Kopontren masih sering berorientasi ke dalam. Hal ini menyebabkan mereka kurang memiliki jaringan bisnis.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam memiliki potensi besar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran koperasi pondok pesantren (Kopontren). Apalagi saat ini di seluruh Indonesia ada sekitar 1.200 Kopontren. ”Kopontren sangat strategis untuk menggerakkan ekonomi di akar rumput,” ujar Deputi Menteri Bidang Pembiayaan, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Agus Muharram.
Kopontren, kata Agus, paling mudah untuk dikonsolidasikan karena anggotanya sudah jelas dan sering bertemu. ”Koperasi pondok pesantren karakternya sudah jelas dibanding koperasi di luar,” paparnya saat ditemui Majalah Gontor di ruang kerjanya.
Setiap tahun pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menggelontorkan dana puluhan miliar rupiah untuk program pengembangan ekonomi pesantren melalui pemberdayaan Kopontren. Pada tahun 2007, Bidang SDM Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah telah menyalurkan dana kepada 479 Kopontren di 242 kabupaten. Setiap Kopontren menerima Rp 200 juta. Sedangkan tahun 2008, dana disalurkan kepada 235 Kopontren di 141 kabupaten. Dana ini belum termasuk yang disalurkan melalui Bidang Pembiayaan. Setiap tahun melalui Program Pembiayaan Produktif Koperasi Usaha Mikro (P3KUM), setiap Kopontren menerima dana Rp 100 juta hingga Rp 300 juta. Pada tahun 2003-2007, Bidang Pembiayaan telah menyalurkan dana kepada 430 Kopontren di seluruh Indonesia. Program ini bertujuan untuk mengembangkan kewirausahaan di lingkungan pondok pesantren , baik di bidang usaha peternakan, pertanian, keterampilan, maupun bidang-bidang lain.
Tapi mengapa kendati dana miliaran rupiah telah digelontorkan kepada Kopontren namun peran mereka dalam pengembangan ekonomi masyarakat masih kurang optimal? Menurut Agus ada tiga penyebab. Pertama, mental attitude di lingkungan pondok pesantren perlu dibangkitkan lagi. ”Perlu ada pembinaan untuk melahirkan jiwa kewirausahaan di kalangan santri,” paparnya.
Kedua, Kopontren masih sering berorientasi ke dalam. Hal ini menyebabkan networking atau jaringan silaturrahim relatif terbatas. ”Jaringan bisnis dan pergaulan mereka masih terbatas,” terang Agus. Karena itulah, pondok pesantren harus mengembangkan jaringannya. Kendati begitu, Agus mengakui ada sejumlah pesantren yang telah memiliki jaringan luas. Tak hanya di dalam negeri, tapi juga jaringan di mancanegara. ”Saat ini sudah banyak pesantren yang menjalin kerjasama dengan luar negeri, dan Gontor salah satunya. Tapi sebagian besar belum,” ujarnya.
Ketiga, Kopontren kurang bisa menangkap peluang bisnis. Sebabnya karena poin pertama dan kedua belum dibangun. ”Jika mental telah dibangun dan memiliki orientasi lebih luas lagi, niscaya peluang usaha akan mudah didapat dan ditangkap,” lanjut Agus.
Sejatinya, kata Agus, pondok pesantren sudah memiliki jiwa berkoperasi. Karena itulah, jika bisa dikembangkan, pembinaan koperasi di pondok pesantren sangat ideal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar