Rabu, 13 Februari 2008

Menguji Kekuatan Bank Syariah

Harisman
Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia

Maraknya industri lembaga keuangan syariah, terutama bank syariah menyita perhatian Bank Indonesia untuk memberikan ruang kepada lembaga Islam ini maju dan berkembang.


Tak heran, jika kemudian BI membuka direktorat khusus yang menangani permasalah yang ada di bank syariah dengan nama Direktorat Perbankan Syariah BI. Sebuah langkah maju yang dilakukan BI. Namun bagaimana perjalanan direktorat ini memaksimalkan fungsinya memberikan ruang kepada perbankan syariah untuk berkembang?

Berikut petikan wawancara yang dilakukan Fathurrozi NK, Sofyan Badrie dan Tata Septayuda dengan Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Harisman di kantornya.


Bagaimana fenomena perbankan syariah saat ini?

Perkembangan bank syariah dimulai sejak tahun 1992, dengan adanya UU perbankan, yang membolehkan beroperasinya perbankan bagi hasil. Model dua sistem perbankan ini sudah dimulai sejak saat itu. Sejak saat itu pula sistem perbankan kita sudah menganut dua sistem, yaitu konvensional dan syariah. Untuk bank umumnya sudah berdiri tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kemudian disusul dengan beberapa BPR Syariah. Dari kurun waktu 1992 hingga 1998 akhir, sudah pula berdiri antara 72 hingga 75 BPR Syariah. Sementara bank umum-syariahnya hanya satu, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Kemudian, dengan adanya amandemen UU No. 10 tahun 1998 tentang dua sistem perbankan itu, semakin mempertegas keberadaan sistem dua perbankan, yaitu tidak lagi disebut bank bagi hasil tapi langsung disebut bak syariah. Lalu, bank-bank konvensional, terutama bank umum konvensional, boleh membuka kantor-kantor cabang syariah, yang dimulai dari unit syariah di kantornya masing-masing. Dulu, hal semacam ini tidak dibolehkan. Baru pada tahun 1998 dibolehkan. Nah, sejak tahun 1999, kita lebih serius lagi dalam mengembangkan perbankan syariah, baik dari UU perbankannya maupun dari UU Bank Indonesia (BI)-nya . BI, dari sejak tahun 1999 mengamanatkan kita untuk lebih serius lagi menangani dan mengembangkan bank syariah. Sebab saat itu belum ada unit khusus yang menanganinya. Pada tahun 1999 hanya ada semacam seksi atau tim yang baru mengadakan penelitian dan pengembangan bank syariah di BI.

Baru pada akhir Mei 2001, yang mulanya hanya berbentuk tim, kemudian berubah menjadi biro perbankan syariah. Di biro perbankan syariah ini, kita diberi tugas mulai dari aspek regulasinya, pengawasannya, perizinannya, dan pengembangan bank syariah. Pada waktu itu sudah ada 2 bank umum syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, dan ditambah 84 BPR Syariah. Selanjutnya, biro perbankan syariah ini ditingkatkan statusnya menjadi direktorat. Tugasnya tidak hanya mengawasi bank umum yang syariah penuh, dan BPR Syariah yang penuh, tapi juga menangani bank-bank umum yang membuka kantor cabang syariah. Misalnya, seperti BNI, Bank Danamon, BRI Syariah.


Bagaimana proses perubahan dari biro ke direktorat ini? Bisa diceritakan?

Ya, tentu saja dengan adanya perubahan ini, pekerjaannya juga makin kompleks karena banyak yang ditangani. Sebab pengaturannya dari 1992 hingga 1998 masih menggunakan peraturan yang konvensional. Kondisi demikian ternyata membuat tidak nyambung di syariah, karenanya banyak yang harus dibuat sendiri. Misalnya, soal gironya, klering sistemnya, bargaining rekening kleringnya, juga pengaturan kelembagaannya. Akhirnya kita berusaha dan berupaya agar pengaturannya dibuat terpisah antara bank konvensional dan syariah. Hal ini agar lebih jelas panduannya bagi bank-bank syariah dalam beroperasinya. Load yang besar, diperlukan personalia yang besar pula. Misalnya, saat masih menjadi biro perbankan syariah, personel yang menanganinya hanya 30 orang saja. Idealnya, sebuah direktorat itu memiliki 60 orang personel.


Saat ini berapa personel di direktorat ini?

Sekitar 45 orang.


Apa sebenarnya tugas utama direktorat ini?

Tugasnya menyangkut hal tentang pengaturan, perizinan, dan pengawasan. Dalam UU disebutkan selama setahun sekali kita melakukan pemeriksaan. Kalau pengawasannya dibagi menjadi dua, yaitu pengawasan tidak langsung dan pengawasan langsung. Tugas lainnya adalah melakukan penelitian dan pengembangan. Selain itu, kita juga harus melakukan sosialisasi, dan hal ini yang masih kurang maksimal.


Bagaimana bentuk sosialisasinya?

Mulanya, kita bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia, baik di pusat maupun didaerah-daerah. Namun bukan hanya itu saja, kita juga mengundang tokoh masyarakat, akademisi, birokrat, pengusaha dan lain sebagainya. Kita juga mengundang KH Ma’ruf Amin, untuk memperbincangkan masalah masa depan perbankan syariah berikut aspek hukum Islamnya serta peran dan kiprah Dewan Syariah Nasional. Bahkan kita juga mengundang pihak bank untuk mensosialisasikan produk-produknya. Hal lain, kita juga turut berpartisasipasi dalam training-training, seminar-seminar yang dilakukan pihak perbankan maupun perguruan tinggi. Pada kurun waktu 2001 hingga 2004, tidak kurang setiap tahunnya, ada 70 hingga 100 perguruan tinggi yang kita rambah. Tentunya kita sebagai pembicara pada acara-acara tersebut.


Seberapa besar share dari perbankan syariah ini?

Akhir tahun 1999, pangsa pasar bank syariah baru mencapai 0,1%, bahkan kurang dari itu, yaitu 0,06%. Jadi total aktiva dari perbankan syariah pada waktu itu 0,06%. Berarti kurang dari 1 per-mil dari perbankan syariah nasional. Total aktiva sebesar 1,1 trilyun pada waktu itu. Dana pihak ketiganya kira-kira masing-masing setengah trilyun dengan pembiayaannya. Nah, saat ini, posisi Agustus, total asetnya 12,12 trilyun. Itu lebih dari 1%. Kemudian pembiayaan dana pihak ketiganya masing-masing sebesar 9,54%. Kemudian 9,40% depositonya atau tabungan dana pihak ketiga yang dihimpun. Alhamdulillah, kita sudah mencapai aset 1,01%. Pembiayaannya 1,74%, depositonya atau dana pihak ketiganya 0,84%. Yang dimaksud pihak ketiga itu adalah tabungan, deposito dan giro.


Melihat angka-angka tersebut, berarti cukup besar peningkatannya?

Ya, alhamdulillah cukup besar. 10 kali lipat dari akhir Desember – Agustus 2004. Bahkan kalau kita lihat angka di bulan Desember 2003, pertumbuhannya antara 70% - 90%. Aktivanya, 7,94%, pembiayaannya 69%, depositonya 96% pada 2003. Nah, pada 2004, hingga bulan Agustus sudah di atas 50%.


Seberapa besar kontirbusi perbankan syariah ini pada proses recovery ekonomi Indonesia?

Karena perbankan syariah ini masih relatif baru, tentu saja masih kecil kontribusinya. Tapi dari segi pertumbuhannya besar. Dan saya kira prospeknya cukup baik. Namun lebih daripada itu, tentu harus ada komitmen antara stake holder. Misalnya, antara kita, sebagai regulator, pemain dan bank-banknya sendiri harus mengelola perbankan syariah dengan baik. Contohnya, memberi pelayanan yang baik dalam menawarkan produk yang tidak saja inovatif melainkan juga baik. halalan thoyyiban. Begitu juga pemiliknya, harus punya komitmen yang baik. Selain itu, masyarakatnya juga dituntut memiliki komitmen penuh agar perbankan syariah ini dapat berkembang dengan lebih baik lagi.


Bagaimana Anda menilai kesadaran masyarakat untuk menabun dan berinvestasi di perbankan syariah?

Semakin baik. Namun demikian, sebagian masih banyak yang masih berpendapat bahwa tidak adanya bedanya antara bank konvensional dengan bank syariah. Padahal sesungguhnya dari segi sistemnya saja sudah berbeda. Misalnya, kita perlu kendaraan bermotor dan kita datang ke bank syariah. Memang bukan duit cash yang kita peroleh, melainkan kendaraan bermotornya, yang dibelikan oleh pihak perbankan. Atau perbedaannya, kalau bank konvensional itu menggunakan bunga, sementara bank syariah menggunakan sistem bagi hasil.


Apakah ini berarti kesadaran masyarakat masih kurang?

Ini yang tentu masih menjadi pemikiran kita. Karena itu perlu lebih digalakkan masalah sosialisasi ini. Misalnya, lewat bantuan kaum agamawan di berbagai forum atau majelis. Atau di berbagai khutbah Jumat, perlu juga disosialisasikan mengenai perbankan syariah maupun haramnya riba. Selain itu, pihak perbankan syariah sendiri mampu membuktikan dirinya tidak semata halal namun juga baik dan bisa menghasilkan return yang baik pula. Disamping itu, dapat memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memudahkan masyarakat pengguna jasa perbankan syariah ini. Sebagai langkah sosialisasi itu pula, pihak BI juga mendirikan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), yang resmi berdirinya pada awal 2004. Kantornya, berlokasi di gedung Artha Loka, Jakarta Pusat. Kita menyewa gedung di sana.


Bagaimana pengaruh fatwa MUI mengenai haramnya bunga bank ini? Apakah hal itu berdampak positif bagi perbankan syariah?

Memang fatwa tersebut dapat diketahui khalayak masyarakat. Masyarakat banyak mengetahuinya. Tetapi hanya sebatas tahu saja, tidak lebih daripada itu. Kita melakukan penelitian tentang pengaruh fatwa MUI tersebut. Hasilnya, di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, masyarakat di sana mengetahui fatwa haram MUI itu, tapi mereka juga tidak melakukan apa-apa dan tidak ngapa-ngapain setelah itu. Sebagaian besar responden, 80% tidak melakukan apa-apa.


Menurut Anda, apa sebenarnya kelemahan perbankan syariah ini?

Pemainnya masih sedikit, sehingga penetrasi pasarnya juga enggak banyak. Itu yang pertama. Kedua, pengetahuan masyarakat tentang perbankan syariah masih kurang. Ini juga berpengaruh pada tingkat keyakinan masyarakat terhadap bank-bank syariah.


Lalu, bagaimana dengan UU perbankan syariah?

Pada 2003 sebenarnya sudah disosialisasikan mengenai draft UU perbankan syariah. Sebetulnya draftnya sudah siap, tinggal kita serahkan ke DPR RI. Tetapi nampaknya, pemerintah menghendaki ada dulu amandemen soal perbankan, baru setelah itu soal perbankan syariah.


Apa keuntungan adanya UU Perbankan Syariah?

Ada kejelasan dan kepastian hukumnya.


Ada enggak saat ini bankir syariah yang nakal?

Mudah-mudahan enggak ada. Dan kita berharap memang enggak ada. Karena hal ini menyangkut citra dan image perbankan syariah.


Kapan Bapak memulai karir ?

Setelah saya tamat dari fakultas Ekonomi UGM, saya bekerja di BI pada November 1979. awalnya saya di Urusan Kredit Kecil Koperasi. Enam tahun kemudian, saya mendapat tugas belajar ke AS, persisnya di William College tahun 1985-1986, saat itu saya mengambil jurusan Ekonomi Pembangunan. Kemudian saya kembali bekerja di BI dan ditempatkan di Urusan Ekonomi Statistik pada kurun waktu 1986-1994, setelah itu saya menjadi kepala kantor BI yang ada di Kuala Lumpur hingga 1997, yang saat ini kantor BI di Kuala Lumpur ditiadakan.


Apa aktifitas yang sering dilakukan Bapak saat di Malaysia?

Selama di Malaysia, selain menjalankan tugas saya dari BI, saya juga mendalami perbankan syariah. Sebenarnya sejak Bank Muamalat berdiri pada 1992, saya sudah mulai tertarik dengan perbankan berbasis Islam ini. Saya mempelajari ketentuan-ketentuan perbankan syariah yang dikembangkan di negeri Jiran itu, di mana telah diterapkan dual bangking system yakni konvensional dan syariah. Sekaligus melihat praktiknya dan mempelajari laporan-laporan dari Bank Negara Malaysia atau bank sentralnya Malaysia. Begitu juga berdiskusi dengan para praktisi perbankan syariah di sana. Saya juga membuat makalah tentang perbankan syariah, sekaligus sebagai laporan kantor perwakilan BI di Kuala Lumpur kepada kantor pusat. Sayang meski respon teman-temandi BI cukup bagus, namun makalah-makalah yang saya buat itu hanya seperti buku pajangan saja.


Bagaimana kelanjutannya dalam menyamapaikan ide-ide itu?

Alhamdulillah, saat itu ada bapak Subarjo Joyosumarto yaitu Deputi Gubernur BI waktu itu. Dari beliaulah, ide-ide dalam hal pengembangan perbankan syariah ditangkap. Kemudian, beliau mengumpulkan sejumlah unsur yang mendukung pengembangan perbankan syariah.


Apa kemudian yang terbentuk dari kelompok itu?

Akhirnya, pada tahun akhir 1998 terbentuklah tim kecil untuk mengembangkan perbankan syariah. Tim ini sejak awal 1999, berubah menjadi tim Pengembangan Perkembangan Syariah yang ditempatkan di bawah wewenang saya. Selepas tugas dari Malaysia saya ditempatkan sebagai orang kedua di Urusan dan Pengembangan Penelitian dan Pengaturan perbankan. Tim inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Biro Perbankan Syariah yang saat itu dipimpin oleh Hatief Hadikoesoemo. Di samping itu, pada awal 1998 dibentuk pula Komite Ahli Pengembangan Syariah yang diketuai oleh Prof KH Alie Yafie, dengan sekretarias Syafi'i Antonio, komite ini melibatkan sejumlah ahli syariah, hukum positif, ekonomi konvensional dan ekonomi syariah.


Apa kontribusi dari tim tersebut dalam pengembangan perbankan syariah?

Kebetualan saat itu ada pembahasan mengenai amandemen UU Perbankan 1992. cukup banyak kontribusi dari tim ini pada amandemen UU Perbankan 1992 menjadi UU Perbankan 1998. UU amandemen ini memang sudah jelas, antara lain dalam hal penyebutan tidak lagi hanya sekadar bank dengan sistem bagi hasil, namun sudah disebut sebagai bank syariah.

Rasional dan Spritualis

Rupanya Harisman, tak hanya memperkenalkan ekonomi syariah untuk masyarakat. Ia juga konsen soal ekonomi syariah pada keluarganya. Menerapkan ekonomi syariah tentu harus memperkokoh basis agamanya dulu. "Tauhid harus diperkuat. Harus percaya betul kita ini diciptakan, diatur oleh Allah Swt. Hidup ini sementara dan pasti ada akhirnya," tuturnya.

Harisman mengungkapkan, kelak Allah akan menanyakan kepada manusia setidaknya dalam empat hal, yakni umur, badan kita, ilmu dan harta kita. Khusus harta, lanjutnya, kita akan ditanya dari mana dan bagaimana memperoleh dan menggunakannya. Kalau disimpan, di mana menyimpannya, kalau digunakan bagaimana pula menggunakannya. Karena harta menjadi cobaan terberat bagi umat akhir zaman yang dapat membuat lupa kepada Allah.

Bersama istrinya, Novirida, Harisman konsisten menyampaikan hal ini pada anak-anaknya. Maka tak heran bila ketiga anak lelakinya, Muhammad Rushdi (21) yang kuliah di Universitas Pelita Harapan, Willy Ahmad (18) di Teknik Industri UI, dan Ahmad Hadiwijaya di SMA Negeri 28, Jakarta, senantiasa menjalani prinsip syariah dalam kesehariannya.

"Totalitas itu tak lain merupakan refleksi kedekatan kita kepada Allah. Setidaknya lima kali dalam sehari kita bermunajat kepada Allah, mengharapkan hidayah dan bimbingan-Nya untuk menjalani hidup ini," tuturnya.

Bagi Harisman, dalam menjalani hidup ini, di satu sisi kita harus sangat rasionalis, berupaya semaksimal mungkin menggapai kehidupan, seolah kita hidup selamanya. Sebab dalam Qur'an telah dijelaskan "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, tanpa upaya upaya kaum itu sendiri". Namun, tambahnya, rasionalis yang kebablasan akan berujung pada kesombongan. Karena itu harus diimbangi dengan spiritualitas, untuk mengerem rasionalitas agar tidak sombong. "Kita tidak dapat berbuat sesuatu tanpa izin Allah. Bahkan mengedipkan mata pun tidak akan bisa kita lakukan, tanpa perkenan Allah. Maka, yakini Allah sangat dekat dengan kita," jelasnya.

Karenanya, cara hidup rasional dan spritualis ini, kata Harisman harus ada dalam proporsi keseimbangan. Sudah selayaknya pula, cara hidup ini juga menjadi cara hidup para pelaku bisnis perbankan syariah. Mereka harus mempu memberikaan pelayanan prima dan menelurkan produk yang setaraf bahkan melebihi produk perbankan konvensional. Namun, harus tetap mempertahankan ciri-ciri perbankan yang adil, membawa maslahat kepada umat, dan mengakomodasikan etika lainnya.

Nama : Harisman Sidi

Tempat/Tgl/Lahir : Baturaja, 25 Oktober 1952

Pendidikan : Fakultas Ekonomi, UGM Yogyakarta

Center of Dev'ment., Williams College, USA

Istri : Novirida

Anak : Muhammad Rushdi (21), Willy Ahmad (18), Ahmad Hadiwijaya (15)

Pekerjaan pada Bank Indonesia :

(1979-85) Urusan Kredit Kecil dan Koperasi, (1985-86) Human Resource Dept (HRD), (1986-1994) Urusan ekonomi dan Statistik, 1994-1997 Kepala Kantor perwakilan BI di Kuala Lumpur, (2003-sekarang) Direktur Bank Syariah BI.

Tidak ada komentar: