bisnis ini yang dihasilkan kalau ia punya peternakan sendiri. Pertama, penghasilan harian dari susu; kedua, penghasilan mingguan dari kotoran kambing; ketiga, penghasilan bulanan dari penjualan kambing aqiqah; dan keempat, penghasilan tahunan dari penjualan kambing untuk Hari Raya Qurban. “Belum lagi saat ada pesanan mengolah kambing menjadi menu masakan,” katanya.

Akhirnya, pada tahun 2008, selain menjadi agen susu kambing ia juga memutuskan untuk membuka peternakan sendiri. Kambing yang ia ternak adalah jenis kambing etawa, yaitu kambing asal India yang terkenal memiliki kadar susu terbaik untuk kesehatan. Ia membeli kambing umur 8 bulan sebanyak 10 ekor yang harga per ekornya Rp 2 juta. Dari hasil ternaknya, kini ia telah memiliki 7 ekor kambing etawa jantan dan 273 ekor kambing betina.

Untuk pemasaran dan produksi susu kambing, ia dibantu oleh 7 tim. Selain pemasaran via internet, ia juga membuka agen-agen untuk menjangkau pasar yang lebih luas lagi, yang saat ini jumlahnya mencapai belasan. Selain di Jakarta, Ridwan telah berhasil membuka pasar di luar Jawa seperti di Makassar, Bengkulu, Palembang, Lampung dan Batam. “Kami terus menjajaki pasar wilayah lain sesuai dengan kemampuan kami,” paparnya.

Perihal prospek bisnis ini, Ridwan mengatakan bahwa peluangnya sangat bagus. “Selama masih banyak orang yang sakit dan menjaga kesehatan, susu akan tetap dibutuhkan,” terangnya. Apalagi, persaingan di bisnis ini juga masih belum terlalu ketat. Karena itu, strategi Ridwan adalah menjaga kualitas susunya. “Jadi mulai dari kandang hingga ke pelanggan harus higienis dan dilakukan dengan profesional,” ujarnya.

Alhamdulillah, dari hasil usaha yang ia lakukan selama tiga tahun ini Ridwan sudah bisa membangun rumah dua lantai, membeli tanah untuk beternak, dan mobil. Bahkan dari hasil keuntungan yang ada ia sisihkan untuk anak yatim dan pesantren sebesar 12,5 persen.

Tentu saja tidak ada kesuksesan yang tanpa hambatan. Ridwan mengaku dirinya pernah ditipu di awal berbisnis. Yaitu ketika dirinya membeli kambing dan menyerahkan ke seorang peternak untuk mengelolanya dengan model bagi hasil. Untuk pembagian susu, 40 persen untuk dirinya; dan 60 persen untuk peternaknya. Jika kambing melahirkan dua ekor maka akan dibagi rata, tapi jika satu ekor maka giliran.

Tapi semua tidak berjalan mulus, karena peternak mengatakan tiga ekor kambingnya mati, hilang dan susunya sedikit padahal saat itu kambing sudah bisa produksi. Selidik punya selidik ternyata kambing dijual oleh peternak tanpa sepengetahuannya. “Ya itu bagian dari perjalanan yang harus saya lewati. Itu ujian bagian saya,” kenangnya.

Sejak itu, Ridwan mengaku terobsesi untuk menjadikan bisnis ini tidak hanya untuk mencari uang tapi lebih dari itu bisa memberikan pencerahan kepada siapa saja yang ingin membuka peternakan kambing organik. “Kami siap memberikan penyuluhan kepada peternak kambing yang ingin hasilnya lebih baik dan berkualitas,” ungkap lelaki yang sekarang sudah beromzet Rp 100 juta per bulan./fathurroji

Boks

Berkreasi Sejak di Pesantren

Usai menamatkan bangku sekolah dasar, Ridwan Munir melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta. Selama di pesantren, ia banyak aktif di organisasi dan kegiatan yang menyangkut masalah kesehatan atau bagian kesehatan santri.

Selain itu, ia juga aktif sebagai pelatih bela diri Tapak Suci, dan keterampilan kaligrafi berbahan dasar kaca dan kertas hias. Tak heran, bila ia juga pernah berjualan karya kaligrafi karyanya sendiri. “Hasilnya tak seberapa tapi bisa menjual sudah cukup,” kenangnya.

Lulus dari Darunnajah, ia melanjutkan kuliah ke Jurusan Dakwah, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selama menjadi mahasiswa ia juga tak pernah diam. Keahlian kaligrafi yang pernah ia dapatkan dari pondok ia kembangkan saat menjadi mahasiswa. Selain itu ia juga menjadi guru private mengaji al-Qur’an.

Setelah memiliki banyak murid les private, ia pun merekrut 11 guru ngaji jika sewaktu-waktu ada yang pesan les private. “Saat mahasiswa saya sudah bisa cari duit sendiri,” katanya.

Lulus dari kuliah, ia mencoba peruntungan untuk bekerja di sebuah perusahaan. Gayung pun bersambut. Tak lama menganggur, ia sudah diterima di sebuah perusahaan di Jakarta. Tapi hanya bertahan sekitar 10 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat usaha sendiri, yaitu peternakan kambing organik. Fathurroji

Dari Penjaga Sandal Masjid Menjadi Pengusaha SPBU

Lukman El Hakim

Awalnya Lukman hanya menjadi penjaga sandal dan parkir di masjid. Kini ia berbisnis SPBU, trader dan konsultan pelumas. Ikuti kisahnya.

Salah satu kebiasaan masa kecil Lukman El Hakim, pengusaha sukses asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, adalah gemar datang ke masjid. Baik untuk ibadah, belajar, tidur, hingga bersih-bersih masjid. ”Orang tua saya menganjurkan saya untuk sering-sering ke masjid,” kisahnya saat ditemui di rumahnya.

Lelaki 44 tahun yang biasa dipanggil Daeman ini, bahkan sampai SMA masih menjadi penjaga sandal masjid dan tukang parkir masjid. Selain mengikuti anjuran orang tuanya, kecintaan Lukman kepada masjid juga karena ajaran Rasulullah, karena di masjid lah terdapat banyak berkah.

Dilahirkan dari keluarga pegawai negeri yang pas-pasan, Lukman dididik oleh orangtuanya, H Abdul Rahim Muhammad Shaleh dan Hj Zainab, menjadi pribadi yang ulet dan mandiri. Bersama kakaknya, Abdul Haris, sejak kecil ia sudah terbiasa berjualan jasa dan makanan di acara-acara di luar masjid. Sejak kecil juga, Lukman sudah punya cita-cita menjadi businessman.

Dari kerja kecil-kecilan itulah, ia mampu menambah ongkos jajannya ketika duduk di bangku sekolah. Setelah lulus SMA Negeri 1 Mataram Lombok, Lukman melanjutkan kuliah di Universitas Mataram (UNRAM) jurusan Ekonomi. ”Apa yang kita dapatkan sekarang adalah berkah dari masjid. Makanya kalau mencari rumah, saya selalu mencari yang dekat masjid,” kata lelaki dari 7 bersaudara ini.

Selama di kampus, berbagai aktivitas kampus ia ikuti. Misalnya, Lukman pernah menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Ekonomi UNRAM. Saat itu ia tak gengsi untuk memakai sepeda bututnya mondar-mandir dari rumah ke kampus. Selain itu, ia juga aktif mengajar di pesantren Al-Aziziyah yang berjarak 5 km dari rumahnya.

Tak hanya mengajar di pesantren, Lukman juga aktif sebagai Sekretaris Ma’ahad Tahfizul Qur’an, Pondok Pesantren Al-Aziziyah Lombok Barat, NTB. Sebagai pengurus pesantren ia bertugas mencarikan dana untuk pembangunan lokal kelas dan asrama pesantren. Tak jarang ia haru berjalan kaki meski yang ia dapat saat itu hanya sebesar Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu.

Hijrah Ke Jakarta

Lukman pertama kali ke Jakarta ketika bersama Tuan Guru menyerahkan proposal pembangunan pesantren. Itulah pertama kalinya ia mengenal Jakarta, tapi sejak saat itu Jakarta telah menjadi daya tarik baginya. Apalagi, saat itu calon istrinya baru lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Hal ini semakin membuatnya bertekad untuk ke Jakarta mencari pengalaman baru.

Nasihat orangtuanya “Kalau ingin berhasil, merantaulah!” semakin membuatnya bersemangat. Lelaki kelahiran Mataram, 29 Januari 1965 ini akhirnya menerima panggilan kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, meski pada waktu itu ia belum lulus. Setelah lulus dan diwisuda, Lukman pun pun hijrah menuju Jakarta. Bekalnya waktu itu, Rp 100 ribu, dikirim dari perusahaan yang menerimanya.

Pertama kali di Jakarta ia tinggal di rumah direktur perusahaan. Tapi kenyataan hidup memang tak seindah harapan. Meski langsung mendapatkan jabatan sebagai Manajer Marketing, Lukman merasa tak tahu apa yang harus ia lakukan dengan posisinya itu. Waktu itu produknya adalah hand clean.

Singkat cerit, dalam suatu kesempatan, calon istrinya menginformasikan sebuah lowongan baru sebagai sales di PT. Datascrip, sebuah perusahaan terpandang yang menyediakan peralatan-peralatan kantor. Tanpa membuang kesempatan, Lukman pun melamar ke perusahaan itu, dan diterima sebagai salesman.

Satu hal yang selalu ia ingat dan selalu menjadi penyemangat dirinya untuk berjualan, yaitu ungkapan manager personalia yang mewawancarainya, ”Aku yakin kamu pasti bisa menjual kursi kantor ini.” Dalam hati kecilnya Lukman berkata, ”Orang lain saja tahu kalau saya bisa menjual, kenapa saya tidak yakin dengan diri sendiri ya?”

Setelah positif diterima sebagai karyawan, Lukman pun mengajak calon istrinya (Intani Khoirina) untuk langsung menikah. Pernikahan dilangsungkan di Tangerang, Banten, tanpa dihadiri orang tua Lukman. ”Istri saya juga baru beberapa bulan di Jakarta. Jadi sama-sama modal nekat,” kenangnya. “ Saya modal Rp 1,5 juta hasil pinjam kepada kakak untuk menikah,” tambah Lukman.

Setelah menikah, Lukman tentu saja belum mampu untuk mengontrak rumah atau kos. Keduanya terpaksa tinggal di rumah Pak De dari istri selama tiga bulan. Setelah itu keduanya mulai indekost selama 3 bulan, dan setelah mendapatkan penghasilan yang cukup mulai mengontrak dengan harga Rp 750 ribu setahun.

Tanggung jawab sebagai calon ayah membuat Lukman semakin giat bekerja. Dengan mengenakan celana cutbrai dan logat bahasa Lombok yang kental ia menembus pasar kursi perkantoran di bilangan Jalan Sudirman, MH. Thamrin, dan Gatot Subroto. Hasilnya, dalam waktu setahun ia sudah tercatat sebagai 10 sales terbaik di Indonesia untuk pemasaran di Datascrip.

Karena kelelahan berjalan kaki terus, Lukman pun kemudian membeli motor bekas merk Vespa Bajaj tahun 1975 seharga Rp 550 ribu. Uang sebanyak itu hasil pinjaman dari temannya. Tapi dengan begitu, ia bisa menjelajahi Jakarta untuk memasarkan produk-produknya. Tak jarang ia ditilang oleh Polisi karena ke sasar jalan. ”Bahkan motor masuk tol pun saya pernah. Maklum orang kampung,” katanya.

Taktik Lukman sederhana dalam memasarkan produk-produk kursi kantornya. Mula-mula ia meminjamkan kursinya kepada calon pembeli untuk dipakai selama satu atau dua minggu. Sebelum waktunya habis, ia akan menarik kursinya. Nah, dari situ, kebanyakan calon pembelinya biasanya sudah “jatuh cinta” dengan kursi miliknya, karena merasa sudah nyaman dan betah dalam bekerja. Biasanya juga, mereka pun akan membeli kursi yang sudah dicoba itu.

Tak heran jika ia kemudian dipercaya menggarap segmen market oil company, dan ternyata cukup berhasil sehingga hampir seluruh perusahaan oil company memakai kursi yang ia jual. ”Akhirnya, dalam setahun saya dapat membeli mobil meski bekas,” terangnya.

Perkembangan selanjutnya, sejak 18 tahun yang lalu, Lukman bersama paman dari istrinya mendirikan perusahaan dengan bendera PT. Sugiron Citra yang bergerak di bisnis pelumas. Selain pernah menjadi distributor tunggal oli POLO dan Total di Indonesia, Lukman juga pernah menjadi distributor oli Shell di Surabaya dan Bekasi. Bahkan sampai sekarang ia masih tercatat sebagai distributor oli Castrol untuk kapal-kapal.

Selain menjadi distributor, Lukman juga bergerak di bisnis pabrikasi tabung LPG, blending plant, niaga BBM dan SPBU di beberapa tempat. Saat ini ia telah mendirikan rest area di jalan tol Jakarta-Cikampek Km 39 dan di jalan tol Kanci-Palimanan Cirebon. Selain diisi dengan fasilitas standar, seperti SPBU, dan Mall, salah ciri khas rest area milik Lukman adalah keberadaan masjid indahnya.

Menurut Lukman, kunci sukses berbisnis adalah tetap dekat dengan Sang Khalik, selalu meminta petunjuk-Nya atas usaha yang dijalani dan banyak bersedekah. Selain itu, tentu saja harus ada self motivation dalam diri. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri. ”Kalau di awal saja tidak yakin dengan apa yang dilakukan maka lebih baik tidak usah,” katanya.

Menurut Lukman, ada dua dosa maut yang harus dihapus dalam diri salesman, yaitu ”rasa malas dan takut.” Kalau sudah datang rasa malas, maka jangan harap seorang sales bisa menjual produknya. Selain itu, takut bertemu dengan orang juga penyakit. ”Seorang penjual harus percaya diri untuk bertemu orang dalam menawarkan produk,” katanya.

Dalam berbisnis Lukman memegang prinsip kejujuran. ”Saya punya prinsip kejujuran. Saya tidak segan mengeluarkan orang jika tidak jujur. Berapa kali karyawan yang dikeluarkan karena menyalahgunakan kepercayaan yang sudah saya tanam. Sebab jika ini dibiarkan akan menjadi duri dalam daging,” tegasnya./Fathurroji NK

Autodidak Besarkan Percetakan

Syaifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto,

Percetakan Karya Kita berawal dari satu mesin hand press manual seharga Rp 25 ribu. Kini aset perusahaan milik Syaifullah Sirin ini sudah mencapai angka Rp 150 Miliar per bulan. Bagaimana kiatnya?

Tidak puas bekerja di percetakan milik kakak iparnya, Syaifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto, 63 tahun, memulai karirnya di bisnis percetakan dengan modal satu mesin hand press seharga Rp 25 ribu. Pria yang biasa dipanggil Dato ini memulai bisnisnya sejak tahun 1970-an, tepatnya setelah putus kuliah semester dua di jurusan Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri).

Kakak Dato, Rozali Usman, kebetulan adalah pemilik percetakan besar Remaja Karya, yang banyak memproduksi buku-buku sekolah, sekaligus mantan Ketua IKAPI. Kendati begitu, Dato tak lantas manja dan bergantung kepada kakaknya dalam mengembangkan bisnisnya sendiri.

“Saya memang dibesarkan oleh kakak ipar, mulai dari SD hingga SMA. Dia adalah guru dalam berbisnis, kakak dalam berkeluarga,” kata Dato yang sekarang menjabat Presiden Direktur Karya Kita Group.

Bagi Dato, berbisnis memang butuh perjuangan dan pengorbanan, karena dari situlah berbagai pengalaman akan mematangkan kemampuan bisnisnya. Ia mengaku kalau dirinya tak memiliki skill khusus, tapi hanya daya juang yang keras, tanpa kenal lelah dalam bekerja.

Walhasil, usaha yang ia rintis tidak sia-sia. Lambat tapi pasti mesin cetak pun bertambah menjadi tiga, karyawan yang awalnya tiga orang juga bertambah. ”Saya sering mengerjakan sendiri karena juga sambil olahraga,” paparnya.

Bagi Dato, tak ada rumus khusus untuk menggaet pasar. Ia mengaku semuanya ia pelajari secara autodidak. “Jiwa entrepreneur orang Minang, kalau sudah bekerja dan melihat peluang ia akan berjuang sendiri,” tuturnya.

Buku yang pertama kali diterbitkan Karya Kita berjudul Demokrasi Pancasila karya Murdani, pada 1978. Selanjutnya, perusahaan ini memfokuskan pada penerbitan buku-buku teks agama Departemen Agama pada 1983.

Debut Karya Kita semakin melaju dengan memasuki bisnis media, yaitu dengan menerbitkan tabloid Salam yang sempat fenomenal di akhir 1980-an hingga awal 1990-an.

Bisnis penerbitan yang mengusung idealisme mencerdaskan bangsa ini menjadi titik awal lahirnya perusahaan penerbitan yang paling diandalkan oleh Karya Kita saat ini, yaitu PT Grafindo Media Pratama pada tahun 1995. Grafindo bergerak di penerbitan buku-buku teks untuk SD, SMP, dan SMA.

Berbagai order buku juga terus mengalir antara lain, dari Diknas. Puncaknya ketika ada bantuan dari Bank Dunia untuk Diknas, Dato menerima USD 1,5 juta atau sekitar Rp 4 miliar (dengan kurs yang masih Rp 2.600,-).

Pada tahun 1997-1998, Dato juga mendapat proyek senilai Rp 49 miliar. Tawaran berikutnya senilai Rp 84 miliar tapi gagal karena adanya krisis ekonomi. ”Karena terjadi krisis dan pergantian personel Bank Dunia di Indonesia. Untuk mencetak 10 juta buku,” kisahnya.

Terkait keputusan Diknas tentang pemberlakuan Buku Sekolah Elektronik (BSE) bagi sekolah, menurut Dato, cukup memberatkan bagi insan percetakan. ”Saat itu banyak penerbitan kolaps, alhamdulillah kami masih eksis,” katanya.

Kini, alhamdulillah, berkat perjuangan yang tak kenal lelah, cabang Karya Kita punya 87 cabang di seluruh Indonesia, kecuali wilayah Irian Jaya dan Maluku. Jumlah karyawan pun sudah mencapai 1000 orang.

Kerja keras dan komitmen dari seluruh karyawan dan manajemen Grafindo juga menghasilkan kepercayaan dari publik maupun pemerintah serta prestasi gemilang. Pada tahun 1998 hingga 2003, Grafindo memiliki stand terbaik pada Pameran Buku dan Pendidikan Anak di Bandung. Stand terbaik pada Indonesian Book Fair tahun 2001 dan 2002. Lolos seleksi penilaian dan pengadaan buku di Timor Leste yang disponsori UNTAET tahun 2000 dan 2001. Serta lolos seleksi penilaian buku Matematika dan Bahasa Indonesia SD tahun 2003 dan 2004 yang diselenggarakan Pusat Perbukuan Depdiknas.

Tahun 2007 juara II Lomba Cetak di mesin Sheet Printing dengan mat paper dan juara III Lomba Cetak di mesin Web Printing dengan kertas koran yang diselenggarakan oleh Forum Grafika Digital (FGD) bekerja sama dengan Pusat Grafika Indonesia pada FGD Expo.

Saat ini instansi yang telah memercayakan jasa Karya Kita meliputi: PT Telkom, PT Pos Indonesia, PT INTI, Bank BTPN, PT Pupuk Kujang, Dispen Polda Jawa Barat, Departemen Agama, PGRI. Selain itu, Karya Kita juga telah dipercaya mencetak Surat Suara Pemilu 2009. ”Kami terus memberikan yang terbaik untuk customer,” ungkap Dato.

Nakhodai Pembangunan Gontor 15

Setelah Syaifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto mengembangkan bisnisnya, akhirnya tahun 1982 Dato menunaikan ibadah haji—sebagai wujud rasa syukurnya kepada Allah atas limpahan rezeki yang ia dapatkan. ”Saya sadar, godaan paling berat bagi orang yang lebih rezeki adalah cinta dunia,” katanya.

Karenanya tak heran jika dalam setiap doa, Dato selalu bermunajat agar diberi kesempatan beramal saleh. ”Saya selalu berdoa agar diberi kesempatan dan diringankan, diikhlaskan untuk beramal saleh untuk bekal menghadap kepada-Mu ya Allah. Dan rasanya saya merasa lega, menghadapi materi menjadi kecil,” tuturnya.

Kegiatan sosial kerap ia lakukan, bahkan setiap uang yang masuk ke perusahaan 2,5 % wajib untuk zakat, sedangkan 5% untuk infak. Namun seiring perjalanan waktu, nilai 5 % meningkat menjadi 7,5 %. ”Sekarang setiap uang masuk 7,5 % untuk infak. Siapa pun datang ke sini tidak boleh kosong, istilahnya kalau tidak penuh atas maka penuh bawah,” katanya.

Untuk itulah, Dato yang kelahiran tahun 1946 ini mencoba mengabdikan diri untuk kemaslahatan umat. Salah satunya dengan menjadi Ketua Badan Pembangunan Pondok Pesantren Darussalam Gontor 15 di daerah Sulit Air, Padang, Sumatera Barat.

”Selagi darah mengalir kami bertekad untuk mewujudkan Gontor di Padang. Saya telah mencoba melobi pengusaha dari Timur Tengah ketika di acara di Australia,” semangatnya. Rencananya, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 20 miliar, ”Untuk masjid saja sekitar Rp 8 miliar. Bangunan kelas ada 3 yang sudah dibangun dan asrama,” terangnya.

Gontor telah lama menjadi alternatif pilihan terbaik para orangtua Sulit Air dalam memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka. Di antara ribuan alumni Gontor, sekitar 250 orang adalah putra Sulit Air. “Keberadaan Gontor di Sulit Air akan mengubah daerah ini menjadi daerah yang religius dan produsen ulama-intelektual dan intelektual-ulama di Sumatra Barat,” ujarnya.

Rencananya, total anggaran untuk membangun sebesar Rp 24 miliar. ”Pembangunan ini terlaksana tiga tahap, pertama dianggarkan Rp 7 miliar, pembangunan kedua 14 miliar hingga selanjutnya menghabiskan biaya total Rp 24 miliar,” ungkapnya.

Peletakan batu pertama pembangunan Gontor ini dihadiri pejabat pusat maupun daerah, seperti Menteri Kehutanan MS Ka’ban, Gubenur Sumbar H Gamawan Fauzi, Pimpinan Gontor, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, Din Syamsudin, Taufik Ismail sastrawan nasional asal Sumbar, Wakil Bupati Solok, Bupati Padangpariaman dan perantau SAS.

Selain pembangunan Gontor, Dato juga gemar memberikan bantuan pembangunan masjid, madrasah, santunan anak yatim piatu. Bahkan ada beberapa panti yang setiap bulan ia subsidi. ”Saya merasakan nikmatnya tangan di atas. Semoga ini menjadi amal ibadah,” ungkapnya. /fathurroji

Berkah dari Bakmie Raos


H Bimada

Berkah menyeimbangkan antara bekerja dan ibadah. H Bimada berhasil membangun Bakmi Raos dari tiga gerobak menjadi ratusan gerobak yang tersebar di Indonesia. Mendapatkan penghargaan Djie Sam Soe Award tahun 2006 sebagai pengusaha UKM terbaik Indonesia.

Butuh perjuangan dan pengorbanan yang besar untuk sukses. Tak terkecuali di bisnis kuliner mie. Ungkapan yang mungkin terdengar klise itu juga dirasakan oleh H Bimada, pemilik brand Bakmi Raos. Jatuh bangun dalam berbisnis bukanlah cerita yang aneh baginya. Namun keyakinan dan jiwa entrepreneurnya telah membuktikan bahwa sikap pantang menyerah bisa menjadi kunci sukses usahanya.

Memulai bisnis mie-nya pada tahun 2003, Bima—demikian H Bimada akrab dipanggil—mengusung bendera PT Raos Aneka Pangan sebagai wadah usahanya. Selain menyediakan makanan bermutu yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, usahanya ini juga bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pedagang kecil kaki lima yang ingin sukses bersama.

“Berani Diadu Rasanya” itulah moto Bakmi Raos dalam bersaing dengan bakmi-bakmi lainnya. Untuk itu, penyajian mie yang ia jual pun dibuat semenarik mungkin agar para pelanggan benar-benar menikmati kualitas produknya.

Keberadaan Bakmi Raos bagi Bima bukan sekadar bisnis. Ada semangat spiritual yang mewarnai bisnisnya tersebut. Selain ingin menciptakan lapangan kerja untuk membantu pengentasan kemiskinan, ia juga ingin usahanya menjadi perpaduan antara ibadah dan bekerja.

Karenanya tak heran jika Bakmi Raos mengusung visi menjadi pemimpin dalam usaha makanan dengan membangun manusia yang bertaqwa kepada Tuhan YME—yang semuanya didasari semangat kerja keras dan disiplin tinggi. “Ibadah jangan sampai dilupakan meski bekerja,” tandasnya.

Bagi Bima, rahasia sukses nomor satu dari bisnisnya adalah karena peran Allah SWT. Karena itu, niat atau tujuan yang benar harus menjadi dasar saat berbisnis. Tapi niat saja tidak cukup. Perlu ada pemahaman yang baik tentang bisnis yang dijalani dan network yang luas untuk mengembangkan jaringan bisnis.

Setelah itu, bagi Bima, yang tak kalah penting lagi adalah ikhtiar, yakni berani mencoba dan pantang menyerah. Ia menambahkan, kalau ada kegagalan harus segera dianalisis untuk kemudian dicoba lagi. “Adapun resepnya adalah inovasi dan diferensiasi produk, baru kemudian membangun merk,” paparnya.

Ide bisnis Bakmi Raos ini, menurut Bima, karena ia melihat ada banyak peluang di pedagang kaki lima. Dirinya pernah melihat pedagang dengan pendapatan luar biasa. Sehari keuntungan bisa mencapai Rp 4 juta. Dari sinilah, ia berikir, “Kalau saya bisa mendapat untung bersih 200 atau 500 ribu saja dengan satu gerobak, bisa dihitung berapa yang saya dapatkan kalau punya seratus gerobak. Apalagi kalau sampai bisa seribu gerobak.”

Mengapa bisnis makanan yang ia ambil? Bima menjelaskan makanan sarat dengan inovasi, dan bisnis ini tak akan ada matinya. Selama orang hidup pasti masih membutuhkan makanan, dan mie merupakan makanan kedua setelah nasi. Karenanya, peluang makanan ini sangat besar meski penjualnya juga banyak.

Setelah menekuni beberapa tahun, konsep Bakmi Raos yang awalnya di gerobak dorong, kini sudah berubah. Alasannya kalau memaki gerobak dorong, harga jual sudah dipatok. Sedangkan kalau statis harga jual bisa naik. Selain itu, tidak mudah mengatur pedagang yang mobile dan tidak mudah mengontrol kualitas dan layanannya. “Sekarang kami berada pada sektor agak menengah. Gerobak sudah tidak ada. Semuanya tetap (statis),” ujarnya.

Bisa dibilang, Bima adalah sosok yang ulet dalam menapaki karier bisnisnya. Ia mulai dari tangga paling bawah. Kata orang, pebisnis yang baik adalah yang berangkat dari dasar, lalu naik setangga demi setangga dengan konsisten.

Bima awalnya seorang pekerja di perusahaan freight forwarder di daerah Jakarta Utara. Namun sesuatu mengubah arah hidupnya: istrinya diketahui sakit kanker. “Saya ingin punya lebih banyak waktu untuk mengurus istri saya. Rumah saya di Bintaro harus kerja ke Sunter, coba bayangkan berapa lama,” pintanya.

Tahun 2002 ia mulai mencoba berbisnis. Bersama kakaknya ia ikut sebuah produk franchise dengan mendirikan restoran bakmi. Sayangnya, langkah pertamanya itu langsung tersandung. Restoran franchise-nya bangkrut dalam tempo setahun.

Gagal di franchise ia membuka gerobak mie ayam di Villa Bintaro. Usaha ini dalam tiga bulan kemudian bangkrut juga. Padahal ia sudah kursus membuat mie di beberapa tempat. Meski gagal di mie ayam, ia masih memikirkan usaha sejenis. “Saya memang ingin memiliki usaha di makanan,” katanya.

Tiba-tiba ada seorang teman yang menawarinya resep membuat bakmi. Resep inilah yang jadi cikal bakal Bakmi Raos. Setelah merasa cocok, Bima pun merekrut orang-orang yang mau berjualan bakmi dengan gerobak. Mula-mula ia berjualan dengan tiga gerobak bermodalkan Rp 10 juta.

Sistemnya, ia mendapat margin Rp 1.500 per mangkok bakmi yang terjual. Sedang pedagangnya Rp 1.000 dari harga Rp 6.000 per mangkok. Jika sehari terjual 40 mangkok, maka dalam sebulan (dihitung 25 hari) si pedagang bisa mendapatkan Rp 1 juta. Tentu saja ini menggiurkan, apalagi Bima juga menyediakan fasilitas penginapan dan uang makan. Dengan kata lain, pendapatan si pedagang jadi utuh.

Pola usaha itu akhirnya berkembang. Dari tiga gerobak bertambah menjadi sepuluh gerobak. Dan dalam tempo setahun ia sudah memiliki 193 gerobak. Jumlah pedagang yang dilatihnya mencapai 700-an orang. Namun dari jumlah itu sebagian besar mengundurkan diri. “Saya melihat kualitas jiwa wirausaha bangsa ini memang sangat lemah,” katanya.

Para pedagang kecil yang ia bina kebanyakan berasal dari Cirebon dan Sukabumi. Sekali datang mereka bisa 10 hingga 15 orang. Semuanya menginap di tempat yang telah disediakan Bima. Namun sayang, sebagian dari mereka justru hanya numpang tidur dan memilih berjualan rokok di Blok M. “Mereka kurang bersyukur dan belum bisa melihat peluang kesempatan usaha yang kami berikan,” ujarnya.

Akhirnya, model yang ia jalani bersama para pedagang kecil ini tidak bertahan lama. Bima pun memilih untuk membangun usahanya secara profesional. Ia tidak lagi bisa mengandalkan para pedagang yang tidak serius. Akhirnya produk bakminya pun ia waralabakan.

Bima membangun pola kemitraan. Dengan pola ini ia tak perlu menggaji mereka. Mitranya cukup membeli mie dan minyak goreng darinya plus gerobak yang ia rancang. Kemitraan ini hingga menghasilkan jaringan mitra di mana-mana.

Setelah semakin menjamurnya model franchise makanan. Akhirnya Bima pun menambah varian produknya. Kini, ia juga menghadirkan masakan dengan nama Bakmie Mada. Produk ini menyajikan tiga makanan dalam satu gerobak, yakni Mie Ayam, Bakwan Malang dan Siomay Bandung. Untuk produk ini, Bima mematok harga Rp 25 juta untuk investasinya.

Bukan Bima jika tak berinovasi. Ia pun kini mulai merambah makanan terkenal dari Madura yakni sate. Untuk produk ini, ia memberikan brand dengan nama Sate Sambas. Di dalamnya juga ada tiga makanan dalam satu gerobak atau 3 in 1, yaitu Sate, Soto dan Es Campur. Biaya investasi produk ini mencapai Rp 28 juta./Fathurroji NK