Selasa, 09 September 2008

Dari Waiter jadi Presdir

Thosin Setiagunawan,

Ia pernah menjadi waiter (pelayan restoran), namun karena kegigihannya untuk belajar mengantarkannya ke puncak karir sebagai President Director PT Axle Asia. Bagaimana kisahnya?

Jabatan sebagai President Director (Presdir) PT Axle Asia tak ia dapatkan dengan mudah, ada segudang rentetan perjuangan menghiasi karir Thosin Setiagunawan, BA, Dipl, PSA, APAI, CIIB. Keyakinan dan kerja kerasnya membuat dirinya mampu berkibar di dunia bisnis asuransi.

Satu hal yang menjadi motto Thosin, “There is will there is way”. Di mana ada kemauan di sana ada jalan. Itulah yang menggugah lelaki kelahiran Karawang, 30 Desember 1952 ini untuk tetap semangat dalam menjalani karirnya, hingga ia bisa memetik hasil usahanya.

Lelaki yang pernah malang melintang di perusahaan asing ini memang kaya pengalaman. Beberapa perusahaan pernah ia tempati seperti PT Atap Indah sebagai senior account executive, PT Alexindo Arta Jasa sebagai assistant general manager, dan PT Aon Indonesia menjabat sebagai director.

Selama berkecimpung di perusahaan asing, Thosin mendapatkan kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan dan seminar guna menambah wawasannya. Baik itu pelatihan yang digelar di dalam negeri maupun luar negeri. “Alhamdulillah dengan training ini saya mendapatkan ilmu baru yang sangat bermanfaat untuk pengembangan karir saya,” katanya.

Selama berada di Aon Indonesia, bapak dari tiga anak ini awalnya menjabat sebagai wakil general manager selama setahun. Selama menjabat, ia bertugas mengatur bisnis asuransi dalam strategis pengembangan produk usaha. Di mana divisi ini membawahi sebagian besar klien korporasi.

Setahun kemudian, suami Mubarokah ini pun dipercaya menjabat sebagai general manager. Amanah ini berhasil ia jalani selama 5 tahun. Hingga akhirnya Thosin mendapatkna amanah yang lebih besar lagi menjadi direktur perusahaan selama 10 tahun.

Keterlibatan Thosin di perusahaan asing ini cukup memberikan dampak yang signifikan. Pasalnya, ketika diawal masuk income perusahaan hanya kisaran Rp 1 milyar dan jumlah karyawan hanya puluhan orang, “Ketika saya keluar dari perusahaan itu sudah mencapai income Rp 49 milyar, seperti saya membangun axle saat ini. Semua butuh perjuangan,” tegasnya.

Bagi Thosin, integritas dalam menjalankan tugas menjadi hal penting ketika bekerja di sebuah perusahaan. “Kalau kita memiliki kemampuan mereka akan segan dengan kemampuan kita. Kita harus memberikan teladan,” paparnya.

Kini dengan pengalaman yang ia punya, Thosin mencoba membuat langkah baru mendirikan perusahaan broker asuransi bersama teman seprofesinya dengan bendera PT Axle Asia pada 1 April 2008.

Sebagai sosok kawakan di dunia asuransi, Thosin tak ingin berlama-lama menjabat sebagai Presdir, ia ingin memberikan ilmunya kepada partner kerjanya, agar ketika dirinya lengser, perusahaan ini sudah bisa berjalan dengan sistem yang baik. “Saya hanya ingin menikmati 5 tahun saja. Saya senang jika ilmu saya bisa disumbangkan dan disharekan. Saya simple,” ujarnya.

Sebagaimana motivasi dalam hidupnya, “Khoirunna anfaahum linnas” sebaik-baik manusia yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Melihat usianya sudah berkepala lima ini, Thosin ingin berbagi ilmu dan pengalaman kepada yuniornya.

Sesuai namanya, Axle yang memiliki makna poros ini, ke depan akan menjadi poros perusahaan yang terus bergerak dinamis. Bagai mobil tanpa poros tidak akan bisa jalan. Intinya, Axle ini sebagai penggerak bisnis nasabah.

Baru beberapa bulan berjalan, perusahaan ini sudah dilirik oleh perusahaan Malaysia untuk bergabung menanam saham. “Mereka mau menanam saham, artinya bisnis ini profit,” papar lelaki penghobi badminton ini.

Usia memang muda, tapi pengalaman jangan tanya. Baru beberapa bulan berdiri, tapi Axle telah memiliki customer potensial seperti Toyota Rent Car, hotel Obroy Bali, Samator Group, Bluebird, dan lain sebagainya. Kini Axle telah menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan asuransi besar seperti Alliance, Zurich, Sinar Mas, Tugu Pratama, Astra, Lippo, Bintang dan lain-lain. ”Baru lahir sudah memiliki nasabah besar, sebenarnya ini terlalu cepat,” paparnya.

Sebagai perusahaan yang memberikan layanan broker asuransi, sumber daya manusia yang menjalankan bisnis ini dituntut untuk bisa menguasai ilmu tentang asuransi, jaringan kerja yang luas, menguasai manajemen resiko, selain itu juga harus memiliki kualifikasi profesi. ”Kalau tak ada ijazah itu tidak bisa mendirikan perusahaaan ini,” jelasnya.

Anak Petani yang Ngotot Kuliah

Keberhasilan Thosin dalam berkarir tak lepas dari semangatnya mau belajar. Ketika sekolah kurang mendapat perhatian di lingkungan sekitarnya, Thosin justru membuat gebrakan bersekolah dan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sebuah keputusan yang cukup asing saat itu. Pasalnya saat itu, anak berpendidikan tinggi bahkan ke luar negeri menjadi barang langka di desanya.

Semangat untuk merubah keadaaan inilah yang menjadikan Thosin nekat menempuh pilihannya. Meski hanya anak seorang petani tulen, Thosin tetap pada keyakinannya jika manusia mau bersungguh-sungguh niscaya Allah akan memberikan jalan keluarnya.

Orangtuanya yang bekerja sebagai petani sebenarnya tak memiliki impian yang muluk-muluk terhadap anaknya. Mereka hanya ingin anaknya bisa bekerja di sawah sebagaimana petani di desa.

Hati kecil Thosin berontak, melihat pendidikan orangtuanya yang tak lulus sekolah dasar. Bahkan Thosin pernah dilarang untuk sekolah SMP dan justru orangtua mengharapkan dirinya bekerja di sawah, “Sejak awal saya ingin selalu maju, saya harus berbeda di banding orangtua dan saya tidak sanggup jika harus ke sawah setiap hari. Jika melihat orangtua malam hari baru pulang dari sawah,” kisahnya.

Keinginan untuk melanjutkan belajarnya di perguruan tinggi kian menjadi-jadi. Saat itu tahun 1971, Thosin yang mondok di pondok modern Gontor kelas lima memutuskan keluar pondok dan meneruskan ke perguruan tinggi. Setelah mengikuti ujian persamaan, ia pun mendapatkan ijazah sebagai bekal untuk masuk ke Universitas Nahdlatul Ulama jurusan hukum.

“Karena saat itu lingkungan banyak ngaji, sehingga saya mengambil hukumnya, terutama dalam bidang fikihnya. Selama kuliah saya mondok di Al-Muayyad, Solo,” kenang bapak yang pernah memenangkan juara ketiga dalam pertandingan badminton yang digelar Nur Wahid Cup 100 tahun.

Setelah menamatkan kuliah, ada dua tawaran yang cukup menggiurkan yaitu beasiswa belajar di Madinah dan Inggris. Awalnya, ia mengambil beasiswa di Madinah, namun setelah tiga bulan melakukan survei, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil belajar di London School of Foreign Trade jurusan perkapalan di London, Inggris.

Thosin sadar, jurusan yang ia ambil sangat berbeda dengan jurusan ketika kuliah di Indonesia. Ia mengambil perkapalan karena mendapatkan informasi dari salah seorang temannya, bahwa di Indonesia sedang membutuhkan banyak tenaga yang paham tentang perkapalan.

”Memang berat, karena berbeda, untungnya saya terbiasa di Gontor syahirulayali (terjaga di malam hari-red), kalau orang jam 10 malam sudah tidur saya baru jam 4 pagi tidur. Karena pelajarannya sangat berbeda, maka saya harus rajin belajar,” katanya.

Setelah menyelesaikan program diploma tahun 1979, Thosin pun melanjutkan ke jenjang lebih tinggi yakni post graduate diploma di Universitas of Wales Institute of Technology, UK jurusan administrasi perkapalan. Dan tahun 1981, ia mengambil jurusan manajemen perkapalan di Plymouth Polytechnick, UK.

Setelah bekal ilmu tentang perkapalan ia dalami, Thosin pun pulang ke Indonesia dan langsung ditempatkan di perusahaan perkapalan, namun karena hatinya kurang cocok akhirnya ia keluar. ”Akhirnya saya bekerja di swasta tahun 1984 di Sumitomo, perusahan oil company, Jepang.”

Pertama berkecimpung di dunia karir, ia bekerja sebagai sales. Dari tugas ini, ia kerap presentasi produk. Thosin merasa, di perusahaan yang ia tempati kurang memerhatikan pendidikan karyawan, akhirnya ia mengundurkan diri. Tahun 1986, saya mengundurkan diri dan bergabung di perusahaan asurasni PT Atap Indah sebagai assistent account executive, lalu berkembang ke PT Alexindo Arta Jasa sebagai assistant general manager, dan PT Aon Indonesia menjabat sebagai direktur.

Di perusahaan milik Amerika ini perhatian terhadap pendidikan karyawan mutlak, sehingga meski sudah bekerja tapi peluang untuk belajar sangat terbuka. Misalnya mengikuti beberapa training di Singapura, Hongkong, dan lain sebagainya.

Menjaid Waiter di Restoran

Hidup di negeri orang jelas berbeda dengan negeri sendiri. Biaya hidup yang cukup tinggi di London di banding tanah kelahiran Thosin membuatnya memutar otak untuk mendapatkan income sebagai tambahan biaya hidup di London.

Keputusan Thosin akhirnya jatuh pada pilihan bekerja menjadi pelayan (waiter) di sebuah restoran milik orang Yahudi. Lumayan, berkat kerja kerasnya, ia bisa menutupi kebutuhan setiap bulannya. Apalagi setelah pemilik restoran memberikan perhatian khusus kepada dirinya.

Perhatian itu muncul ketika dirinya melakukan shalat Maghrib setelah melakukan buka puasa di bulan ramadhan. Saat itu, bosnya melihat dirinya sedang menjalankan shalat. Bagi si bos, waktu adalah uang, dan shalat sebagai pekerjaan yang hanya membuang-buang waktu saja. “Saya dimarahi. Time is money,” sambil menirukan bosnya.

Sebagai seorang Muslim, dirinya ingin menjadi Muslim yang taat, salah satunya dengan menjalankan shalat lima waktu. Setelah mendapatkan teguran keras dari si bos, Thosin pun menjelaskan kepada bosnya, bahwa dirinya sedang berdoa untuk kelancaran usaha restoran ini. “Saya puasa, saya berdoa untuk restoran anda agar ramai, jika Allah mau pasti tidak sulit. Akhirnya tanpa disangka dalam setengah bulan kenaikan luar biasa,” kisahnya.

Setelah itu terjadi kenaikan omset yang luar biasa, Thosin pun mendapatkan perhatian khusus. Bahkan setiap bulan gaji yang ia terima lebih banyak, yakni 2100 ponseling. Selain itu ia juga mendapatkan uang untuk melunasi bulanan kuliah. “Kalau tidak dididik di pondok, saya ndak tahu jadi apa di London. Alhamdulillah saya merasaakn manfaatnya,” paparnya.

5 Tahun Nyantri di Gontor

Thosin kecil adalah anak yang suka berantem dengan teman sebayanya. Karena melihat kenakalan anaknya ini, orangtuanya memondokkannya di pesantren modern Darussalam, Gontor. “Mungkin orangtua melihat kenakalan saya menjadi kuatir, akhirnya saya dipondokkan,” kisahnya.

Meski nakal, Thosin memiliki kemampuan di atas rata-rata, tak heran jika selama belajar di Gontor dirinya selalu mendapat peringkat lima besar di kelasnya. Satu hal yang menjadi kendala Thosin, yaitu masalah makanan.

Thosin mengakui suka makan ketika masih kecil. Tak jarang, ia keluar pondok untuk sekedar mencari makanan di perkampungan. Bahkan karena masalah makanan inilah yang memicu dirinya keluar pondok dan melanjutkan kuliah.

Selama di pondok, ia merasa teringat dengan wejangan-wejangan almarhum KH Imam Zarkasyi. Salah satu wejangannya adalah tentang menciptakan lapangan pekerjaan yang baik. ”Beliau ulama yang kharismatik, menatap wajah beliau saja sungkan. Beliau sangat sederhana,” kenangnya.

Kyai Zarkasyi sosok yang berhasil mendidik anak-anaknya. Meski dirinya tidak tamat dari Gontor namun ia mengagumi sosoknya yang sederhana dan bersahaja. ”Saya tidak tamat, saya tetap bangga menjadi bagian keluarga besar di Gontor,” ujarnya.[]

Tidak ada komentar: