Jamaah haji mandiri, itulah yang kerap didengungkan Departemen Agama dalam melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Kemandirian bukan hanya dalam urusan manasik dan pelaksanaan ibadah haji saja, tapi juga mandiri dalam urusan perjalanan haji.
Jamaah haji yang mampu mandiri, akan memberi kekhusyu’an beribadah. Kemandirian yang tentunya didasarkan oleh ilmu. Artinya, kemandirian lahir karena memahami ilmu untuk berhaji, hingga saat melaksanan haji tak banyak lagi merepotkan orang-orang sekitar, dan jamaah pun bisa fokus beribadah mencapai haji mabrur.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji Departemen Agama Drs Haji Abdul Ghafur Djawahir sempat mengupas isu ini bersama reporter Majalah Gontor Fathurroji NK beberapa waktu lalu.
Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Departemen Agama (Depag) mengarahkan jamaah haji agar bisa mandiri?
Haji mandiri dalam pengertian bahwa jamaah haji tidak tergantung dengan siapapun. Ketidakan tergantungan itu artinya bisa mandiri dalam hal manasik, hingga perjalanan.
Sebab, agar seorang jamaah memeroleh haji yang baik, ia memang harus tahu tentang manasik dan perjalanan. Tapi jangan malah sok tahu tapi akhirnya tersesat, kemudian terkena masalah-masalah lain yang akhirnya mengurangi kekhusyu’an.
Haji mandiri akan paham betul tentang manasik, perjalanan, perumahan, bagaimana air, bagaimana kalau tersesat, dan bagaimana semua mengatasi semua itu.
Apa yang mendasari ide haji mandiri ini?
Karena banyak keluhan dari jamaah, yang ingin kembali menunaikan ibadah haji kalau ada rezeki, karena merasa hajinya terduhulu belum sempurna. Padahal saat ini jika seseorang ingin kembali haji, akan sulit, karena masalah kuota.
Selain itu, akibat tidak mandiri, banyak jamaah yang tertipu. Misalnya jamaah yang akan berangkat kloter awal atau akhir, mereka didramatisir oleh orang luar, sehingga dituntun membayar sekian. Jadi, banyak juga penipuan-penipuan tidak hanya dalam urusan perjalanan. Di saat ibadah nanti juga dikhawtirkan akan ada.
Semua ini kami lakukan untuk kepentingan jamaah, agar pelaksanaan ibadahnya lebih baik. Jamaah pasti didahulukan kepentingannya, termasuk dilindungi undang-undang. Masalahnya tinggal bagaimana pembinaan, pelayanan dan perlindungan bagi mereka.
Kalau jamaah tidak mandiri, mudah akan mudah dipermainkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Mohon maaf misalnya, mengambil koper yang sebenarnya gratis, tapi ada oknum suka meminta uang untuk administrasi koper. Hal kecil-kecil seperti ini bisa menjadi sapi perahan. Karena itu harus kita lindungi.
Berarti, banyak orang yang memanfaatkan ketidaktahuan jamaah haji kita?
Ya. Di Indonesia banyak orang yang ingin meraih hasil dari jamaah haji. Calon jamaah haji sering disetting agar tidak tahu tentang aturan yang ada, sehingga mereka mudah tergantung kepada perusahaan atau orang yang ia ikuti.
Misalnya urusan kloter pertama, ada jamaah yang minta katabelece untuk mendapatkan kloter pertama dengan imbalan uang jika berhasil. Jadi jamaah memang sengaja dibuat tidak mandiri.
Soal layanan yang kurang maksimal di Tanah Suci?
Ya ada ragam argumentasi. Misalnya, haji plus yang tinggal di hotel bintang lima kelas internasional, saat haji mencapai puncak, satu kamar yang ada bisa ditempati empat orang. Kebanyakan melebihi standar, karena banyaknya jamaah.
Selain itu, dalam tradisi haji, biasa pada jam yang sama semua jamaah bergerak menuju satu titik yang sama. Hotel pun akhirnya pun penuh dan kondisinya tidak lagi menjadi seperti hotel bintang lima.
Belum lagi yang dialami jamaah regular. Satu kamar mereka terkadang harus rela mengisinya sampai sepuluh orang. Belum lagi jamaah dalam satu kamar ada yang senang tinggal dengan ruang AC, ada pula yang tidak. Ada yang bisa menggunakan toilet, ada pula yang tidak. Kalau mereka tidak sabar, maka lagi-lagi cacian yang terlontar, baik kepada penyelenggara maupun Allah. Kalau niat ibadah tidak kuat, biasanya jamaah akan komplain terus kepada penyelenggara.
Maka, harus ada sikap saling tolong menolong antarjamaah. Yang pintar memberi pengetahuan kepada yang belum tahu. Yang punya tenaga lebih kuat menolong yang lemah. Dan seterusnya.
Begitu juga urusan kendaraan jamaah haji yang disiapkan pemerintah Arab Saudi. Sopir yang bekerja semuanya outsorcing. Janji ketepatan dan kelayakan kendaraan tidak terjadi, karena ramainya jamaah, dan kendaraan pun harus mengantar jamaah ke banyak tempat.
Jamaah kita banyak yang tidak sabar dan tak sadar dengan kenyataan ini. Begitulah, meski banyak orang berpendidikannya tapi karena kurang mandiri dalam berhaji yang didapat hanya terus komplain.
Karena itu, pembinaan harus sesuai dengan amanat undang-undang, dibarengi dengan peningkatan pelayanan. Sering terjadi, jamaah sudah kita layani dengan baik, tapi ia tidak merasa dilayanai, karena tidak paham akibat mendapat informasi keliru atau kurang jelas.
Kelemahan Depag untuk menciptakan haji mandiri?
Kelemahannya terletak pada minimnya aparat yang mengurusi ini yang hanya sampai tingkat kabupaten. Dan itupun hanya dilakukan oleh dua hingga tiga orang, dengan urusan rutin yang sangat banyak.
Kini kami mulai memberdayakan Kantor Urusan Agama (KUA). Karena merekalah yang kami nilai dekat dengan masyarakat dalam urusan ini. Sayangnya, penataran yang dilakukan KUA, selama ini masih terlalu banyak aspek manasiknya, dan kurang tentang kebijakan. Ke depan akan disesuaikan agar KUA juga menguasai administrasi dan kebijakan Depag.
Langkah Depag menciptakan haji mandiri?
Depag telah membentuk gugus tugas satuan-satuan yang langsung dekat dengan jamaah. Langkah pertama, memberdayakan KUA.
Program ini memang butuh waktu. Sebelum bisa menatar seluruh KUA secara bertahap, kami menatar Trainer of Trainees (TOT). Di samping penataran kebijakan, juga ditatar pokok-pokok masalah ibadah manasik.
Peran KUA ini bukan jalan sendiri, atau menjadi “KBIH plat merah” seperti dikuatirkan sebagian orang. KUA selaku manajer di tingkat paling bawah, bisa memercayakan tokoh masyarakat maupun para ahli di daerahnya. Atau bekerjasama dengan para ulama dan asatidz yang telah diberi sarana dan dasar-dasar kebijakan.
Sebelum kebijakan ini diberlakukan, apa peran KUA?
Selama ini aparat Depag yang memagang penuh urusan haji. Itupun dikerjakan orang SDM yang terbatas. Kekurangan ini sekarang akan ditutupi oleh pegawai KUA yang dilibatkan.
Kami juga mengupayakan adanya dana untuk KUA, agar kelak KUA bisa memberdayakan masyarakat. KUA memang sudah biasa berhubungan dengan masyarakat, baik di masjid, pernikahan, ceramah, atau pertemuan, dan mereka sangat bisa menyampaikan pengetahun tentang haji dan urusan-urusannya. Dengan begitu, diharapkan calon jamaah haji akan tahu tentang ibadah haji lebih awal dan selanjutnya dapat lebih mandiri.
Mekanismenya?
Yang mengorganasi urusan pendaftaran haji memang
Depag Kabupaten atau Kota bertugas menerima pendaftaran. Begitu di kabupaten, Kantor Depag Kabupaten/Kota memberi tahu segala informasi tentang jamaah kepada KUA-KUA setempat melalui sistem komputer Siskohat.
Begitu ada calon pendaftar yang memiliki batas cukup dana ONH Rp 20 juta, ia sudah lekas mendapat kursi yang daftar namanya diberikan ke masing-masing KUA.
Kalau sistem yang lalu biasanya pembinaan dilakukan begitu si calon haji akan berangkat ke Tanah Suci. Dalam kondisi ini jamaah hanya mendapat 16 kali penataran. Dengan sistem yang baru, jumlah bobot penataran semoga akan ditingkatkan hingga lebih dari 20 kali. Semakin banyak jamaah mendapat pembinaan, mereka juga akan lebih matang dan mandiri.
Mengenai peran KBIH?
KBIH tetap berperan secara profesional. Mereka memiliki kelebihan berkat bikin jaringan dan waktu untuk memberi peran-peran positif kepada jamaah. Tapi jangan hanya dimanfaatkan untuk sekedar mencari keuntungan.
Karena pembimbingnya hanya menguruskan biaya ini, bayar itu, mau ini nggak boleh, ingin itu nggak boleh. KBIH harus profesional. Untuk pelayanan yang lebih bagus harus ada pilihan. Tidak dipaksa-paksa, dengan kebutuhannya, tarik sana-tarik sini.
Jika calon jamaah semakin tahu, itu akan semakin bagus. Di samping profesionalitas, KBIH juga harus peningkatan pembinaan jamaahnya.
Bagaimana seharusnya peran KBIH pra dan pascapelaksanaan haji?
Kami berharap ONH Plus atau KBIH berperan sebagai lembaga pendidikan dan dakwah. Setelah aktivitas haji selesai, upaya menjaga kemabruran jamaahnya harus terus dilakukan para pembimbingya. Setidaknya melakukan pengembangan jamaah melalui bimbingan.
Dulu, banyak orang yang pulang ibadah haji bisa menjadi tokoh dan panutan masyarakat. Tapi sekarang, 200 ribu jamaah haji Indonesia justru pulang tanpa menjadi apa-apa. Karena itu, perlu pembekalan secara matang, baik sebelum dan sesudah dilaksanakannya ibadah haji.
Boks
Konsisten dan Berani
Kalau ditanya siapa orang yang konsisten menangani urusan haji, jawabannya adalah Drs Haji Abdul Ghafur Djawahir. Sejak bekerja di Departemen Agama (Depag) tahun 1981, lelaki kelahiran Pekalongan 1 Maret 1954 ini tak pernah pindah tugas dari bagian Penyelenggara Haji dan Umrah.
Memang suami dari Ida Saida Nashirah ini sudah bulat tekad mewakafkan diri untuk mengabdi dalam bidang perbaikan penyelenggaraan haji hingga dating masa pensiun kelak.
Konsistensinya ini tak membuatnya berkecil hati. Ia justru semakin matang dan mumpuni menguasai persoalan terkait ibadah haji dan umrah.
Bapak yang biasa dipanggil Ghafur ini, menjadi satu-satunya lulusan IAIN Walisongo kala itu yang berhasil menjadi pegawai Depag. Begitu pula ketika mencapai jabatan eselon dua, ia menjadi satu-satu alumni Mesir yang mengurusi bidang itu. Meski begitu, iag tetap berusaha bekerja secara profesional.
Tak jarang ia harus pulang malam karena harus menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Ketekunannya bekerja ini membawanya dipercaya sebagai Sekretaris Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Depag. Sebelumnya, ayah dari M Agung Hidayat ini pernah didaulat menjadi direktur Pengelolaan Penyelenggara Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah Depag.
Ia dikenal sebagai salah seorang petinggi Depag yang sangat terbuka terhadap penyelenggaraan haji dan umrah. “Saya tidak takut kalau saya benar. Sebagai pelayan masyarakat, saya tidak boleh menutup-nutupi kepentingan masyarakat,” tegasnya.
Bagi Ghafur, bekerja adalah amanah yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Pekerjaan adalah kesempatan yang Allah berikan kepada manusia untuk lebih mensyukuri nikmat yang didapatnya.
Tantangan untuk bisa tetap bersyukur adalah nafsu. Karena itu dalam usaha mengendalikan nafsu, Ghafur memiliki resep tersendiri. “Resepnya sangat sederhana, yaitu mendekatkan diri kepada Allah, menjaga hati, berdoa untuk orangtua dan sekeliling, pimpinan, anak buah, dan lain-lain,” katanya.
28 tahun mengabdi di Depag, bukan tanpa halangan. Fitnah sering ia terima. Bahkan ia pernah sempat dinon aktifkan karena difitnah melakukan korupsi. Setelah beberapa waktu, terbukti ia sadar sedang diamanahi.
Caci maki, kritik dan hasutan, terus menghinggapi perjalanan karirnya. Namun kesupelan dalam berinteraksi dengan sesama, tak jarang membuahkan kedekatan dirinya dengan atasan.
Fitnah yang kerap ia rasakan adalah di saat masa pergantian menteri. Ia diisukan sebagai orang dekat menteri sebelumnya. “Saya dianggap sebagai penghianat dan sebagainya,” tandasnya.
Meski demikian, ia hanya berdoa kepada Allah semoga kebenaran akan berpihaknya. Tanpa argumentasi ia buktikan kekeliruan fitnah itu. Silaturahim dan kerja profesional telah membuatnya tetap bertahan hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar