Senin, 22 Desember 2008

Investasi Emas Di Saat Krisis


Krisis ekonomi global mendorong banyak orang memburu emas sebagai pilihan utama investasi. Hal inilah yang memotivasi manajemen Pegadaian Syariah untuk meluncurkan produk investasi emas bernama “Mulia” (Murabahah Emas Logam Mulia).


Setiap kali krisis ekonomi terjadi, harga emas pun melambung tinggi. Tak terkecuali krisis ekonomi global kali ini. Tidak di Indonesia, tidak di luar negeri, sama saja. Harga emas saat ini sudah menyentuh angka Rp 300 ribu-an.

Bagi pihak Perum Pegadaian, kondisi ini sebenarnya menguntungkan. Pasalnya, sebagian besar barang jaminan di Pegadaian adalah emas. Tahun 2008 ini total cadangan emas Perum “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah” ini mencapai 40 ton, dengan 5 persennya untuk Pegadaian Syariah.

Untuk meningkatkan pertumbuhannya, cadangan emas itu kemudian di-manage lagi. Salah satunya dengan membuka investasi emas kepada para nasabah. Menurut Rudy Kurniawan, manajer divisi syariah Perum Pegadaian, kondisi tersebut akan berdampak baik bagi Pegadaian Syariah.

Produk pembiayaan kepemilikan emas batangan ini baru diluncurkan pada Oktober 2008 lalu, kendati demikian animo masyarakat cukup baik. Kini pihak manajemen sedang melakukan sosialisasi produk ke daerah-daerah. Saat ini masih hanya wilayah Jakarta dan Bogor yang membuka layanan ini.

Tahun 2009, targetnya seluruh cabang Pegadaian Syariah yang berjumlah 93 cabang sudah membuka layanan investasi emas ini. Ditambah cabang Pegadaian konvensional yang berjumlah hampir 2000 cabang di seluruh Indonesia.

Rudy mengakui kalau produknya ini memiliki kendala dalam pendistribusian emas ke daerah. Saat ini ada aturan yang ketat mengenai pengiriman barang-barang berharga melalui pengiriman kurir. Menurut Rudy, pembiayaan emas ini minimal 5 gram, bisa dengan cara tunai atau angsuran. Adapun tempo waktunya selama 6 bulan hingga 3 tahun. Dengan margin 1 persen per bulannya.

Nasabah yang ingin mendapatkan pembiayaan emas ini harus memenuhi persyaratan, antara lain memiliki KTP, Kartu Keluarga, surat keterangan gaji, dan lain-lain. “Kita mau tahu kemampuan bayar bulanannya. Karena kita pembiayaan, takut dijadikan spekulasi. Kami selektif,” katanya.

Setelah angsuran lunas, nasabah bisa membawa emas batangan untuk dimiliki. Soal keamanan membawa emas dalam jumlah besar, pihak Pegadaian sudah mengantisipasi dengan menggodok produk tabungan emas. Rudy menjelaskan, tabungan emas ini nantinya hanya diperuntukkan bagi nasabah yang memiliki emas dari pegadaian. “Kami mencoba menjembatani kebingungan nasabah saat emas sudah ada di tangan, yaitu dengan tabungan emas,” paparnya.

Bursa Mulia

Besarnya animo masyarakat untuk berinvestasi di logam mulia ini, mendorong Pegadaian membuat produk baru lagi, yaitu Bursa Mulia, atau kelanjutan dari Mulia. Direktur Utama Perum Pegadaian Chandra Purnama mengatakan, Bursa Mulia ini akan jadi tempat nasabah pegadaian yang hendak melakukan transaksi jual beli emas dan butuh uang dalam waktu singkat.

Guna melancarkan usahanya, Pegadaian menggandeng anak usaha PT. Aneka Tambang Tbk., yaitu PT. Logam Mulia, sebagai pemasok emas. “Kami masih bernegosiasi soal ukuran emas yang akan dipasok ke Pegadaian,” kata Chandra.

Lebih lanjut, Rudy menambahkan bahwa Bursa Mulia dimaksudkan juga untuk mendidik masyarakat guna berinvestasi di emas. Kini, emas adalah salah satu bentuk investasi yang aman. Sebab, tren harganya diperkirakan akan terus naik. “Cadangan sangat terbatas, sementara peminatnya terus bertambah,” jelas Rudy.

Jangan Bela Kepentingan Pengusaha

KH Abdullah Faqih

Bunyi iklan banner di website Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, cukup provokatif: "Dicari perokok yang ingin tobat." Setelah diklik, muncul iklan lain, "Gratis, 20 menit sembuh." Begitulah, dalam sepuluh tahun terakhir ini segenap daya dikerahkan KH Abdullah Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Langitan, untuk membebaskan para santri dan masyarakat dari ketergantungan pada rokok.
Tak hanya menerapkan peraturan ketat larangan merokok bagi segenap warga pondok, Kiai Faqih juga menyelenggarakan terapi ala pondok yang menyembuhkan pasiennya dari ketergantungan pada rokok hanya dalam waktu 20 menit. Berikut wawancara reporter Majalah Gontor, Fathurroji, dengan Kiai Abdullah Faqih, pengasuh pesantren berumur satu setengab abad yang telah melahirkan ulama-ulama besar seperti KH Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy'ari, dan KH As’ad Syamsul Arifin.


Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana mengeluarkan fatwa tentang hukum rokok pada bulan Januari ini. Bagaimana pendapat Kiai bila ternyata MUI berani memfatwakan rokok itu haram hukumnya?
Menurut kami, apa yang dilakukan MUI itu adalah kewajaran sekaligus keharusan. Disebut wajar sebab MUI adalah lembaga yang menaungi ulama sehingga menyuarakan permasalahan yang dihadapi umat, sebagai wilayah garapan MUI. Disebut sebuah keharusan karena MUI mengungkapkan hukum sebenarnya dari merokok yang selama ini dianggap sebagai suatu perilaku yang biasa dan tidak berimplikasi apa-apa. Dalam hal ini MUI perlu mengungkapkan fakta hukum yang sebenarnya. Kalau rokok hukumnya //makruh// ya dibilang makruh, kalau hukumnya //haram// ya dibilang //haram//, kalau perlu di-//tafsil// (dijelaskan secara rinci) ya di-//tafsil//.

Untuk fatwa itu, haruskah MUI meminta kesepakatan dari para kiai atau ulama?
Sebenarnya fatwa MUI itu tidak ada yang aneh, sebab apa yang akan difatwakan itu saya yakin adalah hasil dari menggali hukum-hukum yang sudah tertera dalam kitab klasik. Sehingga dalam hal ini, menurut saya, MUI tidak harus meminta kesepakatan atau apalah bahasanya. Sebab hal itu tidak mungkin bertentangan dengan para kiai atau ulama.

Tapi, sudah siapkah para kiai dan ulama menerima fatwa MUI yang mengharamkan rokok? Bukankah selama ini banyak kiai dan ulama yang merokok?
Menurut saya masalahnya bukan siap dan tidak siap. Akan tetapi MUI harus menunjukkan hukum sebenarnya dari merokok agar masyarakat luas menjadi tahu hukumnya dari sudut pandang agama. Mereka selama ini hanya tahu pengaruh dan efek negatif rokok dari kacamata kesehatan sebagaimana tercantum di setiap kemasan rokok. Soal banyaknya kiai yang masih merokok, itu disebabkan karena mereka meyakini hukum merokok tidak sampai pada hukum haram. Seperti kita ketahui bersama, di antara ulama ada yang memfatwakan bahwa merokok hukumnya makruh, namun bisa menjadi haram karena ada sebab-sebab tertentu seperti orang yang dilarang oleh dokter karena terindikasi penyakit tertentu.

Menurut Kiai apakah fatwa MUI nanti bisa efektif mengurangi jumlah perokok?
Sebagai tindakan preventif, saya pikir itu bisa efektif. Asumsi saya, banyak di antara mereka merokok karena berangkat dari ketidaktahuan hukum. Sehingga dengan fatwa haram itu, dari kelompok ini minimal akan ada pengurangan jumlah perokok yang cukup signifikan.

Jika fatwa haram tersebut disahkan, bukankah ini akan menciptakan pengangguran? Bukankah pabrik rokok dan petani tembakau di wilayah Jawa cukup banyak jumlahnya?
Di Kabupaten Bojonegoro, dalam beberapa tahun silam, hampir seluruh petaninya adalah petani tembakau. Namun, seiring dengan harga tembakau yang tidak stabil ditambah dengan peluang keuntungan yang lebih menjanjikan dari komoditas yang lain, maka sekarang petani yang masih fanatik menanam tembakau tinggal pada daerah tertentu saja. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa andai tembakau benar–benar "dilarang untuk ditanam," maka para petani dan pedagang tembakau akan beralih mencari alternatif pekerjaan yang lain. Kalau hanya memikirkan dampaknya terhadap pengangguran saja dalam masalah ini, maka kita terkesan hanya bertumpu pada satu kaki, berat sebelah. Kita membela kepentingan para pengusaha, pabrik, pekerja dan petani tembakau, tetapi kita menafikan akibat dan pengaruh dari bahaya rokok pada penikmat rokok, keluarga dan lingkungannya, baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan.

Lalu bagaimana dengan perusahaan rokok Tali Jagad milik NU? Menurut saya, ada dua hal yang menjadi alasan NU melakukan itu. Pertama, memanfaatkan celah hukum dan mengambil hukum yang lebih ringan. Bagaimanapun juga kesepakatan tentang hukum rokok tidaklah keputusan bulat akan tetapi "lonjong", sebab di sana ada ikhtilaf antarulama bersandar dari hukum di atas. Dan kedua, melihat peluang pasar yang cukup menggiurkan, maka NU membuat perusahaan rokok tersebut sehingga dalam hal ini saya tidak bisa menyalahkan mereka yang masih merokok atau para petani tembakau atau bahkan pabrik rokoknya, manakala mereka berpedoman bahwa rokok adalah makruh, bukan haram.

Adakah yang perlu diantisipasi warga NU dengan rencana fatwa MUI yang mungkin mengharamankan rokok?
Warga Nahdliyyin harus bersikap dewasa. Apa yang diputuskan MUI adalah dalam rangka "menutup peluang", sehingga ke depannnya diharapkan generasi perokok menjadi semakin sedikit. Ini seiring dengan kemajuan pemikiran dan keilmuan yang menghasilkan generasi yang berpikir logis, bahwa rokok tidak membawa nilai positif baik dari sudut pandang agama, ekonomi apalagi kesehatan. Jadi warga Nahdliyyin jangan sampai menyalahkan secara membabi-buta pada mereka-mereka yang masih merokok. Karena, melihat kenyataan riil dalam ranah hukum asal tentang rokok, masih ada perbedaaan antarulama.

Menurut Kiai, bagaimana sebaiknya para kiai, ulama, guru dan tokoh masyarakat menyikapi fatwa MUI yang diharapkan mengharamkan rokok itu?
Mereka harus mendukung dan bahu-membahu untuk mengamankan fatwa tersebut sekaligus memberi pencerahan kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi benar–benar sadar bahwa rokok lebih banyak //mudlarat// daripada manfaatnya.

Pesantren Langitan yang Kiai pimpin melarang merokok bagi seluruh penghuni pondok. Bagaimana Kiai mampu menerapkan aturan ini?
Pada awalnya larangan ini diberlakukan tidak secara langsung dan serta merta, tapi melalui beberapa tahapan. Yakni, semula tidak boleh merokok pada area tertentu, sehingga ruang gerak mereka menjadi sempit dan kawasan bebas rokok menjadi luas. Lalu aturan ditambah, santri boleh merokok pada usia tertentu. Tujuannya untuk memotong generasi merokok, bagi yang sudah kadung kita minimalkan dan yang belum merokok kita pagari dengan hukum dan aturan sehingga mereka tidak sempat menjadi pecandu rokok. Aturan–aturan di atas kita tingkatkan terus dalam beberapa tahap sehingga pada akhirnya Pondok Pesantren Langitan benar–benar bebas dari rokok.

Sejak kapan aturan larangan merokok itu diberlakukan?
Sejak awal tahun 1980-an, dan Pesantren Langitan benar-benar bebas dari rokok pada akhir tahun 1990-an.

Apa alasan Kiai menerapkan aturan ketat seperti itu?
Ada banyak alasan mengapa saya menerapkan aturan ini. Di antaranya adalah keluhan para wali santri tentang borosnya biaya hidup anak-anak mereka di pondok disebabkan merokok. Di samping itu, bila ada kasus pencurian, maka penyebab utamanya adalah kecanduan merokok, sehingga dengan adanya larangan merokok ini kasus pencurian menjadi semakin jarang. Selain itu, dengan adanya larangan rokok ini, kamar dan asrama menjadi bersih, tidak ada puntung rokok. Larangan ini ternyata juga berpengaruh pada tamu. Mereka sungkan merokok di lokasi pondok. Alhamdulillah kesehatan para santri menjadi semakin meningkat, tidak ada yang sakit gara-gara rokok.

Berarti larangan merokok itu berdampak sangat positif?
Alhamdulillah sangat efektif. Di samping saya sendiri memberi contoh tidak merokok, saya juga tekankan pada pengurus pondok bahwa peraturan merokok adalah termasuk skala prioritas. Maka dalam beberapa tahun saja Pesantren Langitan sudah benar-benar bebas dari rokok. Tapi harap diingat bahwa penegakan peraturan ini harus berkesinambungan dan konsisten.

Apa sanksi bagi yang merokok?
Untuk sanksi, itu menurut kebijakan pengurus pondok.

Bisakah Kiai menjelaskan lebih jauh dasar hukum haram merokok?
Sekali lagi saya katakan bahwa hukum rokok pada dasarnya adalah makruh. Bagi mereka yang mengharamkannya, maka hal itu disandarkan pada beberapa sebab, sesuai dengan kaidah fikih:
ÇáÍßã íÏæÑ ãÚ ÚáÊå æÌæÏÇ æÚÏãÇ. Adapun hal-hal yang menjadikan merokok itu haram adalah: Pertama, pengaruh negatif rokok dari unsur kesehatan. Kalau si perokok punya persangkaan bahwa rokok berakibat negatif terhadap kesehatannya maka merokok menjadi haram, sebagaimana firman Allah æáÇ ÊáÞæ ÈÇíÏíßã Çáì ÇáÊåáßÉ, yang artinya, "Jangan ceburkan dirimu dalam kerusakan". Untuk jelasnya, lihat //hasyiah// (catatan kaki) Kitab Bajuri juz I halaman 29. Alasan kedua, //tabdzir//, menyia-nyiakan harta. Segala pengeluaran harta yang tidak membawa manfaat keduniaan maupun ukhrawi tergolong //tabdzir//. Pengeluaran harta tersebut baik untuk hal–hal yang haram seperti membeli minuman keras atau hal-hal yang makruh seperti membeli rokok. Untuk jelasnya, baca //hasyiah// Kitab Bajuri juz I halaman 366. Dan alasan yang ketiga, pengaruh negatifnya yang tidak secara langsung, di mana dalam jangka tertentu pengaruh tersebut baru muncul. Hal ini tetap menjadikan hal tersebut (merokok) haram dilakukan. Untuk rinciannya, lihat Kitab //I'anah al-Thalibin// juz 4 halaman 176-177.

Pesantren Langitan juga memunyai terapi khusus bagi pecandu rokok agar mereka bisa meninggalkan rokok. Bisakah dijelaskan?
Di samping terapi hukum, baik hukum agama maupun hukum pondok (peraturan pondok) seperti yang telah saya jelaskan, bila diperlukan mereka disembuhkan dengan terapi khusus ala pondok -- sebuah metode terapi yang melibatkan emosi penderita. Sebab menurut teori terapi tersebut, ada kesalahan pandang dari syaraf perokok terhadap rokok. Di sinilah, terapi tersebut berusaha meluruskan kesalahan pandangan syaraf terhadap rokok.

Selain sisi minusnya, adakah sisi plusnya rokok bagi kesehatan manusia?
Kalau saya pribadi kok memandang lebih banyak bahayanya

Harapan Kiai ke depan tentang larangan rokok ini?
Saya berharap generasi yang akan datang benar-benar terbebas dari kecanduan merokok.n

KH Abdullah Faqih (70) lahir di Dusun Mandungan, Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi'i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama.

Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Mekkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayah Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki. Karena itu tak mengherankan jika setiap Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, tokoh yang amat dihormati kalangan kiai NU, itu berkunjung ke Indonesia ia selalu mampir ke Pesantren Langitan yang didirikan l852. Di kalangan warga Nahdliyin, KH Abdullah Faqih dikenal sebagai kiai khos, kiai yang kharismatik.

Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqamah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. "Tak jarang beliau membersihkan sendiri daun jambu yang berserakan di halaman," tutur Choirie yang pernah 7 tahun menjadi santri Langitan. Dari perkawinannya dengan Hj Hunainah, Kiai Faqih dikaruniai 12 anak

Rabu, 10 Desember 2008

Manfaat Ekonomis Berhenti Merokok

Sekali lagi, merokok memiliki dampak buruk, selain mengganggu kesehatan yang berakibat pada kematian, juga mengganggu perekonomian sebuah keluarga. Menurut Ahli Perencanaan Keuangan, Ahmad Gozali, orangtua yang merokok dalam sebuah keluarga tentunya akan sangat merugikan, bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi seluruh anggota keluarganya.

”Dari sisi ekonomi, porsi pengeluaran akan dikurangi dengan jatah rokok untuk perokok. Dari sisi kesehatan, perokok dan anggota keluarganya yang menjadi perokok pasif karena kebiasaan merokok di dalam rumah, menjadi lebih mahal karena rentan terhadap penyakit,” paparnya.
Selain itu, angka harapan hidup perokok akan lebih pendek daripada yang tidak merokok. Jika meninggal dunia dalam usia produktif tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan nafkah keluarga yang ditinggalkan.

Menurut Gozali, perokok aktif kebanyakan dari kalangan masyarakat golongan menengah ke bawah. ”Kalau kita perhatikan, ternyata golongan menengah ke bawah justru lebih banyak merokok dari pada golongan menengah ke atas. Namun belum jelas korelasinya bagaimana, apakah karena ia miskin maka hiburan paling mudah baginya adalah merokok. Atau sebaliknya, karena suka merokok, maka ia menjadi atau tetap miskin,” ungkapnya.

Secara umum, imbuhnya, perokok akan memiliki tingkat ekonomi yang lebih berat dari pada yang tidak merokok. Karena untuk merokok sendiri diperlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya langsung yang timbul adalah pembelian rokok dan pelengkapnya, misalnya korek api, kopi, dan lain sebagainya. Sedangkan biaya yang tidak langsung adalah biaya kesehatan yang tentunya akan lebih rentan bagi perokok.

Jika dilihat dari harga rokok yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan karena biaya cukai dan pajak naik, menurut Gozali hal ini akan berimplikasi pada gangguan perekonomian keluarga miskin, dan ini lebih jelas terlihat dan mudah dibuktikan. Karena semakin miskin seseorang, maka semakin besar prosentase konsumsi rokok dibandingkan dengan penghasilannya. Artinya seorang perokok miskin akan lebih banyak menanggung beban untuk membeli rokok daripada perokok kaya.

”Rokok adalah masalah selera, kaya atau miskin, kalau sudah kecanduan merokok akan tetap mengonsumsi rokok berapa pun harganya. Dan rokok yang paling murah sampai yang paling mahal perbedaannya tidak terlalu jauh,” katanya.

Gozali juga menggambarkan bagaimana rokok bisa menjadikan perokok miskin semakin miskin. Misalnya, Si A penghasilan Rp 2 juta dan si B penghasilan Rp 10 juta. Keduanya mungkin memiliki kebiasaan berbeda dalam selera makan. Si A mungkin akan memilih makan di Warteg, sedangkan si B bisa jadi makan di rumah makan atau restoran. Begitu juga dengan transportasi, si A mungkin menggunakan angkutan umum atau sepeda motor, sedangkan si B menggunakan mobil pribadi. Ini juga wajar karena pengeluarannya akan diseimbangkan dari seberapa besar penghasilannya.

Tapi kalau soal rokok, imbuh Gozali, mereka bisa jadi memiliki konsumsi rokok yang sama, menggunakan merk rokok yang sama dengan harga yang sama pula. Anggap saja sebungkus rokok per hari dengan harga Rp 7 ribu, maka per bulannya adalah Rp 210 ribu. Bagi si A, pengeluaran rokok adalah sekitar 10% dari total penghasilan. Sedangkan si B adalah sekitar 2% dari penghasilannya.

Menurutnya, perokok miskin akan semakin sulit keluar dari kemiskinannya karena harus menanggung beban konsumsi rokok yang sangat besar dilihat dari penghasilannya. Selain itu orang miskin akan lebih sulit berhenti dari kebiasaan merokok daripada orang kaya. Karena orang miskin sulit untuk mendapatkan hiburan lain, sehingga cenderung menganggap rokok adalah hiburan yang paling mudah. Berbeda dengan orang kaya yang bisa mendapatkan jenis hiburan lain yang lebih beragam. Selain itu lingkungan kerja orang miskin di sektor non-formal cenderung kondusif baginya untuk tetap merokok. Sedangkan orang kaya yang berkerja di perkantoran terpaksa mengurangi konsumsi rokoknya karena bekerja di ruangan ber-AC.

Bagaimana sisi ekonomis dari berhenti merokok? Gozali mengasumsikan, konsumsi rokok per hari adalah sebungkus dengan harga Rp 7 ribu – 10 ribu per bungkus. Artinya, konsumsi rata-rata untuk rokok adalah sebesar Rp 210 ribu – 300 ribu per bulan. ”Padahal, jumlah sebesar ini sudah bisa untuk setoran tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan bagi anak kita,” katanya.

Kalau uang sebesar Rp 210 ribu diinvestasikan setiap bulan, kedalam tabungan berjangka seperti tabungan pendidikan yang memberikan hasil 7% per tahun, maka dalam waktu 5 tahun, bisa terkumpul Rp 15 juta. Sudah cukup untuk biaya masuk SD favorit.
”Rp 300 ribu dibelikan emas setiap bulannya (sekitar 1 gram), maka dalam waktu 150 bulan alias 12,5 tahun sudah cukup untuk biaya naik haji,” paparnya.

Apalagi, imbuh Gozali, kalau uang sebesar Rp 300 ribu yang bisa dihasilkan per bulan dari berhenti merokok masuk investasi dengan hasil 20% per tahun seperti pada reksadana atau saham, maka dalam 10 tahun, hasilnya sudah lebih dari Rp 100 juta. ”Sudah cukup untuk beli sebuah mobil,” tegasnya.

Berhenti merokok selain bisa memperbaiki kondisi keuangan keluarga, juga bisa terhindar dari penyakit mematikan seperti jantung, kanker paru serta gangguan kehamilan dan janin. Bayangkan, kalau sekali berobat saja ke dokter (misalnya) sudah Rp 200 ribu dikali jumlah anggota keluarga yang ikut juga menjadi perokok pasif. Bisa jadi pengeluaran dana yang disiapkan mencapai puluhan sampai ratusan juta untuk biaya pengobatannya saja.

Menurut Gozali, merokok adalah pilihan pribadi, oleh karena itu perlu dibuat aturan yang tegas agar kerugian dan bahaya merokok jangan sampai membuat kerugian bagi orang lain yang tidak merokok.

Dari sisi pembatasan area merokok. Perlu lebih tegas aturan dan penegakan hukum untuk tidak merokok di tempat umum, terutama kendaraan umum dan ruang tertutup. Dari sisi pembatasan usia merokok. Perlu ketegasan dan kerjasama semua pihak untuk membatasi usia perokok dan pembeli rokok. ”Jangan sampai orangtua malah mengajarkan anaknya merokok dengan menyuruh anaknya membeli rokok,” tuturnya.

Untuk memulai berhenti merokok, Gozali punya kiat, ”Sederhana saja. Tidak usah mencoba merokok. Dan tidak perlu mulai merokok,” katanya.

BOKS

Stop Rokok, Bangun 250 Masjid
Fuad Baradja, Ketua Bidang Penyuluhan dan Pendidikan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), memberikan ilustrasi yang cukup mencengangkan terkait rokok. Ternyata, jika umat Islam dalam sehari tak merokok, maka umat Islam bisa membangun masjid sebanyak 250 buah dengan dana Rp 1 milyar.

Jumlah perokok di negeri ini mencapai 77 juta orang. Jika dilihat presentasi
umat Islam sekitar 80% maka jumlah Muslim yang merokok sekitar 50 juta orang. Kalau mereka merokok dengan harga Rp 5.000 biaya rokok umat Islam di Indonesia dalam sehari sekitar Rp 250 milyar.

Padahal, imbuh Fuad, dana Rp 250 milyar dalam sehari bisa dibangun 250 masjid mewah seharga Rp 1 milyar, setiap hari bisa dibangun 250 madrasah unggulan, bisa diberangkatkan 10.000 jamaah ke Makkah untuk umroh.

Tak hanya itu, setiap hari juga bisa dibelikan susu terbaik untuk pengembangan optimal otak balita muslim. ”Bukankah ini proses pembodohan dan pemiskinan dengan membiarkan umat merokok?” tegasnya.

Produsen Untung, Konsumen Buntung

Produksi rokok di Indonesia terus meningkat. Meski setorannya Rp 50 triliun per tahun ke negara, tapi kontribusinya disangsikan.

Tak ada yang menyangkal kalau merokok dapat membahayakan kesehatan. Mulai dari serangan jantung, kanker paru-paru, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin. Ironisnya, pemakai rokok jumlahnya tetap fantastis.
Pemerintah bahkan mewajibkan produksi rokok memberi label “peringatan” akan bahaya merokok di setiap bungkus rokok. Tapi ironisnya, semua itu tetap tidak membuat perokok sadar, bahwa merokok dapat membahayakan diri mereka.
Ironisnya lagi, produksi rokok di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 mencapai 118 miliar batang, sedang tahun 2008 meningkat 230 miliar batang.
Tulus Abadi, Ketua Advokasi Komnas Penanggulangan Tembakau mengatakan bahwa pemerintah dan masyarakat sebenarnya telah menjadi “penyembah” setia industri rokok. Setoran ke kas negara dari cukai dan pajak rokok yang konon mencapai Rp 50 triliun, plus terserapnya ratusan ribu pekerja menjadi instrumen efektif untuk menuhankan industri rokok.
Akibatnya, pemerintah nyaris tidak mempedulikan pengendalian penggunaan tembakau di negeri ini. Terbukti, ketika 192 negara anggota WHO (World Health Organization) menundukkan diri dalam Konvensi Pengendalian Dampak Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control [FCTC]), Indonesia bergeming. Padahal, Indonesia adalah salah satu penggagas dan pembahas draf FCTC, yang kini telah menjadi hukum internasional.
Besarnya cukai yang diraup didukung oleh fakta bahwa sebagian besar pria Indonesia adalah perokok aktif. Tahun 2004 jumlah perokok mencapai 35% dari total populasi pria di Indonesia, sedang tahun 2007 meningkat menjadi 72%. Angka ini paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina (53, 4%), India (29,4%) dan Thailand (39,3%).
Tapi benarkah industri rokok memberikan kontribusi yang berarti terhadap negara? Menurut Ketua Bidang Penyuluhan dan Pendidikan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Fuada Baradja memang cukai rokok bagi pemerintah cukup besar. Namun pemerintah punya tanggung jawab mengembalikan Rp 50 triliun itu untuk menanggulangi akibat rokok, ”Nyaris tidak ada dan sangat kecil,” jelasnya.
Artinya, cukai yang besar tidak sebanding dengan akibat yang disebabkan oleh rokok. Bahkan pemerintah harus mengeluarkan dana lima kali lipat dari jumlah cukai yang ada, karena rokok ini. Ironisnya, pemerintah menggalakkan seolah-olah menjadi sumber pendapatan negara hinga tahun 2025. ”Padahal ini (rokok-red) dampaknya sangat berbahaya,” ujarnya.
Fuad menambahkan dampak lainnya adalah mulai dari biaya penyembuhan akibat merokok, tidak hadir kerja, hilangnya produktivitas, kematian prematur, dan juga membuat orang menjadi miskin lebih lama karena mereka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok.

110 Triliun untuk Guru

SBY menggelontorkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, mau diapakan dana sebanyak itu? Akankah kualitas dunia pendidikan negeri ini berubah?

Guru dan dosen kini boleh tersenyum lebar, pasalnya pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Dalam rancangan anggaran pendidikan 2009, pemerintah mengalokasikan anggarannya sebesar Rp 224,4 triliun, namun hasil rapat RAPBN menyepakati alokasi dana sebesar Rp 207,4 triliun untuk anggaran pendidikan.

Koordinator panitia kerja belanja pemerintah pusat yang membahas RAPBN 2009, Harry Azar Azis mengatakan, dari usulan pengalokasian anggaran pendidikan dalam RAPBN 2009 sebesar Rp 224,4 triliun disepakati dialokasikannya dana sebesar Rp 207,4 triliun.

"Jumlah tersebut termasuk tambahan anggaran pendidikan sebesar Rp29,4 triliun. Meski lebih kecil namun rasionya tetap 20% dari APBN," jelas Harry dalam rapat pembahasan tingkat I RAPBN 2009.

Asumsi anggaran terbagi menjadi dua yaitu anggaran murni pendidikan yang ada dalam belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah sebesar Rp 177,9 triliun serta adanya tambahan anggaran pendidikan yang disalurkan melalui kementerian dan lembaga, pos dana cadangan, dan transfer ke daerah sebesar Rp109,05 triliun.

Harry menjelaskan, kesepakatan mengenai anggaran pendidikan diwarnai sejumlah catatan oleh Panja RAPBN 2009 kepada pemerintah. Pertama, Panja sepakat agar Depdiknas dan Depag membeli semua hak cipta dalam pengadaan buku-buku (umum dan terakreditasi) BOS.

Kedua, agar pemerintah melakukan debt swap untuk utang luar negeri dengan program-program di sektor pendidikan. Ketiga, pemerintah diminta untuk meningkatkan daya saing sektor industri melalui peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, pemerintah diminta menyinergikan program pengentasan kemiskinan dengan program pendidikan.

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan jika pada tahun 2005 anggaran pendidikan hanya Rp 78,5 triliun maka angka itu naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 154,2 triliun ditahun 2008. Sedangkan tahun 2009 anggarannya naik Rp 52 triliun atau mencapai Rp 207,4 triliun.

Yudhoyono mengatakan, tahun 2009 Depdiknas direncanakan memperoleh anggaran sebesar Rp 52 triliun. “Alokasi ini belum mencakup tambahan anggaran pendidikan sebesar Rp 46,1 triliun yang kami usulkan pada Nota Keuangan Tambahan,” kata Presiden dalam pidato kenegaraan serta keterangan pemerintah atas RUU APBN 2009 beserta nota keuangannya di depan Rapat Paripurna DPR RI.

Anggaran Depdiknas itu jauh lebih besar daripada anggaran Departemen Pekerjaan Umum sebesar Rp 35,7 triliun, Departemen Pertahanan Rp 35 triliun, Polri Rp 25,7 triliun, Departemen Agama Rp 20,7 triliun, Departemen Kesehatan Rp 19,3 triliun, dan Departemen Perhubungan Rp 16,1 triliun.

“Alokasi yang besar pada anggaran pendidikan untuk Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama adalah guna menuntaskan pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun,” katanya. Selain itu, anggaran tersebut untuk menaikkan kesejahteraan guru secara signifikan.

“Dengan anggaran pendidikan yang Alhamdulillah sudah mencapai 20 persen dari APBN kita, kita berharap untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini, guna membangun keunggulan dan daya saing bangsa di abad 21 ini,” katanya.

Anggaran pendidkan ini rencananya akan dimanfaatkan untuk merehabilitasi gedung-gedung sekolah dan membangun puluhan ribu kelas serta ribuan sekolah baru. Kendati anggaran pendidikan telah naik, pemerintah menyadari masih banyak keluarga yang tidak mampu mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah.

Selain itu, pemerintah juga akan menyediakan beasiswa lebih dari 1 juta siswa SD/MI, lebih dari 600 ribu siswa SMP/MTs, 900 ribu siswa SMA/SMK/MA dan lebih dari 200 ribu mahasiswa PT/PTA. “Sebagian besar siswa dan mahasiswa tersebut, berasal dari keluarga tidak mampu,” demikian rincian yang diberikan Kepala Negara.

Pemerintah juga akan memberikan perhatian khusus kepada para siswa yang berhasil meraih medali emas dalam olimpiade di berbagai cabang ilmu pengetahuan, yaitu dengan memberikan beasiswa di universitas mana pun di seluruh dunia sampai mencapai gelar doktor.

“Kita berharap pada masa depan, akan ada putra-putri Indonesia yang berada pada garis terdepan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, bahkan kalau bisa meraih hadiah nobel,” katanya.

Sementara di tempat terpisah, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan besaran anggaran pendidikan sejumlah Rp 224 triliun ini akan dikucurkan melalui Depdiknas sekitar Rp 75 triliun, Departemen Agama sekitar Rp 26 triliun, dan Rp 4 triliun lewat kementerian lain. Sedangkan sisanya dikucurkan lewat daerah.

"Total anggaran pendidikan Rp 224 triliun. Kurang lebih Rp 110 triliun dialokasikan untuk kesejahteraan guru dan dosen, dan disalurkan ke Pemda lewat dana alokasi umum," ungkap Bambang.

Sementara itu pengawasan pemakaian anggaran ini, imbuh Mendiknas masih mempercayakan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP, direktorat jenderal, inspektorat jenderal, serta masyarakat umum termasuk media massa.

Anggaran Depag

Departemen Agama (Depag) pada 2009 mengalokasikan anggaran untuk bidang pendidikan sebesar Rp 23,4 triliun. Dana ini hasil dari kenaikan anggaran sebesar 20 persen.

Menteri Agama (Menag), Maftuh Basyuni mengatakan anggaran pendidikan ini merupakan angka terbesar di Depag di banding anggaran lainnya. 'Angka itu juga merupakan terbesar di antara mata anggaran lain di Depag karena jumlahnya mencapai 85 persen. Sedangkan untuk gaji pegawai, belanja rutin, dan sebagainya hanya 15 persen,” paparnya.

Menag menjelaskan, peningkatan anggaran pendidikan disebabkan banyak kekurangan dana untuk pendidikan. Dana itu sebagian dialokasikan untuk pesantren dan madrasah yang banyak mengalami kesulitan dana. Pendidikan tinggi keagamaan juga ikut mendapat alokasi anggaran ini.

Mengantar BNI Syariah Menuju Spin Off


Ismi Kushartanto


Background ilmu memang pertanian, tapi itu bukan kendala karena semua bisa dipelajari. Kini ia menjadi orang nomor satu di BNI Syariah. Bagaimana langkahnya? Berikut kisahnya.

Lewat tangan kreatif Ismi Kushartanto, pertumbuhan BNI Syariah melejit. Bayangkan, sebelum ia menahkodai BNI Syariah asetnya hanya Rp 1,7 triliun selama 7 tahun. Kondisi ini berubah hampir dua kali lipat atau Rp 3,1 triliun hanya dalam kurun 10 bulan. Sebuah langkah maju.

Bagi Ismi, BNI Syariah memiliki banyak kelebihan di banding bank syariah lain. Pertama karena jaringannya cukup banyak menyebar di seantero Nusantara, selain itu produknya cukup berfariasi. Potensi inilah yang dibidik Ismi untuk melakukan percepatan dalam menggenjot pertumbuhan BNI Syariah.

Ismi bersama seluruh kru bertekad merubah image BNI Syariah. Tak tanggung-tanggung target pertumbuhan yang dicanangkan Ismi yaitu 100 persen selama setahun. Ismi dan timnya pun berjibaku menyosialisasikan BNI Syariah ke customer. Layanan ke customer pun terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Tak ringan memang tugas meyakinkan customer untuk memilih BNI Syariah. Butuh semangat tinggi dan daya juang besar. Alhasil, kurun waktu 10 bulan, BNI Syariah syariah telah memiliki aset 3,1 triliun. Artinya, 73 persen target telah terpenuhi atau naik 1.4 triliun. “Semua memang kerja tim mas,” tuturnya saat ditemui di kantornya.

Baru memasuki tahun kedua ia menjabat sebagai Pemimpin Divisi BNI Syariah, ia mulai melakukan inovasi produk, di antaranya dengan meluncurkan Hasanah Card. Rencananya, Hasanah Card akan terbit dalam tiga jenis: green, gold, dan platinum. Masing-masing jenis didasarkan pada tingkat kemampuan calon pemegang kartu dalam melunasi pembiayaan kartu kredit syariah. Dalam tahun pertama, diharapkan Hasanah Card bisa menjaring 60 ribu pemegang kartu kredit syariah.

Dalam pemasaran, BNI Syariah akan memanfaatkan jaringan kantor cabang syariah dan konvensional yang menerapkan layanan syariah (office channelling) yang jumlahnya mencapai ratusan 54 outlet syariah dan 647 outlet office channelling.

BNI Syariah kemungkinan akan lebih fokus memasarkan kartu kredit syariah jenis gold dan platinum. Alasannya, karena calon pemegang kartu kedua jenis tersebut memiliki tingkat kemampuan membayar pembiayaan cukup tinggi. berikutnya pasar yang umumnya menggunakan kartu kredit untuk memudahkan transaksi pembayaran.

Sebagai pimpinan, suami dari Sri Heri Susilowati ini terus memberikan motivasi kepada karyawannya untuk bekerja semangat. Apalagi pekerjaan di BNI Syariah tak sekadar bekerja tapi ada nilai-nilai ibadah di dalamnya. “Kerja harus luar biasa dan bukan biasa saja. Sebagaimana Rasul bekerja luar biasa,” paparnya.

Akhir tahun 2008, BNI Syariah telah memiliki sekitar 300 ribu nasabah. 40 ribu nasabah pembiayaan dan 260 nasabah funding. Sedangkan total aset dana pihak ketiga mencapai 2,8 triliun, hal ini mengalami peningkatan di banding tahun sebelumnya yang hanya 1,6 triliun. ”Perkembangan baik ini sejalan dengan makin sadarnya masyarakat terhadap perbankan syariah,” ungkapnya.

Setelah hampir 8 tahun BNI Syariah berdiri, tahun 2009 BNI Syariah akan mencoba melakukan langkah berani yaitu spin off, yaitu memisahkan diri dari induk semangnya, BNI.

Persiapan spin off memang sudah lebih dari satu tahun. Prosesnya tidak mudah, perlu persiapan yang matang untuk bisa pisah dengan induknya. Saat ini, menurut Ismi, sudah melakukan negosiasi dengan Islamic Corporation for the Development of the Private Sector (ICD) anak perusahaan Islamic Development Bank (IDB). “Insyaallah pertengan tahun ini (2009-red) sudah bisa terlaksana, doakan,” paparnya.

Dari Pertanian ke Bankir

Ismi Kushartanto muda memang anak cerdas. Tak heran jika ia mendapatkan program perintis dua dari Institut Pertanian Bogor. Seleksinya cukup ketat, yaitu nilai rapot mulai dari SD hingga SMA harus bagus. Mujur, anak buah hasil cinta Ismaun (alm) dengan Kasnihani ini berhasil mendapatkan kesempatan belajar gratis tahun 1977. Masuk tanpa tes, buku gratis, dan fasilitas serta kemudahan lain ia dapati.

Di IPB ia mengambil Jurusan Agronomi, tentang tanaman. Tahun 1982, ia berhasil menjadi alumni IPB. Tak terbayang saat itu ia akan menjadi seorang bankir. Pasalnya awal bekerja ia menjajaki di perusahaan United Tractor. Selama masa training, ia mendengar ada lowongan pekerjaan di Bank Exim. Pilihan pun mengarah ke perusahaan bank. “Saat itu portfolio bank exim sedang pengembangan kebun akhirnya banyak mengambil orang pertanian,” kisahnya.

Setahun bekerja di bank Exim di biro kredit perkebunan, ia pun terpilih untuk melanjutkan belajar di luar negeri untuk menyabet gelar MBA di Universitas Colorado Denver, Amerika Serikat.

Sekembali dari AS, ia pun mendapatkan amanah untuk masuk di wilayah korporasi dan menjabat Kepala Dinas Divisi Penyelamat Kredit. Kebetulan saat itu bank tempat ia bekerja berencana merger dengan bank Mandiri.

Prestasi kerja Ismi memang cukup baik, tak heran jika ia kerap mendapatkan jabatan sebagai kepala divisi. Menurut Ismi, semua itu karena dalam bekerja ia selalu berupaya lebih siap di banding teman lainnya. Misalnya, ia datang lebih awal. Bahkan diawal-awal bekerja, ia datang sebelum gerbang kantor dibuka petugas. Kesempatan itu ia gunakan membaca koran untuk menambah wawasan.

Ketika merger bank antara Bank Dagang Negara, Bank Exim, Bapindo dan Bank Bumi Daya menjadi Bank Mandiri, Ismi tak ikut mencari posisi. Pasalnya, saat itu ia sudah terdaftar sebagai calon jamaah haji. Mau tak mau posisi menggiurkan itu pun terlewatkan. ”Saya yakin Allah sudah mengatur semuanya,” tuturnya.

Jalan itu Bank Syariah

Sepulang dari Tanah Suci, tak ada lagi posisi buat mantan Kepala Biro Penyelamatan Kredit Bank Exim ini. Namun, tidak berarti karier Ismi mentok. Tak lama kemudian tawaran datang dari bank lain. Saat itu, Bank Mandiri punya hajatan mendirikan Bank Syariah Mandiri (BSM). Lantas, Ismi diminta menjabat Direktur Operasional, Compliance & Risk Management BSM. Tanpa ba-bi-bu tawaran itu langsung ia sambut. Itulah titik balik karir bankir mulai menikung ke syariah.

Bank syariah kedua setelah Bank Muamalat ini cukup berkembang lewat tangan dingin Ismi dkk. Akan tetapi, ia tak bisa berlama-lama, karena dua tahun kemudian ia ditarik ke Ban Mandiri Konvensional. Tak tanggung-tanggung, posisi yang ditawarkannya pun cukup bergengsi yaitu Vice President Portofolio dan Risk Management bank terbesar di Indonesia itu.

Ada yang kurang sreg di hati Ismi ketika harus pindah tugas. Pasalnya, selama itu ia mengajak orang untuk memilih bank yang sesuai dengan syariah. Bahkan ia sudah banyak belajar tentang bank syariah terutama hukum-hukum dalam Islam. Kondisi ini semakin membuatnya gelisah "Saya kok merasa enggak pas lagi duduk di bank konvesional," katanya terus terang.

Melalui proses yang tak mudah, Oktober 2002, ayah tiga putri ini menemukan wadah baru yaitu Bank Internasional Indonesia (BII) yang tengah berencana mendirikan bank syariah. Meski masih bekerja di Mandiri, Ismi kemudian diangkat menjadi advisor atau staf ahli direksi BII dalam urusan tersebut. Sejak saat itulah pehobi bercocok tanam ini mulai merumuskan konsep dan strategi pengembangan bank syariah di BII.

Dalam sebuah pertemuannya dengan kawan-kawan, yang diinginkan mereka saat itu bukan sekadar bank syariah, karena bank-bank lain pun sudah masuk ke bisnis ini. Tapi bank syariah yang berkelas dan beda. Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam perbankan konvensional, Ismi tahu pasti, banyak nasabah berdana besar menginginkan pelayanan syariah. Sementara itu, dalam pelayanan, orang-orang berduit itu juga menuntut servis sekelas private banking, seperti laiknya Mandiri Prioritas, Citi Gold dan BNI Prima.

Tahun 2003, bank syariah yang jadi target lahir dengan bendera BII Syariah Platinum (BII SP). Bank syariah yang satu ini terang-terangan membidik nasabah kelas premium sebagai target pasarnya. Akhirnya, Ismi pun pamit dari Mandiri hijrah menjadi Kepala Divisi BII SP.

Setelah lima bulan operasional, selain kantor pusatnya di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, BII SP juga memiliki cabang baru di Menara Mulia, Jl. Jend. Gatot Subroto. Bank ini juga berhasil menjaring 230 nasabah premium. Asetnya mencapai Rp 116 miliar, sedangkan dana pihak ketiga yang berhasil diraup sudah di atas Rp 50 miliar. Tentu patut dibanggakan, karena untuk menyedot dana pihak ketiga sebesar itu bank lain butuh waktu bertahun-tahun.

Dari BII SP ini, nasabah premium mendapatkan berbagai benefit, antara lain, executive lounge gratis di bandara, langganan majalah pilihan, Al-Quran seluler, belajar Al-Quran, ikut pengajian dai terkenal, gathering, customer retention dan program loyalitas. Setiap nasabah, dijelaskan Ismi, memperoleh financial advisor. Kantornya pun didesain cukup mewah dan dibuat senyaman mungkin.

Tak hanya itu, nasabah BII SP juga bisa menggunakan semua fasilitas yang dimiliki induknya, seperti layanan ATM, cash machine deposit, kartu BII Musafir Platinum dan transaksi online bebas biaya. "Bank syariah bisa sukses kalau memiliki nilai kekhasan dan strategi minimal sama dengan produk yang ditawarkan bank konvensional," Ismi menandaskan.

Bukan Ismi kalau tidak suka tantangan. Setelah menjabat selama dua tahun di BII SP, ia pun mendapatkan tawaran untuk mengelola Bank Permata Syariah ketika pembukaan pertama. Saat memimpin Bank Permata Syariah ia membuat gebrakan office chanelling (OC). Selain itu ia menjadi bank syariah yang memiliki layanan elektronik banking terdepan.

Menutur Ismi sebagai follower di perbankan syariah, Permata menyadari perlu adanya diferensiasi yang kuat agar produknya diminati nasabah. Unit perbankan syariah Permata ini juga memiliki layanan mobile banking, Internet banking, bahkan mobile cash.

Dua tahun berjalan, Ismi pun mendapat tawaran menarik lagi dari bank besar di Indonesia yaitu BNI Syariah. Kini ia menjabat sebagai Pemimpin Divisi BNI Syariah. ”Tugas ini adalah amanah harus dijalankan dengan benar,” katanya.