Senin, 21 Desember 2009

Kikis Diskriminasi Pendidikan Islam


Prof Dr H Muhammad Ali MPd MA


Disinyalir, selama ini pendidikan madrasah dan pesantren kerap diperlakuan beda dengan lembaga pendidikan umum lainnya. Khususnya terkait bantuan pendidikan.

Agar tiada lagi diskriminasi, Departemen Agama (Depag) telah menyiapkan tiga draf payung hukum yang nantinya akan men­jadi landasan madrasah dan pesantren untuk berkiprah sebagaimana layaknya sekolah umum. Seluruhnya dalam upaya meningkatkan mutu dan daya saing lembaga pendidikan Islam itu terhadap sekolah umum, hingga dapat diperlakukan sama.

Berikut petikan wawancara reporter Majalah Gontor Fathurroji NK bersama Dirjen Pendidikan Islam (Pendis), Depag, Prof Dr H Mohammad Ali MPd MA, saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Apa program 100 hari Departemen Agama (Depag) terkait pengembangan pendidikan Islam (Pendis)?

Depag tengah menyiapkan payung hukum yang mengatur ruang lingkup Pendis. Pertama, draf pendirian dan penyeleng­garaan pendidikan pesantren salafiyah dan pengembangan kurikulum pesantren. Kedua, draf Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang ujian nasional. Ketiga, menerbitkan surat Keputusan Menag tentang Mad­rasah Bertaraf Internasional (MBI).

Dengan cara itu, diharap kualitas pendidikan keagamaan di madrasah dan pondok pesantren kelak akan semakin terangkat.

Bagaimana perkembangan pendidikan di pesantren atau madrasah selama ini?

Pondok pesantren yang tersebar di Indonesia perlu ditata manajerialnya. Selama ini, pesantren menentukan pola belajar mengajar hanya sesuai kebijakannya sendiri. Untuk itu, Depag perlu mela­kukan standardisasi penye­lenggaraan pesantren salafiyah mau­pun kurikulum pesantren.

Terkait SKB Tiga Menteri, selama ini masih terjadi diskriminasi pengelolaan pendidikan di madrasah maupun pesantren. Dengan SKB ini, setidaknya po­sisi madrasah dan pesantren akan dapat saling mengisi dengan pendidikan umum.

Misalnya?

Seperti pendidikan di madrasah dan pesantren yang masih tidak mendapat prioritas dan fasilitas dari Peme­rintah Daerah (Pemda). Di sinilah diskriminasi Pemda ter­hadap madrasah dan pesantren. Terlihat, tak ada tanggungjawab Pemda dalam pengelolaan madrasah dan pesantren di daerah masing­-masing.

Saya kerap didatangi bupati dan anggota DPRD dari berbagai daerah terkait penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan. Sebenarnya mereka ada niat kuat untuk membantu, namun mereka ragu lantaran acuan aturannya belum jelas.

Karena aturannya masih dirasakan belum kuat, mereka takut didatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karenanya, SKB sudah harus ada dan segera diberlakukan. Dengan SKB nantinya persoalan itu bisa terpec­ahkan.

Harapan dari lahirnya SKB?

Dengan adanya SKB Tiga Menteri ini, kami berharap para kepala daerah akan mendapat kejelasan tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan di daerah masing-masing. Dan mereka tak lagi sungkan memajukan pendidikan keagamaan di wilayahnya.

Selama ini sudah ada bantuan dari Pemda ke anak didik madrasah dan pesantren, tapi sifatnya masih berupa bantuan sosial yang jumlahnya juga sangat kecil dan insidentil.

Apa upaya Depag untuk meningkatkan kualitas madrasah?

Butuh kerja keras untuk meningkatkan kualitas madrasah agar dapat dianggap setara dengan sekolah umum. Salah satunya dengan membuat pemetaan, dari sekian madrasah yang ada, mana yang sudah mencapai standar minimum, nasional, bahkan internasional.

Untuk itu, dari segi guru, kami memberi bantuan kualifikasi dan sertifikasi. Tahun ini kami juga membantu rehabilitasi ruang kelas madrasah Ibtidaiyah agar memenuhi standar minimun.

Berapa dana yang digulirkan?

Untuk tahun 2009, dana rehabilitasi mencapai Rp 2,1 triliun. Dana sebanyak itu untuk merehabilitasi 24 ribu ruang kelas di Indonesia.

Selama ini madrasah masih mendapatkan bantuan hanya dari Depag, sementara bantuan Pemda belum memadai, karena terkait kebijakan internal mereka. Menurut PP 55 tahun 2007, Pemda boleh memberi bantuan kepada madrasah.

Terkait draf pendirian dan penyeleng­garaan pendidikan pesantren salafiyah dan pengembangan kurikulum pesantren?

Lembaga pendidikan kalau ingin resmi, harus ada payung hukumnya. Selama ini, pihak yang ingin mendirikan pesantren cukup didaftarkan dan didata, tapi wujud bangunannya belum ada, sehingga data yang ada carut marut.

Nanti akan ada syarat-syarat agar tak lagi seperti sekarang. Misalnya, untuk mendirikan pesantren harus memenuhi syarat adanya kiai, santri, dan lain-lain. Selain itu, jika pesantren ingin diakui lulusannya, harus ada syarat lain. Bukan hanya pendirian, tapi juga ujian.

Apakah pendidikan agama akan diujikan untuk syarat kelulusan?

Ke depan, pendidikan agama akan diupayakan menjadi penentu kelulusan anak. Selama ini pendidikan agama masih menjadi ”pelengkap penderita” saja. Tapi ini masih dalam perencanaan.

Jika pendidikan agama menjadi standar kelulusan, maka guru agama akan memiliki power sebagaimana pelajaran umum lainnya. Jika pendidikan agama bisa menyebabkan ketidak-lulusan siswa, pasti mereka akan serius memelajari agama. Selama ini mereka hanya takut kepada pelajaran matematika, bahasa Inggris, dan beberapa lainnya saja.

Apakah selama ini madrasah belum mampu bersaing dengan sekolah umum?

Pada dasarnya, madrasah dan pesantren mampu bersaing dengan sekolah umum, asalkan pengelo­laan proses belajar mengajarnya tertata baik. Saat ini, mutu pendidikan di madrasah maupun sekolah Islam negeri sudah cukup baik dibanding sebelumnya. Bahkan ada beberapa yang sudah mengarah pada standar internasional.

Kualitas madrasah di bawah standar?

Ada kesan kualitas pendidikan di madrasah mengalami kemunduran atau rendah dibanding sekolah umum. Tapi tidak semua kesan itu benar, karena ada madrasah atau sekolah Islam, negeri maupun swasta, mampu bersaing dengan se­kolah-sekolah umum. Setidaknya sudah memiliki kualifikasi guru dan fasilitas sekolah yang memadai. Walau harus diakui masih ada madrasah yang di­kelola swasta belum memenuhi kualifikasi.

Tapi, saat ini guru-guru di madrasah su­dah banyak yang berpendidikan sarjana (S1), bahkan ada yang melanjutkan pendidikan S­2. Sarana dan fasilitas madrasah juga terus meningkat.

Upaya Depag terhadap madrasah yang berkualitas rendah?

Khusus madrasah bermutu rendah, Depag akan melakukan identifikasi dan verifikasi­ untuk dibantu meningkatkan kualitas pendidikannya. Salah satunya, dengan merekrut guru berkualitas dan memberi bantuan sarana dan prasarana sekolah, agar proses belajar mengajar dapat berjalan efektif.

Belajar di madrasah tak ubahnya dengan sekolah umum. Bedanya hanya pada pelajaran agama. Di madrasah, siswa diajari berbagai pelajaran tentang agama. Jika melihat tren beberapa tahun terakhir, tingkat kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anaknya di madrasah atau sekolah Islam menunjukkan peningkatan cukup signifikan. Ini menunjukkan makin banyaknya madrasah dan sekolah Islam yang kian berkualifikasi baik.

Tentang program madrasah bertaraf internasional (MBI)?

Ada beberapa madrasah di Indonesia yang sudah memiliki kualifikasi layak untuk diwu­judkan menjadi madrasah bertaraf internasional (MBI). Ini penting, karena dengan standardisasi semua madra­sah yang berkualifikasi akan diarahkan bertaraf internasional.

Dengan program tersebut, lulusan madrasah dan pesantren kelak tak akan menjadi penganggur pendidikan. Terlebih Pendis telah merancang pro­gram kewirausahaan (entrepreneurship) di madrasah dan pesantren untuk mendidik siswa memiliki kemampuan hidup (life skill).

Apa manfaatnya untuk siswa?

Bila lulusan mad­rasah dan pesantren telah memiliki life skill, maka mereka dapat bersaing dan berdaya guna di masyarakat. Tak lagi menjadi penganggur pendidikan yang harus me­lamar pekerjaan ke sana-sini.

Artinya, jangan sam­pai lulusan madrasah atau pesantren menunggu kerja, apalagi menjadi pem­bantu rumah tangga di negara lain. Prinsipnya, sekurang-kurangnya lulusan madrasah atau pesantren mampu memecahkan masalah hidup sendiri.

Upaya Depag mengenalkan jiwa wirausaha di madrasah dan pesantren?

Tahun 2010 kita akan mulai memikirkan agar siswa madrasah dan pesantren dikenalkan pendidikan wirausaha secara formal. Tak harus masuk kurikulum formal, tapi lebih kepada pengayaan dalam kegiatan ekstrakurikuler atau di luar kurikulum. Guru-guru bisa mengamalkan, atau minimal mengenalkan wirausaha.

Sebab, dalam wirausaha harus ada kemauan, ketrampilan dan pengetahuan. Kalau sikap siswa positif terhadap wirausaha, dilengkapai ketrampilan dan pengetahuan, jiwa wirausaha pun bisa berkembang. Punya pengetahuan tapi tak punya sikap, jalan wirausaha juga tak akan terbuka.

Tujuannya, ketika lulus, mereka bisa berpikir bukan hanya mencari pekerjaan, tapi menciptakan pekerjaan. Jangan hanya menjadi job seeker, tapi harus menjadi job creator. Ini memang tak mudah, tapi kalau ada kemauan pasti bisa dilakukan.

Lembaga selain madrasah dan pesantren?

Tidak hanya madrasah dan pesantren. Akhir 2009, pendidikan tinggi Islam juga telah diberi kerjasama dengan Yayasan Ciputra untuk melatih dosen tentang kewirausahaan. Agar mahasiswa di dunia perguruan tinggi juga dikenalkan kewirausahaan.

Boks

Aktivis Pendidikan

Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama Prof Dr H Muhammad Ali MPd MA lahir di Cirebon, 3 Juni 1953. Pendidikan S1 ia tamatkan di IKIP Bandung (1979), S2 di lembaga yang sama (1987) dan University of Pittsburgh, Amerika Serikat (1990). Gelar doktor ia raih di IPB Bogor (1999).

Disamping gigih mengabdi untuk negara di lingkungan Depag, pria beristrikan Dra Hj Sumiati ini juga aktif di banyak organisasi terkait pendidikan. Di antaranya menjadi pengurus pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI), anggota Asia Pacific Educational Research Association (APERA), anggota Comparative Education Society in Asia (CESA), serta anggota International Association of the Aplication of Science and Technology for Development (IASTED).

Bapak lima anak (Rian Ahmad Syathari ST MSc, Rhabiah El Fithriah SKg drg, Fauziah Hayati Sked, Neily Zakiyah Sapt, dan Zahratu Sabrina) ini terkenal sangat aktif menelorkan banyak karya ilmiah dan buku.

Seperti Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (Imperial Bhakti Utama, Bandung, 2009), Perencanaan Pembelajaran (Wacana Prima, Bandung, 2006), Metode-metode Pembelajaran (Wacana Prima, Bandung, 2006). Dan editor handbook buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Pedagogiana Press, Bandung, 2007), dan Manajemen Kualitas: Pendekatan dari Sisi Kualitatif (Penulis DW Ariani, Ghalia Indonesia, Jakarta).

Membangun Citra Indonesia di Mesir


Abdurrahman Muhammad Fachir

Dubes RI untuk Mesir


Negeri kinanah Mesir, khususnya Universitas al-Azhar, masih tak tertandingi menjadi tujuan utama pelajar/mahasiwa yang ingin mendalami ilmu-ilmu Islam. Tapi nyatanya, banyak dari mereka mengalami masalah saat belajar di sana. Tingkat kegagalan mahasiswa Indonesia pun cukup tinggi.

Apa kiat dan usaha Pemerintah Indonesia, melalui Kedutaan Besarnya menganggulangi masalah ini? Berikut petikan wawancara Fathurroji, reporter Majalah Gontor dengan Abdullah Muhammad Fachir, Duta Besar RI untuk Mesir, beberapa waktu lalu.

Bagaimana kondisi pelajar/mahasiswa Indonesia di Mesir?

Beberapa bulan lalu, tepatnya April, kami mengadakan lokakarya tentang pendidikan di al-Azhar dengan tema ”Back to Campus”.

Ketika kami menyampaikan ide ini kepada Syeikh al-Azhar, kening beliau berkerut sambil berkata: ”Apa yang salah dengan al-Azhar, kenapa harus ada lokakarya. Seolah-olah ada yang perlu diperbaiki dari al-Azhar.

Kami katakan, di al-Azhar tidak ada yang salah. Justru kami yang salah. Sebab kami tidak menerapkan kreteria yang al-Azhar tetapkan. Hingga banyak pelajar/mahasiswa Indonesia di universitas itu mengalami masalah dalam belajar. Tingkat kegagalan mahasiswa kita cukup tinggi. Tingkat keberhasilannya hanya 60%.

Mengapa?

Ini disebabkan oleh persiapan yang kurang baik dari sisi akademis maupun mental. Juga dipicu oleh sistem pendidikan al-Azhar yang sangat luwes dan independen, yang tidak mewajibkan mahasiswa untuk hadir kuliah atau dibebani tugas ilmiah. Kombinasi keduanya menyebabkan tingginya tingkat kegagalan mahasiswa kita.

Tapi kita tidak bisa menyalahkan sistem al Azhar. Karena sistemnya memang sudah memberi banyak kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dengan biaya gratis. Mahasiswa dianggap sudah dewasa. Tapi sayangnya mahasiswa kita banyak yang belum siap menghadapi sistem ini.

Apa upaya menanggulanginya?

Kita pelajari dan perlahan mencarikan jalan keluarnya. Salah satu masalahnya adalah kecenderungan rumah-rumah daerah yang dibangun atas bantuan pemerintah daerah asal mahasiswa Indonesia (seperti rumah adat dari Sulawesi, Kalimantan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebaginya), dimanfaatkan kurang maksimal. Bahkan cenderung menjadi faktor lekatkannya sektarianisme.

Kami coba menggunakan itu untuk mencairkan kondisi yang ada. Caranya, menjadikan rumah-rumah daerah itu layaknya ”darsul idhâfi” (pelajaran tambahan) di Gontor. Misalnya, rumah Sulawesi kita gunakan untuk pendalaman materi-materi dan kuliah tambahan Fakultas Syariah, atau Fakultas Usuludin di rumah Jawa Tengah.

Selain itu, kami juga mengundang dosen-dosen al-Azhar didampingin asisten dosen dari kalangan senior mahasiswa Indonesia untuk memberi kuliah.

Kami kedepankan hapalan al-Qur’an sebagai syarat. Kami juga membuat gerakan masal untuk menghafal al-Qur’an menggunakan rumah-rumah daerah itu.

Ada rencana mendirikan asrama untuk mahasiswa Indonesia? Apa alasannya?

Utamanya untuk membantu teman-teman mahasiswa di Mesir. Karena mereka rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Dan karena alasan ekonomi, tak sedikit dari mereka terpaksa tinggal di daerah yang cukup jauh dari kampus.

Awal ide ini?

Sebenarnya ide membangun asrama merupakan bagian dari rekomendasi lokakarya yang kami selenggarakan, dalam upaya meningkatkan prestasi para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir. Idenya berasal dari keprihatinan kami yang mendapati tingginya tingkat kegagalan mahasiswa kita.

Maka melalui Menteri Agama, dan restu Pimpinan Pondok Gontor yang kala itu hadir, kami datangkan sekitar 60 orang tokoh seperti Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Pemda-pemda, Gubernur, DPR, Deplu, Depdiknas, Ormas, dan para alumni al-Azhar.

Apa hasilnya?

Lokakarya itu menghasilkan 61 rekomendasi, di bagi dalam tiga tahap: persiapan, pembinaan selama kuliah di Mesir, dan persiapan sebelum pulang.

Terkait tahap persiapan sebelum pulang, kami ingin agar mahasiswa Indonesia tak lagi gamang ketika ingin pulang ke tanah air. Mereja tak lagi bingung akan membaktikan ilmu ke mana. Sektor pendidikan maupun lapangan pekerjaan lainnya. Karena itulah kami mengundang pihak-pihak Pemda untuk turut datang.

Yang paling krusial, adalah masalah konsentrasi mahasiswa Indonesia selama proses belajar di Mesir. Maka dihasilkan salah satu rekomendasi yang berisi agar pemerintah pusat dan daerah bersama-sama mengupayakan mendirikan asrama. Dasar itulah yang mendorong kami melakukan kontak dengan Rektor Universitas al-Azhar Mesir.

Kronologi hingga menghasilkan kesepakatan?

Saat bertemu Rektor al-Azhar, kami utarakan bahwa kami punya niat mencari lahan untuk asrama yang berdekatan dengan kampus al-Azhar, agar mahasiswa mudah mengikuti perkuliahan.

Ternyata, respon Rektor sangat luar biasa dan mengejutkan. Beliau mengatakan: ”Kenapa hanya berdekatan dengan kampus, dan kenapa tidak di dalam kampus saja?” Rektor juga menunjukkan bahwa masih ada lahan kosong di dalam kampus al-Azhar.

Terus terang ini luar biasa, dan menandakan citra Indnesia sudah begitu lekat bagi al-Azhar.

Statusnya kelak?

Rektor al-Azhar menegaskan bahwa pihak al-Azhar yang akan menyiapkan tanah, dan pihak kita yang membangun secukupnya. Selepas itu diserahkan kepada pihak al-Azhar untuk dikelola. Mereka yang akan membimbing semua penghuni, dan menjamin akan memberi makan mereka tiga kali sehari.

Lahan yang disediakan untuk kita bangun seluas 200x80 meter. Setelah dibangun, urusan nama gedung diserahkan kepada kita. Bisa disesuaikan dengan nama penyumbang, atau apapun.

Berapa gedung rencananya akan dibangun?

Lima gedung. Satu gedung diasumsikan menghabiskan dana 14 milyar. Gedung pertama berlantai enam, dan diperkirakan bisa menampung 600 mahasiswa. Dan jika bisa genap dibangun lima gedung itu, jelas akan mampu menampung banyak mahasiswa.

Penghuninya nanti tidak hanya khusus untuk orang Indonesia. Tapi komposisinya 50% dari Indonesia, 25% Mesir, dan 25% orang asing lainnya. Bayangan kami, satu kamar akan diisi empat orang: dua dari Indonesia yang berlainan daerah, satu asal Mesir, dan satu lagi orang asing.

Dari kalangan mahasiswa Indonesia, masih dipikirkan apakah akan diutamakan mereka yang berprestasi atau mahasiswa baru.

Mengapa proporsinya demikian?

Pencampuran ini untuk menghindari kelompok-kelompok primordial mahasiwa Indonesia yang hingga kini masih ada. Seperti kelompok mahasiswa Jakarta yang hanya mau bergaul dengan kawan asal Jakarta. Yang asal Sunda, Jawa atau daerah lainnya juga hanya mau bergaul dengan anak asal daerahnnya saja.

Bahasa asing pun menjadi mandek. Hasilnya, tak sedikit mahasiswa Indonesia yang sudah dua tahunan hidup di Mesir, tapi masih belum juga fasih berbahasa Arab.

Makanya percampuran yang akan dilakukan bertujuan agar mahasiswa kita bisa lebih aktif belajar bahasa, meluaskan wawasan dan interaksi antarmahasiswa. Di samping untuk melahirkan nilai kompetisi dalam aspek akademis.

Upaya yang telah dilakukan untuk merealisasikan rencana ini?

Sejak mendapat respon sangat positif dari Rektor al-Azhar, kami mencoba menemui Menteri Agama waktu itu, Maftuh Basuni. Beliau merespon baik, dan menjanjikan akan berusaha mencarikan bantuan.

Selain itu?

Kami melakukan safari ke daerah-daerah asal mahasiswa Indonesia. Di Sumera Utama kami bertemu Gubernur Syamsul Arif, yang sangat antusias mendukung. Bahkan dijanjikan akan mengupayakan membangun satu gedung.

Di Aceh kami bertemu Wakil Gubernur yang juga berminat mendukung satu gedung. Selain itu kami ke Jawa Tengah, Jawa Barat, dan ke NTB yang kebetulan Gubernurnya masih tercatat sebagai mahasiswa S3 di al-Azhar.

Gubernur Kalimatan Timur juga menyatakan bahwa DPRD sudah menyetujui bantuan untuk proyek ini. Sementara Gubernur DKI Fauzi Bowo, intinya mendukung, tapi masih harus mempelajari lagi aturan yang ada agar tidak keliru.

Kapan target realisasinya?

Karena ini adalah upaya bersama banyak kalangan, kami tidak menargetkan apa-apa. Biar berjalan apa adanya. Ke depan mungkin tak hanya lima gedung. Bisa jadi 10 atau lebih. Tergantung batuan dari daerah-daerah asal mahasiswa kita.

Bahkan, orientasinya kelak tak hanya gedung. Bisa juga gedung perkuliahan, komputerisasi, atau lainnya. Tapi kita akan upayakan hal yang paling urgen untuk anak-anak kita saat ini.

Nasib rumah daerah yang sudah ada selama ini?

Sekarang telah ada sekitar 11 rumah daerah. Sebaiknya rumah-rumah daerah itu dijual saja, karena menurut saya keberadaannya kontra-produktif. Para mahasiwa hanya berkumpul dengankawan daerahnya. Bisa dikatakan mereka cuma pindah kampung.

Sebab, untuk apa belajar jauh-jauh ke Mesir, tapi tidak memerluas wawasan. Rumah-rumah daerah itu bisa digunakan bukan hanya untuk kepentingan daerah saja.

Mengenai upaya seleksi mahasiswa yang belajar ke Mesir?

Saat ini kami tengah mengupayakan untuk mengundang Syeikh al-Azhar untuk bertandang ke Indonesia. Intinya untuk menandatangani MoU pihak al-Azhar dengan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama, berkenaan dengan seleksi mahasiswa.

Selama ini memang sudah ada seleksi, tapi sayang belum tertata baik. Pelaksaannya pun masih menimbulkan semacam ketidakjelasan, siapa yang melakukan apa.

Maksudnya?

Selama ini, baik Departemen Agama (Depag) maupun Kedutaan Mesir sama-sama melakukan seleksi. Tapi standarnya tidak ada. Kita sudah menyusun MoU yang sudah disetujui oleh al-Azhar tapi belum ditandatangani.

MoU itu mencakup uraian bahwa Depag hanya mengurusi aspek administratif, karena memang hanya Depag yang memiliki jaringan dengan madrasah dan pesantren-pesantren di Indonesia, sementara Kedutaan Mesir tidak. Pendaftaran pun hanya mengandalkan Depag.

Pihak kedutaan hanya bertugas dalam urusan visa. Tanpa harus mengurus tes calon mahasiswa. Penguji akan didatangkan langsung dari dosen-dosen al-Azhar yang dikirim ke daerah-daerah di Indonesia.

Tinggal melihat kesiapan IAIN di daerah dan Pemda untuk memanfaatkan dosen-dosen yang akan datang hanya sekitar dua minggu untuk menguji.

Jadi, tidak akan ada lagi kong kalikong penyeleksian. Karena semua penguji dan bahan (soal) ujian dari pihak al-Azhar.

Rencana lainnya?

Kami mengharap, ketika Syeikh al-Azhar datang ke Indonesia, beliau tak cuma menandatangani MOU. Presiden RI kita harapkan bisa menyampaikan keinginan Indonesia untuk berkontribusi pada wakaf di al-Azhar.

Sebab, sejak Indonesia merdeka, al-Azhar sudah banyak memberi sumbangan kepada puluhan ribu kader pemimpin Indonesia. Tapi di lain pihak, kita tak pernah sekalipun berkontribusi kepada wakaf al-Azhar.

Apa yang harus kita lakukan?

Selama ini, tangan kita selalu di bawah. Kita harus malu dan berusaha untuk membalas kebaikan itu. Sebab menurut saya, Mesir tidaklah sekaya Indonesia, dan ekonominya juga tidak sebesar kita.

Apalagi saat ini ada lebih dari 5000 orang mahasiswa Indonesia di Mesir. Kebanyakan belajar di al-Azhar. Menurut data, setiap tahun, al-Azhar harus memberi bantuan kepada mahasiswa kita sebesar 23,6 miliar. Baik dalam bentuk SPP yang murah, atau menampung secara gratis lebih dari 700 mahasiswa Indonesia di asrama-asrama al-Azhar yang diberi makan tiga kali sehari.

Belum lagi ada sekitar 1200 orang mahasiswa yang setiap bulan menerima beasiswa 160 pound Mesir dari al-Azhar. Karena itu kita harus melakukan balance (penyeimbangan), dengan memberi kontribusi kepada wakaf al-Azhar.

Rencana kita membangunan asrama di kampus al-Azhar, merupakan upaya peran kita dalam wakaf al-Azhar untuk kepentingan umat Islam. Keuntungannya akan berbalik kepada kita semua.

Anak-anak kita akan ditampung di sana. Dan sekalipun juga akan nampung orang asing, kepentingan untuk anak-anak kita juga ada, seperti pengembangan bahasa dan wawasan mereka.

Bentuk kontribusi kita yang paling simpel kepada al-Azhar adalah itu. Disamping akan sangat baik bagi pencitraan bangsa dan mahasiswa kita di Mesir.