Kamis, 15 Januari 2009

Bos Minyak Pendiri Asuransi Syariah



Emil Abbas

Sejak kecil ia sudah gantungkan cita-cita menjadi pengusaha, bukan pegawai. Dengan penuh tawakal kepada Allah, ia jalankan semua usahanya hingga sukses. Memiliki 32 perusahaan tak membuat lelaki kelahiran Sumatera Barat ini melupakan Allah SWT. Bahkan, semakin sukses, ia merasa semakin dekat kepada Sang Khaliq. Begitu sikap H Emil Abbas MBA PhD, presiden direktur PT EASCO (holding) yang membawahi puluhan perusahaan ini.

Selama 28 tahun, ia bangun kerajaan bisnisnya dengan kerja keras. Tapi tahun ini ia harus melengserkan diri karena usia kian senja. Saat transisi inilah Emil dihadapkan tuntutan untuk memutuskan hal paling sulit dalam hidupnya, memberhentikan beberapa karyawan dari posisi penting mereka.

Hanya munajat kepada Allah pilihannya. Usai bermunajat, ayah lima anak ini ditunjuki Allah mengimplementasikan firman-Nya dalam surah an-Nûr [24] ayat 1-3 yang mendorongnya untuk mengambil tindakan tegas. ”Segala yang saya lakukan semuanya karena Allah, bukan karena siapa-siapa. Kita manusia dha’îf, semuanya harus kita gantungkan pada Allah,” tandas Emil saat ditemui Majalah Gontor di ruang kerjanya.

Dalam kondisi apapun, Emil selalu menyerahkan segalanya kepada Allah. Menjadi owner perusahaan, bukan berarti dirinya dapat berkuasa seolah yang menentukan segalanya, atau seenaknya menggunakan kekuasaan. ”Saya tak punya kekuasaan apa-apa kecuali atas ridha Allah,” tuturnya merendah.

Suatu ketika, saat akan menjalankan sebuah proyek, ia diundang bertemu pimpinan sebuah bank nasional yang akan membantu membiayai proyeknya. Sehari sebelum pertemuan, ia bermunajat dengan melakukan shalat hajat. Ia adukan segalanya kepada Allah, apakah proyek yang akan dijalankan bakal memberi kebaikan atau malah sebaliknya.

Usai shalat, Emil mengambil al-Qur’an saku ukuran 10x15 cm yang biasa menemaninya setiap kali bersimpuh di hadapan Allah. Tiba-tiba telunjuknya mengarah pada surat al-Baqarah ayat 265, ”Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”

Hati Emil plong. Ia yakin, dengan Kuasa-Nya, Allah telah meridhai apa yang bakal ia lakukan. ”Saya seperti keluar dari rasa gundah. Keteguhan saya untuk melanjutkan proyek semakin mantap,” kenangnya. Pengusaha yang terjun di berbagai bisnis seperti supporting minyak dan gas, keuangan, pertanian, kehutanan, kelautan, kontraktor, properti, hingga pendidikan itu, beranggapan semua yang ia dapat hanya titipan Allah yang kelak pasti akan kembali kepada-Nya.

Selama berbisnis, Emil yakin, seberat apapun sesuatu yang ia alami dan orang lain melihatnya sebagai suatu ujian, ia justru menilai semuanya sebagai nikmat. Karena segalanya pasti memiliki hikmah, dan Allah tentu memunyai tujuan dari setiap kejadian yang digariskan-Nya. ”Ujian, senang, atau susah, sebenarnya hanya sebutan. Ibarat kita berjalan, banyak tikungan dan ada rambu-rambunya,” ujar pria kelahiran Kuranji, 16 Desember 1957, itu.



Buah kerja keras

Bagi Emil tak ada kata malas dalam menjalankan usaha. Maka sejak sekolah, ia sudah menggantungkan cita-cita menjadi pengusaha, bukan pegawai. Janji di hati kecil Emil ini didukung motivasi dari orangtuanya yang bekerja sebagai penilik guru. Orangtuanya kerap membangun imajinasi Emil menjadi pengusaha sukses dengan menceritakan kisah-kisah orang sukses dalam bisnis. Perlahan jiwa wirausaha Emil mulai terbangun.

Seperti kebanyakan orang Minang yang gemar merantau, usai lulus sekolah Emil langsung hijrah ke Kalimantan Timur. Tak ada kesempatan untuk bermanja-manja. Di rantau, ia harus mandiri berjibaku mengadu nasib demi masa depannya sendiri.

Empat tahun pertama di negeri jamrud katulistiwa itu, Emil banyak menimba ilmu bisnis. Mulai dari cara mendirikan perusahaan, mengatur usaha, hingga model keuangannya. ”Dari beberapa perusahaan yang saya masuki, intinya saya ingin belajar,” ujar suami Risma itu. Ia pernah bekerja di perusahaan supplier, general trading, peralatan rumah tangga, material bangunan, alat tulis kantor, kontraktor, obat-obatan, bahan makanan, dan lain-lain.

Yang paling mengesankan hatinya adalah saat bekerja sebagai developer yang banyak bersinggungan dengan kontraktor perminyakan di Kalimantan. Tahun 1981 Emil mencoba mendirikan bisnis sendiri di pulau kaya minyak itu dengan bendera PT Ranji Karya Sakti. Karena bidang penambangan dan perminyakan merupakan usaha padat karya, tak heran jika di awal-awal berdiri, perusahaannya itu sudah harus mempekerjakan sedikitnya 100 orang. Dari usaha inilah pengembangan bisnis Emil lainnya bermula. ”Alhamdulillâh, sampai sekarang masih eksis,” ujarnya.

Ketika krisis moneter 1997 terjadi, banyak perusahaan mem-PHK karyawannya. Namun usaha Emil malah tengah booming, bahkan ia terus merekrut karyawan dan menambah gaji mereka. Maklumlah karena income perusahaannya banyak dalam hitungan dolar Amerika. Krisis menjadi hikmah tersendiri bagi Emil dan perusahaannya. Karenanya ia yakin bahwa semua itu karena ada campur tangan Yang Mahakuasa.

Sebagai pengusaha pribumi yang aktif dalam bisnis eksplorasi sumberdaya alam (SDA), Emil miris melihat kekayaan bangsa ini justru lebih banyak dieksploitasi investor asing. Emil sadar bisnis pertambangan memang butuh modal besar dan teknologi tak sederhana. Sementara modal keuangan, SDM, dan teknologi bangsa ini masih rendah. Jalan terbaiknya, menurut Emil, membatasi keberadaan perusahaan asing, maksimal boleh beroperasi 30 tahun pertama saja, tanpa boleh diperpanjang. Selebihnya serahkan kepada perusahaan nasional.

Ia merasa berkepentingan mengangkat anak negeri. Komitmen ini ia buktikan dengan memberdayakan semua bisnis pertambangannya untuk digarap anak negeri. Tak ada seorang pun karyawan asing. ”Saya tak punya budaya menghimpit kepala harimau. Kecil-kecil merdeka. Dan mereka tidak kalah dengan asing,” tegas Emil.

Selain peduli SDM lokal, sebagian hasil ladang bisnisnya ia gunakan untuk membangun sarana pendidikan. Salah satunya Islamic International Boarding School (IIBS). Sebagai anak yang dibesarkan keluarga guru, ia ingin di usianya yang ke 52 ini dapat mulai mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Maka segera ia mendirikan sebuah pesantren yang sangat unik di Jakarta. Lokasinya di apartemen Casablanca dan Puri Casablanca, Jakarta Selatan. Ia ingin menarik kalangan menengah ke atas untuk belajar di pesantren.



Pioner asuransi syariah

Sekitar 15 tahun lalu, ketika lembaga permodalan di negeri ini masih menjadi menara gading, Emil telah merintis lembaga keuangan bernama Asuransi Mubarakah. Bagi Emil, lembaga keuangan yang banyak menghimpun dana masyarakat selayaknya dikembalikan kepada masyarakat melalui investasi. Jika ini dilakukan, maka perputaran ekonomi yang besar akan terbangun. Dengan sendirinya masyarakat akan mendapat lapangan pekerjaan dan penghasilan. ”Dulu bank biasanya hanya memberi pembiayaan kepada kalangan yang sudah kenal saja,” katanya.

Dengan mengusung moto ”Dari Umat untuk Umat”, ia coba mendirikan perusahaan asuransi ini dengan modal awal Rp 2 miliar pada 18 Oktober 1993. Seiring waktu, Mubarakah mencatat sejarah sebagai perusahaan asuransi nasional syariah pertama di Indonesia. Emil pun didaulat MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai pengusaha nasional pertama pendiri perusahaan asuransi nasional syariah.

Kini, perusahaan itu telah memiliki 30 kantor layanan yang tersebar di 22 provinsi. Bahkan, Mubarakah secara resmi dinyatakan sebagai penyelenggara layanan Asuransi Jiwa Jemaah Haji Indonesia tahun 2008. Bersama perusahaannya ia ingin membangun ekonomi umat Islam menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-’âlamîn.

Menyoal Greget Kopontren

Kopontren masih sering berorientasi ke dalam. Hal ini menyebabkan mereka kurang memiliki jaringan bisnis.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam memiliki potensi besar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran koperasi pondok pesantren (Kopontren). Apalagi saat ini di seluruh Indonesia ada sekitar 1.200 Kopontren. ”Kopontren sangat strategis untuk menggerakkan ekonomi di akar rumput,” ujar Deputi Menteri Bidang Pembiayaan, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Agus Muharram.

Kopontren, kata Agus, paling mudah untuk dikonsolidasikan karena anggotanya sudah jelas dan sering bertemu. ”Koperasi pondok pesantren karakternya sudah jelas dibanding koperasi di luar,” paparnya saat ditemui Majalah Gontor di ruang kerjanya.

Setiap tahun pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menggelontorkan dana puluhan miliar rupiah untuk program pengembangan ekonomi pesantren melalui pemberdayaan Kopontren. Pada tahun 2007, Bidang SDM Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah telah menyalurkan dana kepada 479 Kopontren di 242 kabupaten. Setiap Kopontren menerima Rp 200 juta. Sedangkan tahun 2008, dana disalurkan kepada 235 Kopontren di 141 kabupaten. Dana ini belum termasuk yang disalurkan melalui Bidang Pembiayaan. Setiap tahun melalui Program Pembiayaan Produktif Koperasi Usaha Mikro (P3KUM), setiap Kopontren menerima dana Rp 100 juta hingga Rp 300 juta. Pada tahun 2003-2007, Bidang Pembiayaan telah menyalurkan dana kepada 430 Kopontren di seluruh Indonesia. Program ini bertujuan untuk mengembangkan kewirausahaan di lingkungan pondok pesantren , baik di bidang usaha peternakan, pertanian, keterampilan, maupun bidang-bidang lain.

Tapi mengapa kendati dana miliaran rupiah telah digelontorkan kepada Kopontren namun peran mereka dalam pengembangan ekonomi masyarakat masih kurang optimal? Menurut Agus ada tiga penyebab. Pertama, mental attitude di lingkungan pondok pesantren perlu dibangkitkan lagi. ”Perlu ada pembinaan untuk melahirkan jiwa kewirausahaan di kalangan santri,” paparnya.

Kedua, Kopontren masih sering berorientasi ke dalam. Hal ini menyebabkan networking atau jaringan silaturrahim relatif terbatas. ”Jaringan bisnis dan pergaulan mereka masih terbatas,” terang Agus. Karena itulah, pondok pesantren harus mengembangkan jaringannya. Kendati begitu, Agus mengakui ada sejumlah pesantren yang telah memiliki jaringan luas. Tak hanya di dalam negeri, tapi juga jaringan di mancanegara. ”Saat ini sudah banyak pesantren yang menjalin kerjasama dengan luar negeri, dan Gontor salah satunya. Tapi sebagian besar belum,” ujarnya.

Ketiga, Kopontren kurang bisa menangkap peluang bisnis. Sebabnya karena poin pertama dan kedua belum dibangun. ”Jika mental telah dibangun dan memiliki orientasi lebih luas lagi, niscaya peluang usaha akan mudah didapat dan ditangkap,” lanjut Agus.

Sejatinya, kata Agus, pondok pesantren sudah memiliki jiwa berkoperasi. Karena itulah, jika bisa dikembangkan, pembinaan koperasi di pondok pesantren sangat ideal.