Kamis, 20 November 2008

Santri Yang Jadi Polisi

Sudaryanto

Selain aktif di kepolisian, Mas Dar juga aktif di masjid. Baginya masjid bisa mendekatkannya dengan Tuhan dan masyarakat. Berikut kisahnya dari Jogjakarta.

Jalan Malioboro di jantung kota Jogjakarta adalah saksi bisu perjalanan Sudaryanto menjadi seorang polisi. Sebuah poster lowongan menjadi polisi yang di tempel di jalanan itu mengantarkannya menjadi seorang polisi sungguhan.

Ceritanya, seusai belajar Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), Sudaryanto ikut membaca poster lowongan polisi itu. Setelah itu, dengan semangat penuh harap ia menemui orangtuanya untuk menyampaikan hasratnya menjadi polisi. “Alhamdulillah orangtua setuju,” ujar lelaki kelahiran Sleman, 20 Maret 1958 ini.

Kesempatan tak datang dua kali. Mas Dar, demikian Sudaryanto akrab dipanggil, langsung menyiapkan segala persyaratannya. Berbekal ijazah Pendidikan Guru Agama (PGA) saat itu, Mas Dar mengirimkan lamaran menjadi polisi. Akhirnya, setelah seleksi, Mas Dar pun dinyatakan lulus.

Kebahagiaan dan kegembiraan menyelimuti ratusan peserta yang saat itu mendaftar menjadi polisi. Tak terkecuali Mas Dar. Awalnya tak pernah ia berkeinginan menjadi polisi. Ia hanya ingin mendalami dunia peradilan. Tapi nasib berkata lain, poster di jalan Malioboro membawanya ke dunia polisi.

Setelah lulus ujian, Mas Dar digembleng di wilayah Mojokerto, Jawa Timur, tepatnya di Pusdik Brimob selama enam bulan. Di situ ia banyak belajar bagaimana menjadi seorang guru untuk para polisi. Kebetulan, sekolah yang ditekuni sebelumnya adalah sekolah guru, jadi ia tidak merasa canggung saat mengajar di depan para polisi.  “Keluarga saya keluarga guru mas,” ungkapnya.

Latar belakang sebagai guru membuatnya semakin mantap melangkah menapaki karir di kepolisian. Melakukan presentasi atau memaparkan materi di bangku belajar sudah menjadi bidang Mas Dar.

Selama 10 tahun, mulai tahun 1980 hingga 1988 Mas Dar menikmati pekerjaan sebagai guru bagi para polisi. Untuk memantapkan karirnya, ia pun mengambil pendidikan perwira di Sukabumi, Jawa Barat.

Setelah beberapa tahun menjalani pendidikan, ia pun dipindah tugas ke Polda Jawa Timur untuk menjadi auditor kepolisian. Tugasnya mengaudit operasional dan mengevaluasi program-program yang dijalankan Polwil Jawa Timur.

Mulai tahun 1989 hingga 2004 Mas Dar aktif menjadi auditor. Seperti polisi lain, pindah tugas adalah hal yang wajar. Sejak tahun 2004, ia pun diberi amanah menjadi Wakil Kepala Polres (Wakapolres) Sumenep, Madura, selama 3 tahun.

Kesempatan menjadi Wakapolres pun tak ia sia-siakan untuk menunjukkan kinerjanya dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Baginya, amanah yang ia dapat merupakan tanggung jawab yang harus ia jalankan dengan sebaik-baiknya.

Meski hanya tiga tahun, Mas Dar tak merasa dibatasi oleh waktu untuk menjalankan tugas utama kepolisian. Saat menjadi pejabat maupun tidak, ia tetap menjaga nama besar korps kepolisian.

 

Dalam menjalankan tugasnya, Mas Dar selalu menggunakan pendekatan persuasif untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di masyarakat. Menurut Mas Dar, cara itu lebih efektif dan menjauhkan dari rasa kebencian dan anarkisme.

Untuk bisa lebih mengayomi masyarakat, Mas Dar tak segan-segan terjun langsung dalam kegiatan kemasyarakatan. Misalnya mengikuti pengajian, shalat Jumat di masjid yang berbeda-beda dan kegiatan masyarakat lainnya. “Saya berusaha untuk mengenal masyarakat melalui kegiatannya,” katanya.

Mas Dar menyadari, sebagai polisi terkadang ada orang yang suka atau tidak suka. Karena itu, dirinya harus pandai memosisikan diri di masyarakat. Tampil apa adanya dengan sikap yang sewajarnya adalah modal utama untuk bisa dekat dengan masyarakat.

Seorang polisi bukan malah menjaga jarak dengan masyarakat. Karena tugas polisi senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani dengan ikhlas untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Saat menjabat sebagai Wakapolresi di Sumenep, ia sadar kalau masyarakatnya memiliki karakter keras khas Madura. Kendati demikian, ia tak mempersoalkan di mana daerah ia bertugas. Karena semua itu tergantung pendekatan polisi kepada masyarakat yang diayominya.

Salah satu langkah yang ditempuh Mas Dar adalah dengan cara bersilaturahmi dengan para kiai di pesantren-pesantren. Hal ini karena sosok kiai di Madura memiliki pengaruh penting di masyarakat.  

Sebagai seorang polisi, setiap menjalankan tugas harus sesuai dengan amanat undang-undang. Misalnya ketika menyelesaikan sebuah masalah di masyarakat, ia tidak boleh melakukan tindakan gegabah yang bisa menimbulkan masalah baru. Semua permasalahan diselesaikan melalui aturan yang ada.

Contoh lain, ketika ada kasus pencairan BLT di Sumenep. Sejumlah pendemo yang mengatasnamakan Pemuda Peduli Desa Sera Tengah Kecamatan Bluto menuntut penyelesaian kasus itu secepatnya.  Akhirnya, perwakilan pendemo diizinkan masuk menemui dirinya.

Dalam tatap muka itu, Mas Dar menyatakan bahwa dalam menyelesaikan kasus itu, aparat Kepolisian tidak bertindak gegabah, tapi harus mengikuti aturan yang ada. Karena itu, pemrosesan kasus BLT ini, tidak bisa dilakukan dalam hitungan hari, mengingat aparat masih memerlukan data yang valid.

Dan masih banyak permasalahan yang memerlukan penanganan persuasif. Setiap tugas yang ia jalani memiliki konsekuensi dan risiko. “Semua ada hikmah yang harus diambil dari setiap kejadian,” paparnya. 

 

Aktif menjadi Takmir Masjid

Selain menjadi seorang polisi, Mas Dar juga sosok yang agamis. Hal ini bisa dilihat dari aktivitasnya sehari-hari. Selain menjadi auditor di Polda Jatim, ia juga aktif sebagai pengurus Masjid Al-Ikhlas di Wisma Trosobo Taman Sidoarjo.

 

Selama aktif di masjid, ia merasa lebih dekat dengan masyarakat. Selain itu, juga semakin bertambah ilmunya mengenai Islam. Dekat dengan kegiatan masjid menjadikan dirinya juga tenang dan dekat dengan Sang Khalik.

Kedekatannya dengan masjid sebenarnya merupakan buah dari masa lalunya. Mas Dar kecil ternyata seorang santri yang pernah mondok di Pondok Pesantren Pabelan asuhan KH. Jafar Hammaam sejak tahun 1965. Sebuah pesantren yang pernah mendapatkan award untuk bidang lingkungan dan kultural ini.

Lulus SD tahun 1970, Mas Dar langsung mukim di pesantren. Usianya yang masih belia terkadang membuatnya tak stabil di dalam pesantren. Kondisi inilah yang menyebabkan dirinya tak bertahan hingga lulus pesantren.

Mas Dar hanya sampai di kelas empat (1974). Keputusannya untuk keluar dari pesantren karena ia tak ingin terus terjerumus dalam pengaruh teman-temannya saat itu. Ia mengaku sering diajak teman-temannya keluar pondok dan nonton film di Kota Muntilan. “Kalau saya terus begini saya bisa hancur. Akhirnya saya keluar pondok,” kisahnya.

Hati kecil Mas Dar sebenarnya ingin tetap nyantri, karena di pesantren ia jadi memiliki banyak teman yang datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Namun karena pengaruhnya terlalu kuat dan ia merasa tak kuasa dengan pengaruh teman-temannya, ia akhirnya berhenti mondok.

Keluar dari pesantren, ia pun masuk ke PGA Kudus. Mas Dar memang dari keluarga guru. Sang ayah adalah dosen di Universitas Ahmad Dahlan, Jogjakarta. Begitu pula kakak-kakaknya, banyak yang menjadi guru. Ternyata jiwa guru juga ikut mengalir di darah anak keenam dari enam bersaudara ini.

 

Tidak ada komentar: