Tips Rambut SehatKuallea tallangga na towalia (lebih baik tenggelam daripada kembali). Demikian tekad para pelaut Makassar. Sekali layar terkembang pantang kembali pulang sebelum tujuan tercapai.
Meski bukan seorang pelaut, H Mamink Daeng Tata mewarisi tekad yang sama. Sekali mengin-jakkan kakinya di Jakarta, ia pantang pulang sebelum sukses sebagai seorang pengusaha.
Tahun 1993, Mamink membuka warung kaki lima di Jl Prof Supomo, Jakarta Selatan. Di situ ia menjajakan makanan khas Makassar, sop konro. Menurut pengakuannya, ide membuka warung ini karena tergelitik oleh maraknya restoran asing cepat saji di Jakarta. "Dengan resep dari luar, mereka bisa sukses di sini. Padahal, kita banyak mempunyai resep makanan dari berbagai daerah yang kaya rasa. Karena itulah saya mencoba menjajakan sop konro untuk lidah orang Jakarta," kata Mamink kepada Majalah Gontor.
Untuk itu Mamink meninggalkan usaha lamanya sebagai agen penjualan rumah di Jakarta yang ia rintis sejak tahun 1989. Bermodal Rp 5 juta, ia membuka warung kaki lima di areal seluas 5x8 meter persegi. Mamink, yang lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Makassar, itu memang bertekad sukses di Jakarta dan tak berniat kembali ke Makassar. Bersama sang istri, Hj Hermina, dan tiga anaknya --Molice G Amin, Kristin Putri Amin, dan Haris Amin-- ia bertekad menaklukkan Jakarta dengan sop konro.
Tekadnya bukan omong kosong. Ia gigih bertahan dengan bisnis sop konro di pinggir jalan, meski ayahnya tak setuju --sang ayah ingin Mamink meneruskan bisnis bahan bakar minyak (BBM) milik keluarga. Sebagai seorang anak, dia tidak pernah memiliki keinginan melawan keinginan orangtua yang tidak setuju dengan pilihan bisnisnya itu. Mamink berprinsip, apapun usaha akan ia jalankan asalkan halal. "Ketika itu ayah mengancam akan membakar warung yang saya bangun. Namun, saya bertekad untuk bertahan di Jakarta. Bisnis SPBU itu saya minta untuk dikelola adik-adik saja," ujarnya.
Dalam diri Mamink memang mengalir darah pebisnis. Karena itu insting bisnis Mamink cukup tajam. Warung kaki limanya banyak disapa pembeli. Bahkan, kini warung Mamink sangat favorit di kalangan eksekutif dan selebritis. Meski para penikmat warungnya itu tak semuanya orang Makassar. "Orang Makassar yang makan di sini 15 sampai 20 persen saja. Sisanya ya orang Jakarta yang beragam ini," kata pria kelahiran Makassar, 6 Juni 1956.
Jumlah pelanggan warung Mamink kian bertambah sehingga pada tahun 1996, ia mengubah warung kaki limanya menjadi rumah makan di Jl KH Abdullah Syafiie. Bahkan untuk mewujudkan impiannya itu, Mamink merelakan mobilnya dijual sebagai modal membangun warung. Keputusan yang diambilnya tak salah, restorannya terus berkembang sehingga mendorong lelaki ini untuk melakukan ekspansi lebih luas lagi. Pada tahun 1998 dibukalah cabang kedua di Jl Tebet Utara I, dan tahun 2001 dibuka cabang ketiga di Casablanca. Dan yang paling baru adalah cabang keempat di Jl Panjang.
Menurutnya, selain mempertahankan rasa yang khas rempah-rempah, kunci sukses Mamink dalam bisnis adalah silaturahmi. Karena itulah Mamink selalu menjalin silaturahmi dengan para pelanggannya. "Silaturahmi harus terjaga dengan baik," paparnya.
Rasulullah sendiri, kata Mamink, telah mengajarkan kepada umatnya untuk memperbanyak hubungan silaturahmi. Karena bisnis ini pada dasarnya menjalin komunikasi antara penjual dengan pembeli, "Hubungan silaturahmi ini harus tetap dipertahankan guna melanggengkan usaha ini," lanjutnya.
Mamink biasanya menjalin silaturahmi dengan para pelanggannya melalui pesan layanan singkat (SMS). Ia biasa mengirim SMS kepada para pelanggan yang lama tak berkunjung ke rumah makannya. Isi SMS sekadar menanyakan kabar sang pelanggan serta doa semoga sehat dan sukses dalam bekerja.
Kesederhanaan, begitulah ciri dan gaya pelayanan di warung Mamink. Keramahan gaya Makassar terus mengalir ketika ia menyambut para pelanggannya. Mamink tak segan-segan mengantar para pelanggannya hingga ke pintu mobil.
Keramahan Mamink bukan hanya kepada pelanggan, tetapi juga kepada pegawai yang berjumlah 185 orang. Bentuknya adalah insentif yang relatif besar bagi pegawai, terutama jika warung yang dibukanya sukses mendatangkan pelanggan. "Untuk kesejahteraan pegawai, saya mencontoh warung Padang. Keuntungan warung juga milik pegawai yang harus dibagi secara adil," ujarnya.
Selain itu, Mamink mencoba menerapkan dalam dirinya sendiri untuk berbisnis dengan dasar ketulusan, keikhlasan dan khalas. "Khalas artinya selesai atau yang sudah ya sudah, sebab rezeki itu yang mengatur Allah SWT," paparnya.
"Apa yang telah diajarkan oleh Islam, saya coba lakukan. Misalnya mengeluarkan zakat minimal 2.5 persen dari penghasilan," sambungnya. Zakat, kata Mamink, jika tidak dikeluarkan, sama saja dengan merampas hak mereka yang membutuhkan.
500 kilogram iga sapi
Latar belakang Mamink menciptakan resep "Tata Ribs" adalah kekhawatirannya atas bahan baku sop konro yang semakin sulit didapat. Seekor sapi hanya cukup untuk 16 porsi. Karena itu, untuk memenuhi bahan baku rusuk atau iga sapi untuk sop konro di empat warungnya, ia membutuhkan 500 kilogram iga sapi setiap hari. Menurutnya, setiap rusuk sebenarnya bisa dipotong menjadi dua bagian. Namun, tindakan itu menuai protes para pelanggan. Pasalnya, konro yang asli harus memiliki pangkal rusuk atau tulang punggung. Akhirnya, dia meramu bumbu untuk memanggang ujung rusuk yang ditolak oleh para penikmat sop konro dan mendaftarkan hak paten resepnya dengan nama "Tata Ribs". "Mungkin orang mengibaratkan 'Tata Ribs' seperti makan steak di restoran Amerika atau Eropa. Bedanya adalah rasa "Tata Ribs" ini lebih cocok dengan lidah kita dan terasa lebih sehat dengan bumbu tradisional yang segar," ujarnya.n rozi
Ancaman Sang Ayah
Awal berbisnis, Mamink ditentang sang ayah, H Abdul Rahim. Pasalnya, ia membuka warung tenda sop konro di pinggiran jalan. Sang ayah yang memiliki empat stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Makassar, tak rela jika anaknya berjualan di warung tenda di pinggir jalan.
Saking jengkelnya, sang ayah pernah mengancam akan membakar tenda tempat Mamink berjualan sop konro. Tapi, ancaman ini tak menyurutkan langkah Mamink untuk tetap menjajakan sop konro, makanan khas Makassar. Berkat kesabaran dan keuletannya, Mamink meraih sukses. "Tantangan terberat datang dari ayah yang awalnya tidak setuju dengan bisnis yang saya rintis," ujarnya. [] roji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar