Senin, 21 Desember 2009

Kikis Diskriminasi Pendidikan Islam


Prof Dr H Muhammad Ali MPd MA


Disinyalir, selama ini pendidikan madrasah dan pesantren kerap diperlakuan beda dengan lembaga pendidikan umum lainnya. Khususnya terkait bantuan pendidikan.

Agar tiada lagi diskriminasi, Departemen Agama (Depag) telah menyiapkan tiga draf payung hukum yang nantinya akan men­jadi landasan madrasah dan pesantren untuk berkiprah sebagaimana layaknya sekolah umum. Seluruhnya dalam upaya meningkatkan mutu dan daya saing lembaga pendidikan Islam itu terhadap sekolah umum, hingga dapat diperlakukan sama.

Berikut petikan wawancara reporter Majalah Gontor Fathurroji NK bersama Dirjen Pendidikan Islam (Pendis), Depag, Prof Dr H Mohammad Ali MPd MA, saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Apa program 100 hari Departemen Agama (Depag) terkait pengembangan pendidikan Islam (Pendis)?

Depag tengah menyiapkan payung hukum yang mengatur ruang lingkup Pendis. Pertama, draf pendirian dan penyeleng­garaan pendidikan pesantren salafiyah dan pengembangan kurikulum pesantren. Kedua, draf Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang ujian nasional. Ketiga, menerbitkan surat Keputusan Menag tentang Mad­rasah Bertaraf Internasional (MBI).

Dengan cara itu, diharap kualitas pendidikan keagamaan di madrasah dan pondok pesantren kelak akan semakin terangkat.

Bagaimana perkembangan pendidikan di pesantren atau madrasah selama ini?

Pondok pesantren yang tersebar di Indonesia perlu ditata manajerialnya. Selama ini, pesantren menentukan pola belajar mengajar hanya sesuai kebijakannya sendiri. Untuk itu, Depag perlu mela­kukan standardisasi penye­lenggaraan pesantren salafiyah mau­pun kurikulum pesantren.

Terkait SKB Tiga Menteri, selama ini masih terjadi diskriminasi pengelolaan pendidikan di madrasah maupun pesantren. Dengan SKB ini, setidaknya po­sisi madrasah dan pesantren akan dapat saling mengisi dengan pendidikan umum.

Misalnya?

Seperti pendidikan di madrasah dan pesantren yang masih tidak mendapat prioritas dan fasilitas dari Peme­rintah Daerah (Pemda). Di sinilah diskriminasi Pemda ter­hadap madrasah dan pesantren. Terlihat, tak ada tanggungjawab Pemda dalam pengelolaan madrasah dan pesantren di daerah masing­-masing.

Saya kerap didatangi bupati dan anggota DPRD dari berbagai daerah terkait penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan. Sebenarnya mereka ada niat kuat untuk membantu, namun mereka ragu lantaran acuan aturannya belum jelas.

Karena aturannya masih dirasakan belum kuat, mereka takut didatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karenanya, SKB sudah harus ada dan segera diberlakukan. Dengan SKB nantinya persoalan itu bisa terpec­ahkan.

Harapan dari lahirnya SKB?

Dengan adanya SKB Tiga Menteri ini, kami berharap para kepala daerah akan mendapat kejelasan tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan di daerah masing-masing. Dan mereka tak lagi sungkan memajukan pendidikan keagamaan di wilayahnya.

Selama ini sudah ada bantuan dari Pemda ke anak didik madrasah dan pesantren, tapi sifatnya masih berupa bantuan sosial yang jumlahnya juga sangat kecil dan insidentil.

Apa upaya Depag untuk meningkatkan kualitas madrasah?

Butuh kerja keras untuk meningkatkan kualitas madrasah agar dapat dianggap setara dengan sekolah umum. Salah satunya dengan membuat pemetaan, dari sekian madrasah yang ada, mana yang sudah mencapai standar minimum, nasional, bahkan internasional.

Untuk itu, dari segi guru, kami memberi bantuan kualifikasi dan sertifikasi. Tahun ini kami juga membantu rehabilitasi ruang kelas madrasah Ibtidaiyah agar memenuhi standar minimun.

Berapa dana yang digulirkan?

Untuk tahun 2009, dana rehabilitasi mencapai Rp 2,1 triliun. Dana sebanyak itu untuk merehabilitasi 24 ribu ruang kelas di Indonesia.

Selama ini madrasah masih mendapatkan bantuan hanya dari Depag, sementara bantuan Pemda belum memadai, karena terkait kebijakan internal mereka. Menurut PP 55 tahun 2007, Pemda boleh memberi bantuan kepada madrasah.

Terkait draf pendirian dan penyeleng­garaan pendidikan pesantren salafiyah dan pengembangan kurikulum pesantren?

Lembaga pendidikan kalau ingin resmi, harus ada payung hukumnya. Selama ini, pihak yang ingin mendirikan pesantren cukup didaftarkan dan didata, tapi wujud bangunannya belum ada, sehingga data yang ada carut marut.

Nanti akan ada syarat-syarat agar tak lagi seperti sekarang. Misalnya, untuk mendirikan pesantren harus memenuhi syarat adanya kiai, santri, dan lain-lain. Selain itu, jika pesantren ingin diakui lulusannya, harus ada syarat lain. Bukan hanya pendirian, tapi juga ujian.

Apakah pendidikan agama akan diujikan untuk syarat kelulusan?

Ke depan, pendidikan agama akan diupayakan menjadi penentu kelulusan anak. Selama ini pendidikan agama masih menjadi ”pelengkap penderita” saja. Tapi ini masih dalam perencanaan.

Jika pendidikan agama menjadi standar kelulusan, maka guru agama akan memiliki power sebagaimana pelajaran umum lainnya. Jika pendidikan agama bisa menyebabkan ketidak-lulusan siswa, pasti mereka akan serius memelajari agama. Selama ini mereka hanya takut kepada pelajaran matematika, bahasa Inggris, dan beberapa lainnya saja.

Apakah selama ini madrasah belum mampu bersaing dengan sekolah umum?

Pada dasarnya, madrasah dan pesantren mampu bersaing dengan sekolah umum, asalkan pengelo­laan proses belajar mengajarnya tertata baik. Saat ini, mutu pendidikan di madrasah maupun sekolah Islam negeri sudah cukup baik dibanding sebelumnya. Bahkan ada beberapa yang sudah mengarah pada standar internasional.

Kualitas madrasah di bawah standar?

Ada kesan kualitas pendidikan di madrasah mengalami kemunduran atau rendah dibanding sekolah umum. Tapi tidak semua kesan itu benar, karena ada madrasah atau sekolah Islam, negeri maupun swasta, mampu bersaing dengan se­kolah-sekolah umum. Setidaknya sudah memiliki kualifikasi guru dan fasilitas sekolah yang memadai. Walau harus diakui masih ada madrasah yang di­kelola swasta belum memenuhi kualifikasi.

Tapi, saat ini guru-guru di madrasah su­dah banyak yang berpendidikan sarjana (S1), bahkan ada yang melanjutkan pendidikan S­2. Sarana dan fasilitas madrasah juga terus meningkat.

Upaya Depag terhadap madrasah yang berkualitas rendah?

Khusus madrasah bermutu rendah, Depag akan melakukan identifikasi dan verifikasi­ untuk dibantu meningkatkan kualitas pendidikannya. Salah satunya, dengan merekrut guru berkualitas dan memberi bantuan sarana dan prasarana sekolah, agar proses belajar mengajar dapat berjalan efektif.

Belajar di madrasah tak ubahnya dengan sekolah umum. Bedanya hanya pada pelajaran agama. Di madrasah, siswa diajari berbagai pelajaran tentang agama. Jika melihat tren beberapa tahun terakhir, tingkat kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anaknya di madrasah atau sekolah Islam menunjukkan peningkatan cukup signifikan. Ini menunjukkan makin banyaknya madrasah dan sekolah Islam yang kian berkualifikasi baik.

Tentang program madrasah bertaraf internasional (MBI)?

Ada beberapa madrasah di Indonesia yang sudah memiliki kualifikasi layak untuk diwu­judkan menjadi madrasah bertaraf internasional (MBI). Ini penting, karena dengan standardisasi semua madra­sah yang berkualifikasi akan diarahkan bertaraf internasional.

Dengan program tersebut, lulusan madrasah dan pesantren kelak tak akan menjadi penganggur pendidikan. Terlebih Pendis telah merancang pro­gram kewirausahaan (entrepreneurship) di madrasah dan pesantren untuk mendidik siswa memiliki kemampuan hidup (life skill).

Apa manfaatnya untuk siswa?

Bila lulusan mad­rasah dan pesantren telah memiliki life skill, maka mereka dapat bersaing dan berdaya guna di masyarakat. Tak lagi menjadi penganggur pendidikan yang harus me­lamar pekerjaan ke sana-sini.

Artinya, jangan sam­pai lulusan madrasah atau pesantren menunggu kerja, apalagi menjadi pem­bantu rumah tangga di negara lain. Prinsipnya, sekurang-kurangnya lulusan madrasah atau pesantren mampu memecahkan masalah hidup sendiri.

Upaya Depag mengenalkan jiwa wirausaha di madrasah dan pesantren?

Tahun 2010 kita akan mulai memikirkan agar siswa madrasah dan pesantren dikenalkan pendidikan wirausaha secara formal. Tak harus masuk kurikulum formal, tapi lebih kepada pengayaan dalam kegiatan ekstrakurikuler atau di luar kurikulum. Guru-guru bisa mengamalkan, atau minimal mengenalkan wirausaha.

Sebab, dalam wirausaha harus ada kemauan, ketrampilan dan pengetahuan. Kalau sikap siswa positif terhadap wirausaha, dilengkapai ketrampilan dan pengetahuan, jiwa wirausaha pun bisa berkembang. Punya pengetahuan tapi tak punya sikap, jalan wirausaha juga tak akan terbuka.

Tujuannya, ketika lulus, mereka bisa berpikir bukan hanya mencari pekerjaan, tapi menciptakan pekerjaan. Jangan hanya menjadi job seeker, tapi harus menjadi job creator. Ini memang tak mudah, tapi kalau ada kemauan pasti bisa dilakukan.

Lembaga selain madrasah dan pesantren?

Tidak hanya madrasah dan pesantren. Akhir 2009, pendidikan tinggi Islam juga telah diberi kerjasama dengan Yayasan Ciputra untuk melatih dosen tentang kewirausahaan. Agar mahasiswa di dunia perguruan tinggi juga dikenalkan kewirausahaan.

Boks

Aktivis Pendidikan

Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama Prof Dr H Muhammad Ali MPd MA lahir di Cirebon, 3 Juni 1953. Pendidikan S1 ia tamatkan di IKIP Bandung (1979), S2 di lembaga yang sama (1987) dan University of Pittsburgh, Amerika Serikat (1990). Gelar doktor ia raih di IPB Bogor (1999).

Disamping gigih mengabdi untuk negara di lingkungan Depag, pria beristrikan Dra Hj Sumiati ini juga aktif di banyak organisasi terkait pendidikan. Di antaranya menjadi pengurus pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI), anggota Asia Pacific Educational Research Association (APERA), anggota Comparative Education Society in Asia (CESA), serta anggota International Association of the Aplication of Science and Technology for Development (IASTED).

Bapak lima anak (Rian Ahmad Syathari ST MSc, Rhabiah El Fithriah SKg drg, Fauziah Hayati Sked, Neily Zakiyah Sapt, dan Zahratu Sabrina) ini terkenal sangat aktif menelorkan banyak karya ilmiah dan buku.

Seperti Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (Imperial Bhakti Utama, Bandung, 2009), Perencanaan Pembelajaran (Wacana Prima, Bandung, 2006), Metode-metode Pembelajaran (Wacana Prima, Bandung, 2006). Dan editor handbook buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Pedagogiana Press, Bandung, 2007), dan Manajemen Kualitas: Pendekatan dari Sisi Kualitatif (Penulis DW Ariani, Ghalia Indonesia, Jakarta).

2 komentar:

Nurdin Zaky mengatakan...

Semoga 3 payung hukum tersebut tidak hanya menjadi isapan jempol saja, karena masalh ini sudah menjadi wacana cukup lama. dengan dihapuskannya dikotomi pendidikan diharapkan pendidikan islam memiliki posisi tawar dan kedudukan yang bagus. satu hal yang lebih penting, lembaga pendidikan Islam sendiri juga harus sudah mulai manata diri agar mampu tampil dan bersaing...

Kata Jakarta mengatakan...

Setuju mas Nurdin, selama ini posisi tawar pendidikan islam sangat lemah. pemerintah lebih memandang pendidikan umum, setidaknya harus ada kesamaan dalam memajukan dua model pendidikan ini. mari kita dukung terus pendidikan islam agar trus maju...