Produksi rokok di Indonesia terus meningkat. Meski setorannya Rp 50 triliun per tahun ke negara, tapi kontribusinya disangsikan.
Tak ada yang menyangkal kalau merokok dapat membahayakan kesehatan. Mulai dari serangan jantung, kanker paru-paru, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin. Ironisnya, pemakai rokok jumlahnya tetap fantastis.
Pemerintah bahkan mewajibkan produksi rokok memberi label “peringatan” akan bahaya merokok di setiap bungkus rokok. Tapi ironisnya, semua itu tetap tidak membuat perokok sadar, bahwa merokok dapat membahayakan diri mereka.
Ironisnya lagi, produksi rokok di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 mencapai 118 miliar batang, sedang tahun 2008 meningkat 230 miliar batang.
Tulus Abadi, Ketua Advokasi Komnas Penanggulangan Tembakau mengatakan bahwa pemerintah dan masyarakat sebenarnya telah menjadi “penyembah” setia industri rokok. Setoran ke kas negara dari cukai dan pajak rokok yang konon mencapai Rp 50 triliun, plus terserapnya ratusan ribu pekerja menjadi instrumen efektif untuk menuhankan industri rokok.
Akibatnya, pemerintah nyaris tidak mempedulikan pengendalian penggunaan tembakau di negeri ini. Terbukti, ketika 192 negara anggota WHO (World Health Organization) menundukkan diri dalam Konvensi Pengendalian Dampak Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control [FCTC]), Indonesia bergeming. Padahal, Indonesia adalah salah satu penggagas dan pembahas draf FCTC, yang kini telah menjadi hukum internasional.
Besarnya cukai yang diraup didukung oleh fakta bahwa sebagian besar pria Indonesia adalah perokok aktif. Tahun 2004 jumlah perokok mencapai 35% dari total populasi pria di Indonesia, sedang tahun 2007 meningkat menjadi 72%. Angka ini paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina (53, 4%), India (29,4%) dan Thailand (39,3%).
Tapi benarkah industri rokok memberikan kontribusi yang berarti terhadap negara? Menurut Ketua Bidang Penyuluhan dan Pendidikan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Fuada Baradja memang cukai rokok bagi pemerintah cukup besar. Namun pemerintah punya tanggung jawab mengembalikan Rp 50 triliun itu untuk menanggulangi akibat rokok, ”Nyaris tidak ada dan sangat kecil,” jelasnya.
Artinya, cukai yang besar tidak sebanding dengan akibat yang disebabkan oleh rokok. Bahkan pemerintah harus mengeluarkan dana lima kali lipat dari jumlah cukai yang ada, karena rokok ini. Ironisnya, pemerintah menggalakkan seolah-olah menjadi sumber pendapatan negara hinga tahun 2025. ”Padahal ini (rokok-red) dampaknya sangat berbahaya,” ujarnya.
Fuad menambahkan dampak lainnya adalah mulai dari biaya penyembuhan akibat merokok, tidak hadir kerja, hilangnya produktivitas, kematian prematur, dan juga membuat orang menjadi miskin lebih lama karena mereka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar