Sekali lagi, merokok memiliki dampak buruk, selain mengganggu kesehatan yang berakibat pada kematian, juga mengganggu perekonomian sebuah keluarga. Menurut Ahli Perencanaan Keuangan, Ahmad Gozali, orangtua yang merokok dalam sebuah keluarga tentunya akan sangat merugikan, bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi seluruh anggota keluarganya.
”Dari sisi ekonomi, porsi pengeluaran akan dikurangi dengan jatah rokok untuk perokok. Dari sisi kesehatan, perokok dan anggota keluarganya yang menjadi perokok pasif karena kebiasaan merokok di dalam rumah, menjadi lebih mahal karena rentan terhadap penyakit,” paparnya.
Selain itu, angka harapan hidup perokok akan lebih pendek daripada yang tidak merokok. Jika meninggal dunia dalam usia produktif tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan nafkah keluarga yang ditinggalkan.
Menurut Gozali, perokok aktif kebanyakan dari kalangan masyarakat golongan menengah ke bawah. ”Kalau kita perhatikan, ternyata golongan menengah ke bawah justru lebih banyak merokok dari pada golongan menengah ke atas. Namun belum jelas korelasinya bagaimana, apakah karena ia miskin maka hiburan paling mudah baginya adalah merokok. Atau sebaliknya, karena suka merokok, maka ia menjadi atau tetap miskin,” ungkapnya.
Secara umum, imbuhnya, perokok akan memiliki tingkat ekonomi yang lebih berat dari pada yang tidak merokok. Karena untuk merokok sendiri diperlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya langsung yang timbul adalah pembelian rokok dan pelengkapnya, misalnya korek api, kopi, dan lain sebagainya. Sedangkan biaya yang tidak langsung adalah biaya kesehatan yang tentunya akan lebih rentan bagi perokok.
Jika dilihat dari harga rokok yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan karena biaya cukai dan pajak naik, menurut Gozali hal ini akan berimplikasi pada gangguan perekonomian keluarga miskin, dan ini lebih jelas terlihat dan mudah dibuktikan. Karena semakin miskin seseorang, maka semakin besar prosentase konsumsi rokok dibandingkan dengan penghasilannya. Artinya seorang perokok miskin akan lebih banyak menanggung beban untuk membeli rokok daripada perokok kaya.
”Rokok adalah masalah selera, kaya atau miskin, kalau sudah kecanduan merokok akan tetap mengonsumsi rokok berapa pun harganya. Dan rokok yang paling murah sampai yang paling mahal perbedaannya tidak terlalu jauh,” katanya.
Gozali juga menggambarkan bagaimana rokok bisa menjadikan perokok miskin semakin miskin. Misalnya, Si A penghasilan Rp 2 juta dan si B penghasilan Rp 10 juta. Keduanya mungkin memiliki kebiasaan berbeda dalam selera makan. Si A mungkin akan memilih makan di Warteg, sedangkan si B bisa jadi makan di rumah makan atau restoran. Begitu juga dengan transportasi, si A mungkin menggunakan angkutan umum atau sepeda motor, sedangkan si B menggunakan mobil pribadi. Ini juga wajar karena pengeluarannya akan diseimbangkan dari seberapa besar penghasilannya.
Tapi kalau soal rokok, imbuh Gozali, mereka bisa jadi memiliki konsumsi rokok yang sama, menggunakan merk rokok yang sama dengan harga yang sama pula. Anggap saja sebungkus rokok per hari dengan harga Rp 7 ribu, maka per bulannya adalah Rp 210 ribu. Bagi si A, pengeluaran rokok adalah sekitar 10% dari total penghasilan. Sedangkan si B adalah sekitar 2% dari penghasilannya.
Menurutnya, perokok miskin akan semakin sulit keluar dari kemiskinannya karena harus menanggung beban konsumsi rokok yang sangat besar dilihat dari penghasilannya. Selain itu orang miskin akan lebih sulit berhenti dari kebiasaan merokok daripada orang kaya. Karena orang miskin sulit untuk mendapatkan hiburan lain, sehingga cenderung menganggap rokok adalah hiburan yang paling mudah. Berbeda dengan orang kaya yang bisa mendapatkan jenis hiburan lain yang lebih beragam. Selain itu lingkungan kerja orang miskin di sektor non-formal cenderung kondusif baginya untuk tetap merokok. Sedangkan orang kaya yang berkerja di perkantoran terpaksa mengurangi konsumsi rokoknya karena bekerja di ruangan ber-AC.
Bagaimana sisi ekonomis dari berhenti merokok? Gozali mengasumsikan, konsumsi rokok per hari adalah sebungkus dengan harga Rp 7 ribu – 10 ribu per bungkus. Artinya, konsumsi rata-rata untuk rokok adalah sebesar Rp 210 ribu – 300 ribu per bulan. ”Padahal, jumlah sebesar ini sudah bisa untuk setoran tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan bagi anak kita,” katanya.
Kalau uang sebesar Rp 210 ribu diinvestasikan setiap bulan, kedalam tabungan berjangka seperti tabungan pendidikan yang memberikan hasil 7% per tahun, maka dalam waktu 5 tahun, bisa terkumpul Rp 15 juta. Sudah cukup untuk biaya masuk SD favorit.
”Rp 300 ribu dibelikan emas setiap bulannya (sekitar 1 gram), maka dalam waktu 150 bulan alias 12,5 tahun sudah cukup untuk biaya naik haji,” paparnya.
Apalagi, imbuh Gozali, kalau uang sebesar Rp 300 ribu yang bisa dihasilkan per bulan dari berhenti merokok masuk investasi dengan hasil 20% per tahun seperti pada reksadana atau saham, maka dalam 10 tahun, hasilnya sudah lebih dari Rp 100 juta. ”Sudah cukup untuk beli sebuah mobil,” tegasnya.
Berhenti merokok selain bisa memperbaiki kondisi keuangan keluarga, juga bisa terhindar dari penyakit mematikan seperti jantung, kanker paru serta gangguan kehamilan dan janin. Bayangkan, kalau sekali berobat saja ke dokter (misalnya) sudah Rp 200 ribu dikali jumlah anggota keluarga yang ikut juga menjadi perokok pasif. Bisa jadi pengeluaran dana yang disiapkan mencapai puluhan sampai ratusan juta untuk biaya pengobatannya saja.
Menurut Gozali, merokok adalah pilihan pribadi, oleh karena itu perlu dibuat aturan yang tegas agar kerugian dan bahaya merokok jangan sampai membuat kerugian bagi orang lain yang tidak merokok.
Dari sisi pembatasan area merokok. Perlu lebih tegas aturan dan penegakan hukum untuk tidak merokok di tempat umum, terutama kendaraan umum dan ruang tertutup. Dari sisi pembatasan usia merokok. Perlu ketegasan dan kerjasama semua pihak untuk membatasi usia perokok dan pembeli rokok. ”Jangan sampai orangtua malah mengajarkan anaknya merokok dengan menyuruh anaknya membeli rokok,” tuturnya.
Untuk memulai berhenti merokok, Gozali punya kiat, ”Sederhana saja. Tidak usah mencoba merokok. Dan tidak perlu mulai merokok,” katanya.
BOKS
Stop Rokok, Bangun 250 Masjid
Fuad Baradja, Ketua Bidang Penyuluhan dan Pendidikan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), memberikan ilustrasi yang cukup mencengangkan terkait rokok. Ternyata, jika umat Islam dalam sehari tak merokok, maka umat Islam bisa membangun masjid sebanyak 250 buah dengan dana Rp 1 milyar.
Jumlah perokok di negeri ini mencapai 77 juta orang. Jika dilihat presentasi
umat Islam sekitar 80% maka jumlah Muslim yang merokok sekitar 50 juta orang. Kalau mereka merokok dengan harga Rp 5.000 biaya rokok umat Islam di Indonesia dalam sehari sekitar Rp 250 milyar.
Padahal, imbuh Fuad, dana Rp 250 milyar dalam sehari bisa dibangun 250 masjid mewah seharga Rp 1 milyar, setiap hari bisa dibangun 250 madrasah unggulan, bisa diberangkatkan 10.000 jamaah ke Makkah untuk umroh.
Tak hanya itu, setiap hari juga bisa dibelikan susu terbaik untuk pengembangan optimal otak balita muslim. ”Bukankah ini proses pembodohan dan pemiskinan dengan membiarkan umat merokok?” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar