Jumat, 13 November 2009

Sosok Tak Kenal Diam Pengusaha Susu

Ridwan Munir

Sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman yang mapan tak membuat Ridwan Munir puas begitu saja. Ia akhirnya memilih menjadi pengusaha susu kambing organik daripada selamanya menjadi karyawan.


Selalu ingin maju, tak mau diam, dan nyali besar. Itulah syarat utama bagi siapa pun yang hendak mendirikan usaha sendiri. Hal itu juga yang dilakukan Ridwan Munir. Meski sudah sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan yang mapan, dengan jabatan setingkat supervisor, semua itu tidak membuatnya puas begitu saja.

Kisah berawal ketika ia berkesempatan naik haji melalui biaya perusahaan. Waktu itu, selama di kota suci Makkah, ia bermunajat kepada Allah untuk kebaikan masa depannya. Yaitu pada satu doa yang berisi pilihan antara terus bekerja sebagai karyawan atau usaha sendiri. “Saya berdoa agar diberi petunjuk,” ujar suami Wiwin Fauziyah.

Selesai ibadah haji, Ridwan berkonsultasi dengan orangtuanya untuk mendirikan usaha sendiri. Awalnya orangtuanya tidak menyetujui, karena ia sudah berkeluarga, sedang bisnis yang akan ia jalani masih terbilang baru dan belum dikuasai.

Tapi orangtua Ridwan akhirnya pasrah setelah melihat kesungguhan Ridwan, dan berdoa kepada Allah untuk kelancaran usahanya. Pada tahun 2008, dengan tekad bulat, Ridwan Munir akhirnya mengundurkan diri dari perusahaan lamanya.

Sebelum terjun total sebagai produsen susu kambing etawa, Ridwan sebenarnya telah merintis bisnis susu ini saat menjadi karyawan. Ia melakukannya di tengah-tengah kesibukannya bekerja di kantor. Setiap hari ini berangkat lebih pagi untuk mengantarkan pesanan susu kambing para pelanggannya. Setelah jam kantor, ia pun masih harus mengantarkan susu ke para pelanggannya hingga tengah malam.

“Pulang rumah kadang hingga jam dua belas malam,” kenang ayah dua anak ini kepada majalah GONTOR. Awalnya ia hanya memasarkan 1 liter susu untuk orang-orang di sekelilingnya, terutama orang-orang kantor. Satu liternya ia beli dengan harga Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu.

Tak disangka, permintaan susu yang dia jual semakin bertambah hingga mencapai 40 liter per minggu. Karena order semakin banyak, Ridwan pun mengajukan diri ke produsen menjadi agen di Jakarta, dengan demikian margin keuntungan yang ia peroleh semakin besar dan pasarnya semakin luas.

Dari hasil penjualan susu itu ia bisa membeli lemari es seharga Rp 1,6 juta. Selanjutnya, bahkan ia bisa membeli kambing, tanah, dan membuat kandang. “Alhamdulillah setelah melalui proses akhirnya mulai menemukan pasarnya,” kata lelaki berkaca mata ini.

Ridwan adalah sosok yang tak mau diam. Setelah sukses sebagai agen susu, ia kemudian mulai menjajaki peternakan kambing. Di sini ia melihat gambaran bisnis yang menjanjikan. Setidaknya ada empat item bisnis ini yang dihasilkan kalau ia punya peternakan sendiri. Pertama, penghasilan harian dari susu; kedua, penghasilan mingguan dari kotoran kambing; ketiga, penghasilan bulanan dari penjualan kambing aqiqah; dan keempat, penghasilan tahunan dari penjualan kambing untuk Hari Raya Qurban. “Belum lagi saat ada pesanan mengolah kambing menjadi menu masakan,” katanya.

Akhirnya, pada tahun 2008, selain menjadi agen susu kambing ia juga memutuskan untuk membuka peternakan sendiri. Kambing yang ia ternak adalah jenis kambing etawa, yaitu kambing asal India yang terkenal memiliki kadar susu terbaik untuk kesehatan. Ia membeli kambing umur 8 bulan sebanyak 10 ekor yang harga per ekornya Rp 2 juta. Dari hasil ternaknya, kini ia telah memiliki 7 ekor kambing etawa jantan dan 273 ekor kambing betina.

Untuk pemasaran dan produksi susu kambing, ia dibantu oleh 7 tim. Selain pemasaran via internet, ia juga membuka agen-agen untuk menjangkau pasar yang lebih luas lagi, yang saat ini jumlahnya mencapai belasan. Selain di Jakarta, Ridwan telah berhasil membuka pasar di luar Jawa seperti di Makassar, Bengkulu, Palembang, Lampung dan Batam. “Kami terus menjajaki pasar wilayah lain sesuai dengan kemampuan kami,” paparnya.

Perihal prospek bisnis ini, Ridwan mengatakan bahwa peluangnya sangat bagus. “Selama masih banyak orang yang sakit dan menjaga kesehatan, susu akan tetap dibutuhkan,” terangnya. Apalagi, persaingan di bisnis ini juga masih belum terlalu ketat. Karena itu, strategi Ridwan adalah menjaga kualitas susunya. “Jadi mulai dari kandang hingga ke pelanggan harus higienis dan dilakukan dengan profesional,” ujarnya.

Alhamdulillah, dari hasil usaha yang ia lakukan selama tiga tahun ini Ridwan sudah bisa membangun rumah dua lantai, membeli tanah untuk beternak, dan mobil. Bahkan dari hasil keuntungan yang ada ia sisihkan untuk anak yatim dan pesantren sebesar 12,5 persen.

Tentu saja tidak ada kesuksesan yang tanpa hambatan. Ridwan mengaku dirinya pernah ditipu di awal berbisnis. Yaitu ketika dirinya membeli kambing dan menyerahkan ke seorang peternak untuk mengelolanya dengan model bagi hasil. Untuk pembagian susu, 40 persen untuk dirinya; dan 60 persen untuk peternaknya. Jika kambing melahirkan dua ekor maka akan dibagi rata, tapi jika satu ekor maka giliran.

Tapi semua tidak berjalan mulus, karena peternak mengatakan tiga ekor kambingnya mati, hilang dan susunya sedikit padahal saat itu kambing sudah bisa produksi. Selidik punya selidik ternyata kambing dijual oleh peternak tanpa sepengetahuannya. “Ya itu bagian dari perjalanan yang harus saya lewati. Itu ujian bagian saya,” kenangnya.

Sejak itu, Ridwan mengaku terobsesi untuk menjadikan bisnis ini tidak hanya untuk mencari uang tapi lebih dari itu bisa memberikan pencerahan kepada siapa saja yang ingin membuka peternakan kambing organik. “Kami siap memberikan penyuluhan kepada peternak kambing yang ingin hasilnya lebih baik dan berkualitas,” ungkap lelaki yang sekarang sudah beromzet Rp 100 juta per bulan./fathurroji

Boks

Berkreasi Sejak di Pesantren

Usai menamatkan bangku sekolah dasar, Ridwan Munir melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta. Selama di pesantren, ia banyak aktif di organisasi dan kegiatan yang menyangkut masalah kesehatan atau bagian kesehatan santri.

Selain itu, ia juga aktif sebagai pelatih bela diri Tapak Suci, dan keterampilan kaligrafi berbahan dasar kaca dan kertas hias. Tak heran, bila ia juga pernah berjualan karya kaligrafi karyanya sendiri. “Hasilnya tak seberapa tapi bisa menjual sudah cukup,” kenangnya.

Lulus dari Darunnajah, ia melanjutkan kuliah ke Jurusan Dakwah, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selama menjadi mahasiswa ia juga tak pernah diam. Keahlian kaligrafi yang pernah ia dapatkan dari pondok ia kembangkan saat menjadi mahasiswa. Selain itu ia juga menjadi guru private mengaji al-Qur’an.

Setelah memiliki banyak murid les private, ia pun merekrut 11 guru ngaji jika sewaktu-waktu ada yang pesan les private. “Saat mahasiswa saya sudah bisa cari duit sendiri,” katanya.

Lulus dari kuliah, ia mencoba peruntungan untuk bekerja di sebuah perusahaan. Gayung pun bersambut. Tak lama menganggur, ia sudah diterima di sebuah perusahaan di Jakarta. Tapi hanya bertahan sekitar 10 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat usaha sendiri, yaitu peternakan kambing organik. Fathurroji

Tidak ada komentar: