Senin, 22 Desember 2008

Jangan Bela Kepentingan Pengusaha

KH Abdullah Faqih

Bunyi iklan banner di website Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, cukup provokatif: "Dicari perokok yang ingin tobat." Setelah diklik, muncul iklan lain, "Gratis, 20 menit sembuh." Begitulah, dalam sepuluh tahun terakhir ini segenap daya dikerahkan KH Abdullah Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Langitan, untuk membebaskan para santri dan masyarakat dari ketergantungan pada rokok.
Tak hanya menerapkan peraturan ketat larangan merokok bagi segenap warga pondok, Kiai Faqih juga menyelenggarakan terapi ala pondok yang menyembuhkan pasiennya dari ketergantungan pada rokok hanya dalam waktu 20 menit. Berikut wawancara reporter Majalah Gontor, Fathurroji, dengan Kiai Abdullah Faqih, pengasuh pesantren berumur satu setengab abad yang telah melahirkan ulama-ulama besar seperti KH Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy'ari, dan KH As’ad Syamsul Arifin.


Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana mengeluarkan fatwa tentang hukum rokok pada bulan Januari ini. Bagaimana pendapat Kiai bila ternyata MUI berani memfatwakan rokok itu haram hukumnya?
Menurut kami, apa yang dilakukan MUI itu adalah kewajaran sekaligus keharusan. Disebut wajar sebab MUI adalah lembaga yang menaungi ulama sehingga menyuarakan permasalahan yang dihadapi umat, sebagai wilayah garapan MUI. Disebut sebuah keharusan karena MUI mengungkapkan hukum sebenarnya dari merokok yang selama ini dianggap sebagai suatu perilaku yang biasa dan tidak berimplikasi apa-apa. Dalam hal ini MUI perlu mengungkapkan fakta hukum yang sebenarnya. Kalau rokok hukumnya //makruh// ya dibilang makruh, kalau hukumnya //haram// ya dibilang //haram//, kalau perlu di-//tafsil// (dijelaskan secara rinci) ya di-//tafsil//.

Untuk fatwa itu, haruskah MUI meminta kesepakatan dari para kiai atau ulama?
Sebenarnya fatwa MUI itu tidak ada yang aneh, sebab apa yang akan difatwakan itu saya yakin adalah hasil dari menggali hukum-hukum yang sudah tertera dalam kitab klasik. Sehingga dalam hal ini, menurut saya, MUI tidak harus meminta kesepakatan atau apalah bahasanya. Sebab hal itu tidak mungkin bertentangan dengan para kiai atau ulama.

Tapi, sudah siapkah para kiai dan ulama menerima fatwa MUI yang mengharamkan rokok? Bukankah selama ini banyak kiai dan ulama yang merokok?
Menurut saya masalahnya bukan siap dan tidak siap. Akan tetapi MUI harus menunjukkan hukum sebenarnya dari merokok agar masyarakat luas menjadi tahu hukumnya dari sudut pandang agama. Mereka selama ini hanya tahu pengaruh dan efek negatif rokok dari kacamata kesehatan sebagaimana tercantum di setiap kemasan rokok. Soal banyaknya kiai yang masih merokok, itu disebabkan karena mereka meyakini hukum merokok tidak sampai pada hukum haram. Seperti kita ketahui bersama, di antara ulama ada yang memfatwakan bahwa merokok hukumnya makruh, namun bisa menjadi haram karena ada sebab-sebab tertentu seperti orang yang dilarang oleh dokter karena terindikasi penyakit tertentu.

Menurut Kiai apakah fatwa MUI nanti bisa efektif mengurangi jumlah perokok?
Sebagai tindakan preventif, saya pikir itu bisa efektif. Asumsi saya, banyak di antara mereka merokok karena berangkat dari ketidaktahuan hukum. Sehingga dengan fatwa haram itu, dari kelompok ini minimal akan ada pengurangan jumlah perokok yang cukup signifikan.

Jika fatwa haram tersebut disahkan, bukankah ini akan menciptakan pengangguran? Bukankah pabrik rokok dan petani tembakau di wilayah Jawa cukup banyak jumlahnya?
Di Kabupaten Bojonegoro, dalam beberapa tahun silam, hampir seluruh petaninya adalah petani tembakau. Namun, seiring dengan harga tembakau yang tidak stabil ditambah dengan peluang keuntungan yang lebih menjanjikan dari komoditas yang lain, maka sekarang petani yang masih fanatik menanam tembakau tinggal pada daerah tertentu saja. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa andai tembakau benar–benar "dilarang untuk ditanam," maka para petani dan pedagang tembakau akan beralih mencari alternatif pekerjaan yang lain. Kalau hanya memikirkan dampaknya terhadap pengangguran saja dalam masalah ini, maka kita terkesan hanya bertumpu pada satu kaki, berat sebelah. Kita membela kepentingan para pengusaha, pabrik, pekerja dan petani tembakau, tetapi kita menafikan akibat dan pengaruh dari bahaya rokok pada penikmat rokok, keluarga dan lingkungannya, baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan.

Lalu bagaimana dengan perusahaan rokok Tali Jagad milik NU? Menurut saya, ada dua hal yang menjadi alasan NU melakukan itu. Pertama, memanfaatkan celah hukum dan mengambil hukum yang lebih ringan. Bagaimanapun juga kesepakatan tentang hukum rokok tidaklah keputusan bulat akan tetapi "lonjong", sebab di sana ada ikhtilaf antarulama bersandar dari hukum di atas. Dan kedua, melihat peluang pasar yang cukup menggiurkan, maka NU membuat perusahaan rokok tersebut sehingga dalam hal ini saya tidak bisa menyalahkan mereka yang masih merokok atau para petani tembakau atau bahkan pabrik rokoknya, manakala mereka berpedoman bahwa rokok adalah makruh, bukan haram.

Adakah yang perlu diantisipasi warga NU dengan rencana fatwa MUI yang mungkin mengharamankan rokok?
Warga Nahdliyyin harus bersikap dewasa. Apa yang diputuskan MUI adalah dalam rangka "menutup peluang", sehingga ke depannnya diharapkan generasi perokok menjadi semakin sedikit. Ini seiring dengan kemajuan pemikiran dan keilmuan yang menghasilkan generasi yang berpikir logis, bahwa rokok tidak membawa nilai positif baik dari sudut pandang agama, ekonomi apalagi kesehatan. Jadi warga Nahdliyyin jangan sampai menyalahkan secara membabi-buta pada mereka-mereka yang masih merokok. Karena, melihat kenyataan riil dalam ranah hukum asal tentang rokok, masih ada perbedaaan antarulama.

Menurut Kiai, bagaimana sebaiknya para kiai, ulama, guru dan tokoh masyarakat menyikapi fatwa MUI yang diharapkan mengharamkan rokok itu?
Mereka harus mendukung dan bahu-membahu untuk mengamankan fatwa tersebut sekaligus memberi pencerahan kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi benar–benar sadar bahwa rokok lebih banyak //mudlarat// daripada manfaatnya.

Pesantren Langitan yang Kiai pimpin melarang merokok bagi seluruh penghuni pondok. Bagaimana Kiai mampu menerapkan aturan ini?
Pada awalnya larangan ini diberlakukan tidak secara langsung dan serta merta, tapi melalui beberapa tahapan. Yakni, semula tidak boleh merokok pada area tertentu, sehingga ruang gerak mereka menjadi sempit dan kawasan bebas rokok menjadi luas. Lalu aturan ditambah, santri boleh merokok pada usia tertentu. Tujuannya untuk memotong generasi merokok, bagi yang sudah kadung kita minimalkan dan yang belum merokok kita pagari dengan hukum dan aturan sehingga mereka tidak sempat menjadi pecandu rokok. Aturan–aturan di atas kita tingkatkan terus dalam beberapa tahap sehingga pada akhirnya Pondok Pesantren Langitan benar–benar bebas dari rokok.

Sejak kapan aturan larangan merokok itu diberlakukan?
Sejak awal tahun 1980-an, dan Pesantren Langitan benar-benar bebas dari rokok pada akhir tahun 1990-an.

Apa alasan Kiai menerapkan aturan ketat seperti itu?
Ada banyak alasan mengapa saya menerapkan aturan ini. Di antaranya adalah keluhan para wali santri tentang borosnya biaya hidup anak-anak mereka di pondok disebabkan merokok. Di samping itu, bila ada kasus pencurian, maka penyebab utamanya adalah kecanduan merokok, sehingga dengan adanya larangan merokok ini kasus pencurian menjadi semakin jarang. Selain itu, dengan adanya larangan rokok ini, kamar dan asrama menjadi bersih, tidak ada puntung rokok. Larangan ini ternyata juga berpengaruh pada tamu. Mereka sungkan merokok di lokasi pondok. Alhamdulillah kesehatan para santri menjadi semakin meningkat, tidak ada yang sakit gara-gara rokok.

Berarti larangan merokok itu berdampak sangat positif?
Alhamdulillah sangat efektif. Di samping saya sendiri memberi contoh tidak merokok, saya juga tekankan pada pengurus pondok bahwa peraturan merokok adalah termasuk skala prioritas. Maka dalam beberapa tahun saja Pesantren Langitan sudah benar-benar bebas dari rokok. Tapi harap diingat bahwa penegakan peraturan ini harus berkesinambungan dan konsisten.

Apa sanksi bagi yang merokok?
Untuk sanksi, itu menurut kebijakan pengurus pondok.

Bisakah Kiai menjelaskan lebih jauh dasar hukum haram merokok?
Sekali lagi saya katakan bahwa hukum rokok pada dasarnya adalah makruh. Bagi mereka yang mengharamkannya, maka hal itu disandarkan pada beberapa sebab, sesuai dengan kaidah fikih:
ÇáÍßã íÏæÑ ãÚ ÚáÊå æÌæÏÇ æÚÏãÇ. Adapun hal-hal yang menjadikan merokok itu haram adalah: Pertama, pengaruh negatif rokok dari unsur kesehatan. Kalau si perokok punya persangkaan bahwa rokok berakibat negatif terhadap kesehatannya maka merokok menjadi haram, sebagaimana firman Allah æáÇ ÊáÞæ ÈÇíÏíßã Çáì ÇáÊåáßÉ, yang artinya, "Jangan ceburkan dirimu dalam kerusakan". Untuk jelasnya, lihat //hasyiah// (catatan kaki) Kitab Bajuri juz I halaman 29. Alasan kedua, //tabdzir//, menyia-nyiakan harta. Segala pengeluaran harta yang tidak membawa manfaat keduniaan maupun ukhrawi tergolong //tabdzir//. Pengeluaran harta tersebut baik untuk hal–hal yang haram seperti membeli minuman keras atau hal-hal yang makruh seperti membeli rokok. Untuk jelasnya, baca //hasyiah// Kitab Bajuri juz I halaman 366. Dan alasan yang ketiga, pengaruh negatifnya yang tidak secara langsung, di mana dalam jangka tertentu pengaruh tersebut baru muncul. Hal ini tetap menjadikan hal tersebut (merokok) haram dilakukan. Untuk rinciannya, lihat Kitab //I'anah al-Thalibin// juz 4 halaman 176-177.

Pesantren Langitan juga memunyai terapi khusus bagi pecandu rokok agar mereka bisa meninggalkan rokok. Bisakah dijelaskan?
Di samping terapi hukum, baik hukum agama maupun hukum pondok (peraturan pondok) seperti yang telah saya jelaskan, bila diperlukan mereka disembuhkan dengan terapi khusus ala pondok -- sebuah metode terapi yang melibatkan emosi penderita. Sebab menurut teori terapi tersebut, ada kesalahan pandang dari syaraf perokok terhadap rokok. Di sinilah, terapi tersebut berusaha meluruskan kesalahan pandangan syaraf terhadap rokok.

Selain sisi minusnya, adakah sisi plusnya rokok bagi kesehatan manusia?
Kalau saya pribadi kok memandang lebih banyak bahayanya

Harapan Kiai ke depan tentang larangan rokok ini?
Saya berharap generasi yang akan datang benar-benar terbebas dari kecanduan merokok.n

KH Abdullah Faqih (70) lahir di Dusun Mandungan, Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi'i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama.

Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Mekkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayah Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki. Karena itu tak mengherankan jika setiap Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, tokoh yang amat dihormati kalangan kiai NU, itu berkunjung ke Indonesia ia selalu mampir ke Pesantren Langitan yang didirikan l852. Di kalangan warga Nahdliyin, KH Abdullah Faqih dikenal sebagai kiai khos, kiai yang kharismatik.

Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqamah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. "Tak jarang beliau membersihkan sendiri daun jambu yang berserakan di halaman," tutur Choirie yang pernah 7 tahun menjadi santri Langitan. Dari perkawinannya dengan Hj Hunainah, Kiai Faqih dikaruniai 12 anak

Tidak ada komentar: