Selasa, 09 September 2008

MembangunJubilee School

Ibrahim Abdullah Assegaf


Perbedaan adalah rahmat, Ibrahim berhasil memetik hasil dari perbedaan melalui Jubilee School. Meski pemilik sekolah ini Muslim, 95 persen peminat sekolah ini non Muslim. Bagaiamana kiatnya?

Gedung warna biru langit dipadu dengan warna kuning serta silver nampak menjulang tinggi di sekitar danau yang ada di bilangan Sunter, Jakarta Utara. Saat perpulangan sekolah, gedung itu nampak riuh oleh suara anak-anak dari kalangan etnis China sedang menunggu jemputan. Mobil-mobil mewah pun berantrian menjemput mereka.

Begitulah pemandangan sehari-hari di Jubilee School, baik saat jam masuk maupun pulang sekolah. Hampir 95 persen para siswa yang sekolah di gedung berlantai delapan ini dari etnis China. Namun siapa sangka, pemilik sekolah ini adalah seorang Muslim taat keturunan Makasar bernama Ibrahim Abdullah Assegaf (61).

Ibrahim, begitulah panggilan akrabnya. Terpanggil bergerak di dunia pendidikan ketika melihat kualitas pendidikan bangsa ini yang kurang menggembirakan. Terutama pasca kerusuhan tahun 1998 yang menyebabkan kalangan etnis Tionghoa ketakutan dan lari ke luar negeri.

Lelaki kelahiran Makasar 27 November 1947 ini mengatakan, padahal mereka yang lari atau menyekolahkan anaknya ke luar negeri merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan mendapatkan perlakuan sebagaimana warga Indonesia. Akhirnya tercetuslah ide untuk menjembatani kesenjangan ini melalui pendidikan. ”Kalau mereka bisa sekolah di dalam negeri dalam situasi yang kondusif, kenapa tidak?” paparnya.

”Harmoni dalam Perbedaan” itulah salah satu motto sekolah yang berdiri pada tahun 2000 ini. Dengan motto tersebut, pendiri lembaga ini berusaha menyatukan kembali perbedaan yang ada, baik itu perbedaan etnik, agama, ras, dan lainnya.

“Guru-guru di sini beragam latar belakangnya. Ada yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Demikian pula ada dari suku Jawa, Batak, Cina,” ujarnya saat ditemui di JS CafĂ© sekolah.

Ibrahim menyatakan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang heterogen. ”Kita berbeda akidah ya, keyakinan berbeda, tapi masih banyak persamaan lain yang bisa mengikat kita untuk membangun generasi bangsa ini,” jelas lelaki yang hobi renang ini.

Bersemi dari Gedung Kontrakan

Gedung seluas satu hektar di bilangan Kampung Sunter Muara ia sewa untuk mendirikan sekolah bernama Jubilee School. Beruntung, sang istri yang memang sudah puluhan tahun bergerak di dunia pendidikan memahami niat baik sang suami.

Tak hanya itu, sang istri sebelum berniat mengembangkan lembaga pendidikan bersama suami adalah mantan direktur sekolah ternama saat itu, yaitu Gandhi Memorial International School. Karenanya, konsep yang diterapkan pun banyak terinspirasi dari sekolah garapannya. Namun tak berhenti dari satu sekolah, sang suami juga kerap memberi ide-ide segar untuk pengembangan sekolahnya.

Berbekal pengalaman dan modal yang tak sedikit dari hasil menabung, Ibrahim akhirnya membuka Jubilee School tahun 2000. ”Kalau maju alhamdulillah kalau tidak maju saya tidak ngutang sama orang. Namun Allah berkehendak lain ternyata sekolah ini terus berkembang hingga memiliki lokasi sendiri. Semua Allah yang menghendaki,” kata lelaki yang pernah menjadi guru kursus Bahasa Inggris ini.

Di luar dugaan, ketika pendaftaraan siswa baru dibuka, Jubilee School diminati oleh sekitar 4.000 calon murid baru. Padahal saat itu lembaga ini hanya membutuhkan siswa sekitar 1.200 siswa. ”Subhanallah, ternyata animo msyarakat cukup baik,” tutur lulusan Akuntansi, Universitas Jayabaya tahun 1986.

Dengan banyaknya jumlah pendaftar, hal ini mampu mendatangkan pundi-pundi rupiah yang tak sedikit. Tak heran, jika uang ngontrak berjumlah Rp 550 juta per tahun bisa ia lunasi dalam waktu singkat. ”Memang, mayoritas para wali murid dari golongan kelas menengah ke atas,” papar bapak dari tiga anak ini.

Ibrahim menyadari, kalau saat itu masih belum ada sekolah yang menjadi model percontohan di bilangan Sunter. Dengan semangat tinggi dan dibarengi dengan kemampuan serta pengalaman di bidang pendidikan, sekolah ini terus mencari jati dirinya.

Sebagaimana latar belakang sekolah ini dibangun, yakni harmonis dalam perbedaan. Maka konsep ini pula yang terus ia kembangkan. ”Peluang inilah yang coba saya angkat untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dengan memberikan hak-hak mereka untuk belajar, menjaga harmonisasi dalam perbedaan,” ujar suami dari Farida ini.

Ibrahim sebagai sosok yang lahir dari keluarga beragama, yakni Islam, merasa terpanggil untuk memberikan teladan kepada siapa saja, baik itu dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Anggapan sementara dari non Muslim bahwa Islam itu agama kekerasan ia tepis. Salah satunya dengan memberikan contoh kepemimpinannya di Jubilee School ini. Bahwa Islam memberikan kedamaian dan menjadi rahmatan lil alamien.

”Istri saya di sini sebagai direktur, dan ia mengenakan jilbab, begitu juga ada beberapa guru yang mengenakan jilbab, para wali murid tak mempermasalahkan itu,” papar lelaki yang pernah mengelola penerbitan Mario Grafika ini.

Jubilee Bangun Gedung Bertingkat

Tahun ketiga sejak berdirinya Jubilee School, Ibrahim Abdullah Assegaf akhirnya bisa menikmati hasil jerih payah yang selama ini ia kerjakan. Di tepi Kali Sentiong atau berdekatan dengan Waduk Sunter Barat, ia menancapkan gedung berlantai sembilan sebagai sentra pendidikan terpadu.

Lelaki yang juga pengurus Yayasan Citra Bangsa (YCB) membangun gedung sekolah nasional plus dengan investasi sedikitnya Rp 60 miliar. Selaku pengelola Jubilee School, ia mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikannya yang dikelolanya cukup tinggi dan terbukti sejak didirikan pada tahun 2000, kini jumlah muridnya lebih 2.000 orang siswa mulai pra sekolah, TK, SD, SMP dan SMU.

Atas kepercayaan tersebut, pihaknya membangun gedung sekolah Jubilee School berlantai delapan. Ia mengatakan, pembangunan sekolah itu seluas 12.000 meter persegi dan luas bangunan mencapai 23.000 meter persegi. Bangunan baru itu terdiri 130 kelas, ruang komputer, auditorium, sinema, kantin dan berbagai fasilitas pendukung.

Pada awalnya, perkembangan Jubilee School pada tahun pertama jumlah muridnya sudah mencapai 1.250 orang, dan kini jumlah muridnya mencapai 2.050 orang dengan tenaga pengajar 200 guru dan 150 staf administrasi.

Lingkungan sekolah yang baru ini awalnya daerah rawan kejahatan dan kumuh. Karenanya, dalam pelaksanaan pendidikan kami tetap menyertakan warga sekitar sebagai karyawan. Misalnya mereka bekerja sebagai cleaning service, tukang, dan lain sebagainya. Ada lebih dari 70 orang yang ikut bekerja di sekolah ini. “Mereka menjadi penjaga secara tidak langsung,” jelasnya.

Selain memberdayakan warga sekitar, Ibrahim juga ikut peduli dengan orang-orang yang membutuhkan. Tak heran, jika ia banyak memberikan bantuan finansial kepada anak-anak kurang mampu atau yatim piatu. Di Palu, ia memiliki anak asuh sebanyak 27 anak. Sedangkan di Jawa Timur ada 2 anak.

Sekolah Lokal Standar Global

Sekolah nasional berstandar internasional, demikian misi yang didengungkan Jubilee School ini. Lembaga pendidikan ini tak hanya terfokus pada satu kurikulum asing. Sekolah ini juga memadukan kurikulum nasional dan internasional. Bagi Ibrahim, tak ada satu metode pun yang benar-benar bisa diterapkan seratus persen. Jadi perlu penggabungan berbagai metode dan disesuaikan kebutuhan.

Ibrahim juga menjelaskan sebagai sekolah nasional plus, pihaknya membagi program belajar dalam dua bagian, yakni pertama, program pendidikan Indonesia yang mengikuti kurikulum nasional, disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris mulai dari kelas pra sekolah hingga DMA (grade 2).

Program kedua, adalah full English Program, yang berdasarkan pada kurikulum nasional yang disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Program ini menggunakan buku-buku panduan dan materi internasional dengan penekanan pada metode intruksi yang digunakan sekolah internasional terbaik.

Saat ini Jubilee School sudah menjalin kerja sama dengan dua universitas terkemuka yakni Cambridge University dari London dan University of Wollongong dari Australia. Tak heran, jika lulusan sekolah ini bisa meneruskan ke dalam negeri maupun luar negeri.

Selain kerja sama dengan pihak luar negeri, Jubilee School juga dipercaya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional menjadi pilot project penggunaan sistem perguruan tinggi atau memakai sistem SKS. ”Kelebihannya anak-anak tergantung dari kredit yang dia peroleh, jadi mereka bisa menyelesaikan lebih cepat yaitu 2 tahun,” katanya.

Jubilee dan Pergantian Milenium

Dalam sebuah perbincangan dengan orang Betawi, Ibrahim pernah mendapatkan lelucon tentang nama Jubilee yang ia pilih sebagai nama sekolahnya. Suatu hari, orang Betawi mengatakan kepada dirinya, ”Ji (pak haji-red), ente ini emang pinter milih nama, Jubilee, ini kan dari A’ujubilee,” senyum lebar Ibrahim sambil menirukan sang Betawi berkelakar.

Hati Ibrahim terantuk dengan nama Jubilee lantaran ia pernah berkunjung ke sebuah lembaga pendidikan yang ada di Yordan. Saat itu, ia akan menyekolahkan anaknya, Ali. Namun sayang, sekolah itu hanya menyaratkan warga negara sendiri dan tidak bagi warga negara lain, termasuk Indonesia.

Alasan sang kepala sekolah yang saat itu dipegang Dr Taufik adalah ingin menciptakan generasi penerus dari negeri sendiri yang handal. ”Kalau kita tidak memiliki SDM yang baik, one day kita ini hilang di muka bumi,” tiru Ibrahim yang mengaku sangat terkesan dengan kalimatnya.

Dalam sebuah diskusi pernah sekolah ini diberi nama Millenium tapi ia tak ingin kesannya seperti hotel di Jakarta. Bahkan juga pernah muncul nama Metropolitan, tapi ia tak setuju karena mirip nama taksi. ”Lalu saya ingat sekolah yang ada di Yordan yaitu Jubilee. Lalu kami memakai nama itu,” jelas lelaki yang pernah mondok di pesantren Al-Khairat, Palu ini.

Nama Jubilee berasal dari bahasa Ibrani yang juga kerap dipakai ketika memperingati pergantian yang sukses. Selain itu, Jubilee juga dipakai ketika zaman Nabi Musa saat membebaskan para budak. Selain itu juga tak asing bagi orang-orang Katholik. ”Kebetulan berdirinya jubilee bergantian antara milenium baru dari abad 19 ke 20,” papar bapak yang pernah belajar di SMU Katholik, Cendrawasih ini.

Bagi Ibrahim, hidup adalah perjuangan. Ia mencontohkan bagaimana para kekasih Allah seperti para Nabi zaman dahulu tak lepas dari cobaan berat. Tapi melalui perjuangan yang tak kenal lelah, para Nabi mendapatkan tempat mulia di sisi-Nya.

”Allah tidak memanjakan para Nabi ketika usahanya mentok, baru Allah akan menurunkan jalan keluar setelah ada usaha,” kisahnya. Ia mencontohkan, bagaimana Maryam memperoleh air zam-zam setelah melalui perjuangan panjang yang melelahkan.

”Adanya Jubilee ini saya yakin ada misi yang Allah selipkan dari besarnya sekolah ini, wallahua’lam,” tutur lelaki yang gemar mengikuti pengajian di kalangan habaib ini.

2 komentar:

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.