Sebagai sosok kawakan di media massa, Parni Hadi memiliki segudang pengalaman terkait dengan perjalanan media massa di Indonesia, mulai dari masa Orde Baru hingga masa Reformasi seperti sekarang ini.
Bahkan, kini Parni Hadi mendapatkan amanah menjadi Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI). Sebuah amanah yang tak ringan, mengingat RRI awalnya sebagai corong pemerintah dan harus diubah menjadi radio publik yang menyuarakan aspirasi masyarakat.
Berikut petikan wawancara wartawan Majalah Gontor, Fathurroji NK dengan Parni Hadi di kediamannya yang asri di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan.
Bagaimana Anda melihat kebebasan pers saat ini?
Sejak pemerintahan Presiden BJ Habibi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, saya pikir kebabasaaan pers sudah sama dengan dunia luar dalam hal ini Barat, bahkan karena belum semua insan pers baik wartawan maupun pemilik memahami tanggungjawab sosial pers maka beberapa media massa menurut saya kebablasan.
Sejak kapan kebebasan ini muncul?
Pers pasca tumbangnya rezim Orde Baru ibaratnya seperti talang air yang tidak memiliki alat penyaring. Sehingga apa yang diucapkan narasumber digelontor begitu saja di koran atau media massa, tanpa saringan lagi. Tuntutan kemerdekaan mengemukakan pendapat, yang pernah didambakan insan pers, kini dilampiaskan dengan vulgar. Setelah pers mendapat kebebasannya, sebagian di antaranya justru menyelewengkan ke arah yang negatif. Misalnya saja menelanjangi keburukan orang tanpa tedeng aling-aling lagi, tak jarang isinya berupa fitnah tanpa didukung data yang jelas.
Apakah media massa mulai keluar dari koridornya?
Sebagian, sehingga menyebabkan ini terjadi, selain itu karena banyak media massa yang berdiri tapi tak seide dengan tujuan pers itu sendiri, yaitu berfungsi memberi informasi, pendidikan, menghibur dan tanggung jawab sosial. Banyak media massa yang terbitnya musiman itu punya tujuan lain yang lebih diutamakan dari pada mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa.
Berapa persen kira-kira media massa yang sehat saat ini?
Menurut data dari SPS, media massa cetak yang sehat secara finansial, refleksional, organisasinya hanya 30 persen, selebihnya belum sehat. Kurang sehatnya media ini karena secara finansial kurang sehat, hal ini biasanya berpengaruh pada redaksional kurang sehat. Dan angka itu tidak banyak berubah sebelum reformasi. Tapi kuasi kebebasan pers luar biasa bahkan berlebihan.
Apa pengaruhnya jika media tak sehat ini dibiarkan?
Beberapa penerbit yang secara ekonomi tidak kuat dan SDM biasanya mengikuti kekuatan ekonomi. Dulu memang ada asumsi biarlah kita mulai dengan penerbitan atau siaran yang mengakomadasi selera pasar, nanti lama-lama akan bosan jika bosan akan meningkat ke selera tinggi.
Bagaimana kenyataannya?
Namun belum ada penelitian seberapa besar perubahan itu. Saya sangat sedih melihat kenyataan ini. Pemerintah juga tak punya kekuatan apa-apa karena pemerintah tidak punya media. Pemerintah sendiri tidak berdaya atas kebablasan pers ini.
Media menjadi corong kapitalis, menurut bapak?
Media massa sudah menjadi industri, sesuatu yang sebenarnya tidak salah, tapi ketika media massa lebih mementingkan aspek bisnisnya, dari pada aspek idealisme maka di sinilah media massa mengikuti sistm ekonomi yang berlauku di negeri ini yakni sistem kapitalis.
Apakah ini terkait dengan isi yang kurang mendidik?
Bisa jadi, misalnya tayangan televisi, saya sangat prihatin karena kurang mendidik, kurang mencerdaskan kehidupan. Misalnya penayangan acara sinetron yang menonjolkan kekayaan duniawi, mimpi-mimpi, mistik, sadisme. Saya pikir itu bertentangan dengan cita-cita mulia media massa.
Bagaimana mengcounter ini?
Langkah pertama yang harus dilakukan bagaimana mendidik SDM dibidang media massa. Maraknya penerbitan media massa yang tanpa dibarengi ijin juga ikut meramaikan media yang kurang berkualitas. Siapa pun bisa menerbitkan, untuk elektronik agak susah karena ada ijin frekuensi, sedangkan media cetak sangat gampang, itu satu hal yang harus dibenahi.
Bagaimana dengan lembaga pengontrol media?
Saat ini juga tidak lembaga yang mengontrol media cetak. Ada dewan pers, tapi sekarang masih banyak bergulat masalah etika, itu penting juga, dewan pers belum optimal, semetera pertumbuhan media cetak sangat dahsyat, kalau dulu ada beberapa ratus sekarang sudah mencapai ribuan media massa.
Mengapa masyarakat lebih enjoy dengan tayangan di televisi?
Ini mencerminkan struktur masyarakt kita, masyarakat kita banyak berpikir dari tangan ke mulut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Boro-boro mikir tanggung jawab sosial, etika atau tugas-tugas lainnya. Saya yakin banyak masyarakat yang tidak menyisakan uangnya untuk membeli media cetak. Saya kira kemampuan ekonomi bangsa ini belum besar. Selain itu karena minat baca masayarakt tidak terlalu tinggi. Karena ketiadaan secara finasnisal. Dengan lahirnya televisi sebenarnya telah menarik masyarakat untuk melihat. Mengapa harus mebaca dan mengeluarkan uang, di televisi sudah ada acaranya, hiburanya dan lain sebagainya. Jadi kembali peran televisi sangat berpengaruh.
Mengapa banyak hiburan televisi yang kurang mendidik?
Televisi mudah diakses, selama 24 jam bisa diakses. Padahal untuk bisa menayangkannya biayanya mahal sekali penyelanggaraannya. Satu jam siaran bisa sampai ratusan juta. Karena itu mereka mengutamakan penghasilan dari iklan, lalu berpedoman pada rating, biasanya rating harus memenuhi selera pasar, jika selera pasar senangnya musik ya musik, senangnya klenik ya tayangannya klenik dan lain-lain. Begitu juga radio, untuk iklan radio swasta terutama yang kelas menengah ke bawah, isinya iklan tentang klenik atau obat-obatan kuat. Ini menurut saya tidak mencerdaskan.
Bagaimana sebaiknya media massa kita?
Pendirian media massa tidak hanya untuk mencari makan, media massa berfungsi mencerdaskan dan mencerahkan bangsa. Wartawan itu pekerja perakit kata-kata, pekerja intelektual informasi itu dinalar benar atau salah, pekerja hati nurani karena mempertimbangkan etika baik dan buruk, halal dan haram. Saat ini hanya 30 persen yang bekerja sesuai hati nurani.
Apakah media mencerminkan masyarakatnya?
Ya, media itu menceriminkan masyarakatnya, uang berkuasa, orang banyak didikte dengan uang. Waktu saya kelas SD, pemilihan kepala desa sudah pakai uang, batik, maka ketika saat ini di DPR memaki uang, maka wajar. Jadi tidak benar jika demokrasi dulu itu lebih baik. Itu tidak benar. Karena hal seperti itu sudah diterapkan di jaman dulu. Yang jelas uang memegang peranan penting. Orang yang cerdas dan beretika tanpa memiliki uang susah untuk mendapatkan kekuasaan. Begitu juga di media massa. Maka saya mengembangkan pers dengan tanggung jawab sosial. Jadi ketika memberitakan sesuatu harus melihat dampaknya, jika tidak mencerdaskan maka harus ditimbang dulu, dan itu membutuhkan kode etik jurnalistik.
Bagaimana sebaiknya wartawan?
Jika jadi wartawan, setidaknya harus punya keahlian jurnalistik, berpegang pada kode etik jurnalistik, dan terjamin kesejahteraannya. Orang boleh pandai, berkarakter tapi kalau tidak tercukupi kehidupannya maka jangan harap. Istilah orang Jawa, jadi harus ada otak, watak dan sak (saku) harus terpenuhi. Otak atau pengetahuan yang luas, watak yakni berupa hati nurani, dan sak (dari bahasa Jawa yang berarti saku) atau kesejahteraan. Jadi, ada hati nurani yang mengawasi dan ada kewajiban pemilik modal menyejahterakan wartawannya. Jika pandai tapi tak bersak maka bisa diatur untuk disalahgunakan. Saya optmis meski lambat tapi akan terwujud.
Media kerap menjadi sebagai alat perang ide?
Benar, pers atau media massa merupakan produk yang sarat dengan nilai dan kepentingan ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari siapa dari pemiliknya, pengelolanya, wartawannya, masyarakat pembacanya, dan mitra kerjanya dalam hal ini pengiklan. Jadi mengelompok, jadi jika ideologinya murahan maka iklannya ya murahan. Jika ideologinya tinggi ada yang diperjuangkan sehingga ada velue yang saat ini bisa kapitalisme, sosialisme, neo liberalisme bahkan agama. Inilah peradaban dan perang ini tercermin di media massa. Karena media massa ajang beradu pikiran, menjual gagasan, memperjuangakan pikiran.
Perang ide bisa ke perang fisik?
Tergantung, jika pikiran yang disebarkan insinuatif penuh hasutan, profokatif bisa jadi. Itu ada hubungannya dengan tingkat pengetahuan, pendidikan, kesadaran pembacanya. Di sinilah media massa menjadi tanggung jawab sosial. Misalnya orang mengampenyakan sesuatau dengan profokatif, jika kata-kata yang kasar dipakai bisa jadi pengikut yang dibawah langsung terpancing emosinya. Karena dampak psikologis yang diterima oleh pembaca berbeda. Di sinilah media massa harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata, memiliki nilai-nilai yang jadi panutan. Ini bangsa sudah mudah beringas, dikompori lagi ini akan bisa menyulut konflik horisontal.
Siapa yang seharusnya mengontrol?
Kontrol pertama ada di wartawan, perusahaanya, diorganisasi pers, di dewan pers, hukum dan masyarakat sendiri.
Media Islam yang kurang berkembang apa sebabnya?
Saya salah seorang pendiri Republika, tahun 1992 bersama kawan di ICMI menggagas koran Republika. Tujuannya untuk menyambung aspirasi umat Islam dengan keindonesiaan, kemajemukan dan modern. Tapi dalam perjalanannya, tak bisa dipisahkan dari unsur idealisme, ideologi. Saya mengenang penuh rasa syukur secara dahsyat dampaknya. Masyarakat Muslim merespon dengan baik, oplahnya juga melonjak, tapi label Islam yang terlalu kental apalagi kalau dianggap koran partisan, dan mendukung ideologi tertentu dan dikaitkan dengan tindak kekerasan tertentu, maka iklan tidak akan datang.
Bukankah Indonesia mayoritas Islam?
Meski Indonesia 90 persen Islam tidak otomatis perilakunya Islami, sangat pluralistik. Karena itu koran Islam hingga sekarang iklannya tidak besar. Dan ini mempengaruhi pertumbuhan koran. Karena masyarakat yang ada sekuler maka jika ada penerbitan yang berlabel Islam, terlepas karena mereka menganggap Islam sebagai sesuatu yang menakutkan dan eksklusif.
Pernah ada pengalamn terkait iklan yang menolak koran Bapak saat itu?
Saya punya pengalaman ketika ingin barter mobil mewah, dia menjawab sebenarnya pangsa pasar mobil kami tidak di pembaca koran anda, itu benar juga. Setelah itu ada konglomerat yang kami tawarkan barter iklan, ia juga mengatakan produk kami bukan untuk koran anda. Meski sebenarnya kalau kita bicara barang-barang konsumtif seperti sabun, sikat gigi, pasta gigi, sarung, pakaian, obat untuk semua orang memakainya. Tapi kenyataannya karena perusahaan besar itu dikuasai oleh orang-orang yang tidak mendasarkan ajaran Islam yang dikenal banyak orang atau mereka tidak memamahi Islam seperti yang kita harapkan, maka mereka tidak pasang iklan di koran Islam, bahkan andai ada telivisi Islam pun dikhawatirkan sama seperti itu. Sebenarnya Islam punya pangsa pasar bagus, tapi perlu penggarapan yang jitu dan profesional. Seperti televisi Al-Jazera, televisi Islam tapi tampil maju, dia tidak tampil ke arab-araban. Ia menggunakan multi bahasa sehingga bisa diakses oleh banyak orang.
Bapak menjadi Dirut RRI, bagaimana bapak melihat RRI?
Saya rasa produk RRI sudah banyak berubah. Saat ini RRI semakin meneguhkan dirinya bukan lagi corong pemerintah. RRI mencoba menampilkan seluruh suara yang muncul di masyarakat. Ya legislatif, eksekutif, yudikatif, dan publik. Program interaktif juga digelar, buka line telepon.
Bagaimana bapak meyakinkan publik bahwa RRI berubah?
Memang butuh waktu, karena sudah lama dikenal sebagai corong pemerintah. Tapi dengan banyaknya SMS dan telpon saat acara interaktif, saya makin tambah yakin. Memang perlu promosi dan kegiatan yang menunjukkan RRI berubah, dari produknya. Bukan sekadar omongan kosong. Reporter dan penyiar RRI tidak lagi takut untuk menyampaikan kritik yang datang dari masyarakat dan juga analisa-analisanya.
Bagaimana RRI melayani publik?
Publik tidak hanya dilibatkan sebagai pendengar, tapi juga sebagai pelakon. Mereka diundang menyampaikan aspirasinya. Juga berhak menilai perkembangan RRI. Karena radio publik ini dibiayai oleh APBN. Rakyat punya hak untuk mengontrol, mengawasi, dan mengkritisi LPP RRI.
RRI sebagai corong publik harus membantu siapa saja yang selama ini mendengarkan dan membantu RRI mulai dari presiden hingga rakyat jelata. Kalau dulu memang menjadi corong pemerintah dengan menjadi UPT (unit pelaksana teknis) dari Departemen Penerangan, kemudian menjadi jawatan atau perjan (perusahaan jawatan). RRI sebagai radio publik wajib memberdayakan publik yang mayoritas miskin.
Soal Independendensi RRI?
Independen bukan berarti membiarkan semua orang untuk bicara. Independen berarti punya sikap. Semua untuk pengabdian terhadap Republik Indonesia. Silakan A dan B bicara, kemudian kita rumuskan.
Bagaimana RRI bersaing dengan radio swasta?
RRI adalah sebuah lembaga penyiaran publik yang harus melayani semua pihak. Karena itu RRI punya 4 programa, Pro 1 untuk umum berjangkauan wilayah provinsi umumnya. Pro 2 untuk generasi muda dengan masyarakat perkotaan. Pro 3 menyeluruh seluruh Indonesia. Pro 4 adalah saluran budaya dan pendidikan. Dan Voice of Indonesia siaran luar negeri dalam 11 bahasa. RRI juga akan meluncurkan informasi dalam bentuk audio tetapi juga audio visual dan tulis (print). RRI siap bersaing dengan industri informasi dan hiburan yang tumbuh pesat baik ditingkat lokal, daerah, nasional, regional dan global sekaligus pada era globalisasi ini (tree in one). Produk ini nantinya akan lebih menampilkan keterlibatan dan kepentingan masyarakat setempat atau memberi warna lokal, tetapi tetap dalam bingkai demi kepentingan NKRI.
Apakah RRI cukup efektif menyiarkan informasi?
Sangat efektif dalam menyiarkan informasi. Karena tidak ada yang memiliki jaringan sebanyak RRI. Stasiun televisi yang ada di Indonesia, bahkan swasta sekalipun belum memiliki jaringan seperti RRI. 58 stasiun dan sebentar lagi akan jadi 60 di seluruh Indonesia. Saya pikir selama ini, entah tidak tahu atau tidak mau mencoba. Bahkan saya sudah lapor Menkominfo, saya minta izin dan arahan. Jawab beliau setuju optimalisasi. Tapi harus bagaimana dibicarakan soal legal dan teknisnya.
RRI apakah menggelar seni budaya?
Kalau anda baca PP 12/2005, RRI bertugas di samping memberi layanan informasi, pendidikan, hiburan sehat, perangkat kontrol masyarakat, juga sebagai pelestari budaya bangsa. Maka RRI mulai giat melakukan gelar seni budaya. Seluruh stasiun saya instruksikan melakukan gelar seni budaya. Seni budaya lokal tradisional yang sudah hampir punah, sudah gak banyak peminatnya. Saya minta dipentaskan, direkam.
Dengan menggelar seni budaya, RRI akan menjadi pusat kegiatan publik. Karena orang akan datang dan otomatis RRI akan menjadi ajang promosi. Sponsor akan datang. Pusat kegiatan publik, juga dapat duit. Setiap cabang umumnya punya tim kesenian, ada musik, karawitan, piano. Kemudian ”Siaran Pedesaan”.
Bapak orang swasta, tapi memimpin PNS, apa tidak canggung?
Dulu waktu masuk RRI, saya ragu. Saya bukan PNS, saya dari swasta. Apa saya nggak kewalahan menghadapi PNS yang stigamanya kurang produktif, kurang kreatif, karena pintar malas sama saja. Ternyata, saya punya keyakinan. Teman-teman di sini bisa berubah. Asal diberi kebebasan. Jadi saya beri kebebasan sekaligus perlindungan. Saya hadapi saya tanggung jawab. Kalau ada intervensi, saya yang akan selesaikan. Mereka pegawai negeri, asal diberi kebebasan untuk berkreasi, pasti bisa. Saya yakin itu. Itu kuncinya. RRI sekarang memiliki lebih dari 7.000 personil yang rata-rata berusia di atas 40 tahun, berpendidikan SLTA, dan PNS. Tentu, upaya memberdayakan mereka bukan hal yang ringan.
Terkait kerjasama RRI dalam Gontor Goes Green?
Ya, Gontor bekerjsama dengan RRI menanam sejuta pohon, saya sendiri penggemar lingkungan hidup dan saya mendapatkan penghargaan Kalpataru tahun 2008, saya juga aktif di Pramuka. Saya senang pada pesantren yang ikut andil dengan lingkungan. Kebetulan saya memang akrab dengan bapak kyai saat menjadi amirul haj dan saya sering di Gontor.
Bagaimana bapak melihat program ini?
Program ini sangat bagus dan saya mendukung, dan ini sebaiknya bisa diikuti oleh pondok atau organisasi lain. Karena saat ini lingkungan terancam dengan pemanasan global. Saya ingin mengingatkan jangan hanya melakukan seremoni saja, hanya menanam tapi tidak memelihara, karena yang penting memelihara. Tapi saya yakin kalau Gontor bisa memelihara tanaman yang telah ditanam. Gontor menebarkan cinta ke seluruh Indonesia dan dunia karena pohon itu adalah penghidupan dan cinta. Maka, harus kita dukung program Gontor Goes Green ini.
Sekilas
Parni Hadi, lelaki kelahiran Madiun, 13 Agustus 1948 ini menapaki karirnya mulai dari wartawan biasa di Antara. Alasannya menjadi wartawan karena tantangan wartawan sangat berat, yakni harus mampu menguasai berbagai bidang persoalan.
“Dari sinilah jiwa saya mulai terbentuk. Sebagai seorang profesional saya berbeda dengan profesional lain yang selalu mengejar materi, karena itu saya terjun ke Pramuka yang nota bene tidak menghasilkan materi yang banyak dibandingkan terjun ke organisasi lain,” kisahnya.
Kepiawaiannya dalam merangkai kata yang diperoleh dari sumber akurat mengantarkan dirinya dipercaya sebagai wartawan istana yang pada zamannya merupakan kelompok wartawan elit. Karena perlu kualifikasi khusus dan tes yang cukup berat untuk bisa meliput di istana.
Dari sinilah namanya mulai berkibar bukan hanya insan pers dalam negeri tapi juga mancanegara. Berbagai organisasi kewartawanan pun digeluti sebagai pengurus bukan hanya organisasi kewartawanan dalam negeri (PWI) tapi juga organisasi kewartawanan Asia Pasific (OANA).
Parni bahkan sempat menduduki posisi top manajemen di kantor yang membesarkannya, sampai akhirnya tergusur di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia digantikan Moh Sobari yang duduk sebagai kepala LKBN Antara.
Kepiawaiannya dalam bidang manajemen selama berada dalam naungan LKBN Antara, serta kedekatannya dengan mantan Presiden BJ Habibie telah membawa dirinya bukan hanya bernaung dalam LKBN Antara saja, tapi bersama-sama BJ Habibie mendirikan Harian Republika, serta menempatkannya menjadi Pemimpin Umum, sekaligus Direktur Produksi pada PT Abdi Bangsa pada tahun 1993-2000.
Bahkan, kini Parni Hadi mendapatkan amanah menjadi Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI). Sebuah amanah yang tak ringan, mengingat RRI awalnya sebagai corong pemerintah dan harus diubah menjadi radio publik yang menyuarakan aspirasi masyarakat.
Kesibukannya yang padat dalam dunia penerbitan pers, karena duduk sebagai dewan komisaris di beberapa penerbitan pers, tidak menyurutkan kecintaannya pada organisasi kepramukaan. Menurut Parni, kecintaannya pada dunia Kepramukaan tidak akan surut sampai kapan pun.
Hal ini terkait dengan pengalaman ketika sekolah harus ikut kegiatan pramuka. “Mungkin karena saya berasal dari kelangan keluarga kurang mampu, sehingga saya merasa sering ditolong orang, dan sekarang akan berusaha menolong orang lain,” ujarnya.
Selain aktif di lingkungan hidup, tak heran jika ia mendapatkan penghargaan Kalpataru tahun 2008. Ia juga pendiri organisasi wartawan yang peduli lingkungan hidup Earth Wire Services kantor berita yang mengurusi lingkungan hidup berita-berita tengan lingkungan hidup seluruh dunia. “Saya rasa kepedulian terhadap sesama dan cinta lingkungan hidup itulah yang melatar belakangi kecintaanya kepada pramuka, semua itu sejalan dengan apa yang dilakukan dalam dunia kepramukaan.”
“Saya merasa tertantang untuk mengaktualisasikan diri saya, melalui pramuka ini. Karena ini merupakan tantangan besar bagi saya. Pramuka itu sendiri sebenarnya hanya dilihat sebelah mata, karena organisasi ini duitnya tidak ada,” ujarnya.
Parni Hadi yang ditinggal istrinya Maringi Peni karena menderita sakit Amyloidosis atau protein abnormal yang berasal dari sel-sel dalam sumsum tulang tahun 2004 ini tinggal bersama ketiga anaknya Wiyoso Hadi, Sri Manganti dan Tri Swasono Hadi di perumahan asri di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan.
Nama : Parni Hadi
Kelahiran : Madiun, 13 Agustus 1948
Istri : Maringi Peni (alm)
Anak : Wiyoso Hadi, Sri Manganti dan Tri Swasono Hadi
Pendidikan :
- IKIP Bahasa Inggris
- Science Journalisme, Jerman
- Kursus Singkat Lemhanas (KSA) Angkatan VI
- Magister Management pada Tecnological University of the Philippines.
Pekerjaan :
- Waratawan LKBN ANTARA, Redaksi Inggris 1973
- Reporter Istana Merdeka 1977-1978
- Koresponden Lepas Asiaweek, Hongkong, 1978-1980
- Managing Editor, Indonesia Magazine, 1978-1979
- Pendiri/Kepala Perwakilan LKBN ANTARA untuk Eropa di Hamburg, Jerman Barat, 1980-1986
- Kepala Redaksi Inggris LKBN ANTARA, 1986-1988
- Kepala Redaksi Umum LKBN ANTARA, 1988-1989
- Wapemred Pemberitaan LKBN ANTARA, 1989-1992
- Staf Ahli NDIO (National Development Information Office) 1986-1990
- Sekretaris Eksekutif Media Center KTT Non Blok 1992
- Pemimpin Redaksi Harian Republika/ Direktur Produksi PT Abdi Bangsa, 1993-1997
- Pemimpin Umum Republika, 1997-2000
- Pendiri dan Pemred ”Eart Wire Service” bekerjsama dengan Unesco, 1992-sekarang
- Pendiri/ Ketua Yayasan Dompet Dhuafa, 1993-sekarang
- Pendiri/Komisaris PT Indonesia Media Network, 1995-2000
- Pengurus Yayasan Abdi Bangsa, 1995-2000
- Komisaris Majalah Ummat, 1997-1999
- Komisaris Utama PT ADIL, penerbit tabloid ADIL, 1993-2003
- Pemimpin Umum LKBN ANTARA, 1998-2000
- Penasihat ahli Kapolri bidang komunikasi, 1999-2006
- Talkshow MASter/ Host di Metro TV, TVRI, TV7, Radio Trijaya FM, Radio Suara Metro, 2001-sekarang
- Pendiri PT Digital Ad, 2002-2005
- Direktur Utama RRI, 2005-sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar