Jumat, 13 November 2009

Autodidak Besarkan Percetakan

Syaifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto,

Percetakan Karya Kita berawal dari satu mesin hand press manual seharga Rp 25 ribu. Kini aset perusahaan milik Syaifullah Sirin ini sudah mencapai angka Rp 150 Miliar per bulan. Bagaimana kiatnya?

Tidak puas bekerja di percetakan milik kakak iparnya, Syaifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto, 63 tahun, memulai karirnya di bisnis percetakan dengan modal satu mesin hand press seharga Rp 25 ribu. Pria yang biasa dipanggil Dato ini memulai bisnisnya sejak tahun 1970-an, tepatnya setelah putus kuliah semester dua di jurusan Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri).

Kakak Dato, Rozali Usman, kebetulan adalah pemilik percetakan besar Remaja Karya, yang banyak memproduksi buku-buku sekolah, sekaligus mantan Ketua IKAPI. Kendati begitu, Dato tak lantas manja dan bergantung kepada kakaknya dalam mengembangkan bisnisnya sendiri.

“Saya memang dibesarkan oleh kakak ipar, mulai dari SD hingga SMA. Dia adalah guru dalam berbisnis, kakak dalam berkeluarga,” kata Dato yang sekarang menjabat Presiden Direktur Karya Kita Group.

Bagi Dato, berbisnis memang butuh perjuangan dan pengorbanan, karena dari situlah berbagai pengalaman akan mematangkan kemampuan bisnisnya. Ia mengaku kalau dirinya tak memiliki skill khusus, tapi hanya daya juang yang keras, tanpa kenal lelah dalam bekerja.

Walhasil, usaha yang ia rintis tidak sia-sia. Lambat tapi pasti mesin cetak pun bertambah menjadi tiga, karyawan yang awalnya tiga orang juga bertambah. ”Saya sering mengerjakan sendiri karena juga sambil olahraga,” paparnya.

Bagi Dato, tak ada rumus khusus untuk menggaet pasar. Ia mengaku semuanya ia pelajari secara autodidak. “Jiwa entrepreneur orang Minang, kalau sudah bekerja dan melihat peluang ia akan berjuang sendiri,” tuturnya.

Buku yang pertama kali diterbitkan Karya Kita berjudul Demokrasi Pancasila karya Murdani, pada 1978. Selanjutnya, perusahaan ini memfokuskan pada penerbitan buku-buku teks agama Departemen Agama pada 1983.

Debut Karya Kita semakin melaju dengan memasuki bisnis media, yaitu dengan menerbitkan tabloid Salam yang sempat fenomenal di akhir 1980-an hingga awal 1990-an.

Bisnis penerbitan yang mengusung idealisme mencerdaskan bangsa ini menjadi titik awal lahirnya perusahaan penerbitan yang paling diandalkan oleh Karya Kita saat ini, yaitu PT Grafindo Media Pratama pada tahun 1995. Grafindo bergerak di penerbitan buku-buku teks untuk SD, SMP, dan SMA.

Berbagai order buku juga terus mengalir antara lain, dari Diknas. Puncaknya ketika ada bantuan dari Bank Dunia untuk Diknas, Dato menerima USD 1,5 juta atau sekitar Rp 4 miliar (dengan kurs yang masih Rp 2.600,-).

Pada tahun 1997-1998, Dato juga mendapat proyek senilai Rp 49 miliar. Tawaran berikutnya senilai Rp 84 miliar tapi gagal karena adanya krisis ekonomi. ”Karena terjadi krisis dan pergantian personel Bank Dunia di Indonesia. Untuk mencetak 10 juta buku,” kisahnya.

Terkait keputusan Diknas tentang pemberlakuan Buku Sekolah Elektronik (BSE) bagi sekolah, menurut Dato, cukup memberatkan bagi insan percetakan. ”Saat itu banyak penerbitan kolaps, alhamdulillah kami masih eksis,” katanya.

Kini, alhamdulillah, berkat perjuangan yang tak kenal lelah, cabang Karya Kita punya 87 cabang di seluruh Indonesia, kecuali wilayah Irian Jaya dan Maluku. Jumlah karyawan pun sudah mencapai 1000 orang.

Kerja keras dan komitmen dari seluruh karyawan dan manajemen Grafindo juga menghasilkan kepercayaan dari publik maupun pemerintah serta prestasi gemilang. Pada tahun 1998 hingga 2003, Grafindo memiliki stand terbaik pada Pameran Buku dan Pendidikan Anak di Bandung. Stand terbaik pada Indonesian Book Fair tahun 2001 dan 2002. Lolos seleksi penilaian dan pengadaan buku di Timor Leste yang disponsori UNTAET tahun 2000 dan 2001. Serta lolos seleksi penilaian buku Matematika dan Bahasa Indonesia SD tahun 2003 dan 2004 yang diselenggarakan Pusat Perbukuan Depdiknas.

Tahun 2007 juara II Lomba Cetak di mesin Sheet Printing dengan mat paper dan juara III Lomba Cetak di mesin Web Printing dengan kertas koran yang diselenggarakan oleh Forum Grafika Digital (FGD) bekerja sama dengan Pusat Grafika Indonesia pada FGD Expo.

Saat ini instansi yang telah memercayakan jasa Karya Kita meliputi: PT Telkom, PT Pos Indonesia, PT INTI, Bank BTPN, PT Pupuk Kujang, Dispen Polda Jawa Barat, Departemen Agama, PGRI. Selain itu, Karya Kita juga telah dipercaya mencetak Surat Suara Pemilu 2009. ”Kami terus memberikan yang terbaik untuk customer,” ungkap Dato.

Nakhodai Pembangunan Gontor 15

Setelah Syaifullah Sirin Dt. Rajo Mangkuto mengembangkan bisnisnya, akhirnya tahun 1982 Dato menunaikan ibadah haji—sebagai wujud rasa syukurnya kepada Allah atas limpahan rezeki yang ia dapatkan. ”Saya sadar, godaan paling berat bagi orang yang lebih rezeki adalah cinta dunia,” katanya.

Karenanya tak heran jika dalam setiap doa, Dato selalu bermunajat agar diberi kesempatan beramal saleh. ”Saya selalu berdoa agar diberi kesempatan dan diringankan, diikhlaskan untuk beramal saleh untuk bekal menghadap kepada-Mu ya Allah. Dan rasanya saya merasa lega, menghadapi materi menjadi kecil,” tuturnya.

Kegiatan sosial kerap ia lakukan, bahkan setiap uang yang masuk ke perusahaan 2,5 % wajib untuk zakat, sedangkan 5% untuk infak. Namun seiring perjalanan waktu, nilai 5 % meningkat menjadi 7,5 %. ”Sekarang setiap uang masuk 7,5 % untuk infak. Siapa pun datang ke sini tidak boleh kosong, istilahnya kalau tidak penuh atas maka penuh bawah,” katanya.

Untuk itulah, Dato yang kelahiran tahun 1946 ini mencoba mengabdikan diri untuk kemaslahatan umat. Salah satunya dengan menjadi Ketua Badan Pembangunan Pondok Pesantren Darussalam Gontor 15 di daerah Sulit Air, Padang, Sumatera Barat.

”Selagi darah mengalir kami bertekad untuk mewujudkan Gontor di Padang. Saya telah mencoba melobi pengusaha dari Timur Tengah ketika di acara di Australia,” semangatnya. Rencananya, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 20 miliar, ”Untuk masjid saja sekitar Rp 8 miliar. Bangunan kelas ada 3 yang sudah dibangun dan asrama,” terangnya.

Gontor telah lama menjadi alternatif pilihan terbaik para orangtua Sulit Air dalam memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka. Di antara ribuan alumni Gontor, sekitar 250 orang adalah putra Sulit Air. “Keberadaan Gontor di Sulit Air akan mengubah daerah ini menjadi daerah yang religius dan produsen ulama-intelektual dan intelektual-ulama di Sumatra Barat,” ujarnya.

Rencananya, total anggaran untuk membangun sebesar Rp 24 miliar. ”Pembangunan ini terlaksana tiga tahap, pertama dianggarkan Rp 7 miliar, pembangunan kedua 14 miliar hingga selanjutnya menghabiskan biaya total Rp 24 miliar,” ungkapnya.

Peletakan batu pertama pembangunan Gontor ini dihadiri pejabat pusat maupun daerah, seperti Menteri Kehutanan MS Ka’ban, Gubenur Sumbar H Gamawan Fauzi, Pimpinan Gontor, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, Din Syamsudin, Taufik Ismail sastrawan nasional asal Sumbar, Wakil Bupati Solok, Bupati Padangpariaman dan perantau SAS.

Selain pembangunan Gontor, Dato juga gemar memberikan bantuan pembangunan masjid, madrasah, santunan anak yatim piatu. Bahkan ada beberapa panti yang setiap bulan ia subsidi. ”Saya merasakan nikmatnya tangan di atas. Semoga ini menjadi amal ibadah,” ungkapnya. /fathurroji

Tidak ada komentar: