Jumat, 13 November 2009

Berkah dari Bakmie Raos


H Bimada

Berkah menyeimbangkan antara bekerja dan ibadah. H Bimada berhasil membangun Bakmi Raos dari tiga gerobak menjadi ratusan gerobak yang tersebar di Indonesia. Mendapatkan penghargaan Djie Sam Soe Award tahun 2006 sebagai pengusaha UKM terbaik Indonesia.

Butuh perjuangan dan pengorbanan yang besar untuk sukses. Tak terkecuali di bisnis kuliner mie. Ungkapan yang mungkin terdengar klise itu juga dirasakan oleh H Bimada, pemilik brand Bakmi Raos. Jatuh bangun dalam berbisnis bukanlah cerita yang aneh baginya. Namun keyakinan dan jiwa entrepreneurnya telah membuktikan bahwa sikap pantang menyerah bisa menjadi kunci sukses usahanya.

Memulai bisnis mie-nya pada tahun 2003, Bima—demikian H Bimada akrab dipanggil—mengusung bendera PT Raos Aneka Pangan sebagai wadah usahanya. Selain menyediakan makanan bermutu yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, usahanya ini juga bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pedagang kecil kaki lima yang ingin sukses bersama.

“Berani Diadu Rasanya” itulah moto Bakmi Raos dalam bersaing dengan bakmi-bakmi lainnya. Untuk itu, penyajian mie yang ia jual pun dibuat semenarik mungkin agar para pelanggan benar-benar menikmati kualitas produknya.

Keberadaan Bakmi Raos bagi Bima bukan sekadar bisnis. Ada semangat spiritual yang mewarnai bisnisnya tersebut. Selain ingin menciptakan lapangan kerja untuk membantu pengentasan kemiskinan, ia juga ingin usahanya menjadi perpaduan antara ibadah dan bekerja.

Karenanya tak heran jika Bakmi Raos mengusung visi menjadi pemimpin dalam usaha makanan dengan membangun manusia yang bertaqwa kepada Tuhan YME—yang semuanya didasari semangat kerja keras dan disiplin tinggi. “Ibadah jangan sampai dilupakan meski bekerja,” tandasnya.

Bagi Bima, rahasia sukses nomor satu dari bisnisnya adalah karena peran Allah SWT. Karena itu, niat atau tujuan yang benar harus menjadi dasar saat berbisnis. Tapi niat saja tidak cukup. Perlu ada pemahaman yang baik tentang bisnis yang dijalani dan network yang luas untuk mengembangkan jaringan bisnis.

Setelah itu, bagi Bima, yang tak kalah penting lagi adalah ikhtiar, yakni berani mencoba dan pantang menyerah. Ia menambahkan, kalau ada kegagalan harus segera dianalisis untuk kemudian dicoba lagi. “Adapun resepnya adalah inovasi dan diferensiasi produk, baru kemudian membangun merk,” paparnya.

Ide bisnis Bakmi Raos ini, menurut Bima, karena ia melihat ada banyak peluang di pedagang kaki lima. Dirinya pernah melihat pedagang dengan pendapatan luar biasa. Sehari keuntungan bisa mencapai Rp 4 juta. Dari sinilah, ia berikir, “Kalau saya bisa mendapat untung bersih 200 atau 500 ribu saja dengan satu gerobak, bisa dihitung berapa yang saya dapatkan kalau punya seratus gerobak. Apalagi kalau sampai bisa seribu gerobak.”

Mengapa bisnis makanan yang ia ambil? Bima menjelaskan makanan sarat dengan inovasi, dan bisnis ini tak akan ada matinya. Selama orang hidup pasti masih membutuhkan makanan, dan mie merupakan makanan kedua setelah nasi. Karenanya, peluang makanan ini sangat besar meski penjualnya juga banyak.

Setelah menekuni beberapa tahun, konsep Bakmi Raos yang awalnya di gerobak dorong, kini sudah berubah. Alasannya kalau memaki gerobak dorong, harga jual sudah dipatok. Sedangkan kalau statis harga jual bisa naik. Selain itu, tidak mudah mengatur pedagang yang mobile dan tidak mudah mengontrol kualitas dan layanannya. “Sekarang kami berada pada sektor agak menengah. Gerobak sudah tidak ada. Semuanya tetap (statis),” ujarnya.

Bisa dibilang, Bima adalah sosok yang ulet dalam menapaki karier bisnisnya. Ia mulai dari tangga paling bawah. Kata orang, pebisnis yang baik adalah yang berangkat dari dasar, lalu naik setangga demi setangga dengan konsisten.

Bima awalnya seorang pekerja di perusahaan freight forwarder di daerah Jakarta Utara. Namun sesuatu mengubah arah hidupnya: istrinya diketahui sakit kanker. “Saya ingin punya lebih banyak waktu untuk mengurus istri saya. Rumah saya di Bintaro harus kerja ke Sunter, coba bayangkan berapa lama,” pintanya.

Tahun 2002 ia mulai mencoba berbisnis. Bersama kakaknya ia ikut sebuah produk franchise dengan mendirikan restoran bakmi. Sayangnya, langkah pertamanya itu langsung tersandung. Restoran franchise-nya bangkrut dalam tempo setahun.

Gagal di franchise ia membuka gerobak mie ayam di Villa Bintaro. Usaha ini dalam tiga bulan kemudian bangkrut juga. Padahal ia sudah kursus membuat mie di beberapa tempat. Meski gagal di mie ayam, ia masih memikirkan usaha sejenis. “Saya memang ingin memiliki usaha di makanan,” katanya.

Tiba-tiba ada seorang teman yang menawarinya resep membuat bakmi. Resep inilah yang jadi cikal bakal Bakmi Raos. Setelah merasa cocok, Bima pun merekrut orang-orang yang mau berjualan bakmi dengan gerobak. Mula-mula ia berjualan dengan tiga gerobak bermodalkan Rp 10 juta.

Sistemnya, ia mendapat margin Rp 1.500 per mangkok bakmi yang terjual. Sedang pedagangnya Rp 1.000 dari harga Rp 6.000 per mangkok. Jika sehari terjual 40 mangkok, maka dalam sebulan (dihitung 25 hari) si pedagang bisa mendapatkan Rp 1 juta. Tentu saja ini menggiurkan, apalagi Bima juga menyediakan fasilitas penginapan dan uang makan. Dengan kata lain, pendapatan si pedagang jadi utuh.

Pola usaha itu akhirnya berkembang. Dari tiga gerobak bertambah menjadi sepuluh gerobak. Dan dalam tempo setahun ia sudah memiliki 193 gerobak. Jumlah pedagang yang dilatihnya mencapai 700-an orang. Namun dari jumlah itu sebagian besar mengundurkan diri. “Saya melihat kualitas jiwa wirausaha bangsa ini memang sangat lemah,” katanya.

Para pedagang kecil yang ia bina kebanyakan berasal dari Cirebon dan Sukabumi. Sekali datang mereka bisa 10 hingga 15 orang. Semuanya menginap di tempat yang telah disediakan Bima. Namun sayang, sebagian dari mereka justru hanya numpang tidur dan memilih berjualan rokok di Blok M. “Mereka kurang bersyukur dan belum bisa melihat peluang kesempatan usaha yang kami berikan,” ujarnya.

Akhirnya, model yang ia jalani bersama para pedagang kecil ini tidak bertahan lama. Bima pun memilih untuk membangun usahanya secara profesional. Ia tidak lagi bisa mengandalkan para pedagang yang tidak serius. Akhirnya produk bakminya pun ia waralabakan.

Bima membangun pola kemitraan. Dengan pola ini ia tak perlu menggaji mereka. Mitranya cukup membeli mie dan minyak goreng darinya plus gerobak yang ia rancang. Kemitraan ini hingga menghasilkan jaringan mitra di mana-mana.

Setelah semakin menjamurnya model franchise makanan. Akhirnya Bima pun menambah varian produknya. Kini, ia juga menghadirkan masakan dengan nama Bakmie Mada. Produk ini menyajikan tiga makanan dalam satu gerobak, yakni Mie Ayam, Bakwan Malang dan Siomay Bandung. Untuk produk ini, Bima mematok harga Rp 25 juta untuk investasinya.

Bukan Bima jika tak berinovasi. Ia pun kini mulai merambah makanan terkenal dari Madura yakni sate. Untuk produk ini, ia memberikan brand dengan nama Sate Sambas. Di dalamnya juga ada tiga makanan dalam satu gerobak atau 3 in 1, yaitu Sate, Soto dan Es Campur. Biaya investasi produk ini mencapai Rp 28 juta./Fathurroji NK

2 komentar:

BabyTalk mengatakan...

kalau mau jd franchisee nya gimana ya pak? tolong diinfokan ke c4si3@yahoo.com... makasih...

Rangga T Aditya mengatakan...

BAKMI RAOS

Semoga Tambah Maju dan Sukses

Dari
P. SONY

Karadenan
Cibinong - Bogor