Jumat, 08 Februari 2008

Juragan Batik Perada


Salwa Alwi Shahab

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Itulah filosofi yang dipegang oleh Salwa Alwi Shahab (49), dalam menekuni usaha perada di atas kain batik ini. Meski skala produksinya relatif kecil, namun produknya diminati oleh konsumen lokal dan manca negara.

Sejak kecil, Salwa telah mengenal batik dari orangtuanya yang membuka usaha batik kecil-kecilan di kota Solo. Saat itu, wanita kelahiran Palembang ini sekolah di Solo (Jawa Tengah). Dari kota Solo inilah sedikit demi sedikit Salwa mempelajari seni membatik dan mengenal beragam jenis batik. “Sejak sekolah saya suka menjahit dan melihat produk-produk batik,” ungkapnya kepada majalah Gontor.

Setelah lulus Muallimat, Salwa kembali ke kampung halamannya, Palembang. Saat itu, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi pengusaha batik. Apalagi setelah ia menikah dengan Alwi Shihab. Hari-harinya praktis dihabiskan untuk membantu suaminya berdagang kain di Palembang.

Hingga tahun 1984, Salwa bersama suaminya hijrah ke Jakarta dan berdagang baju-baju konfeksi di Tanah Abang. Salwa pun mulai sadar, bahwa pakaian batik perada banyak digemari oleh masyarakat. Maka ia pun mencoba berdagang batik perada.

Saat itu, Salwa tidak terlibat langsung dalam pembuatan batiknya, karena seluruh produksinya dikerjakan di Palembang, ia hanya mencarikan kain sebagai bahan dasar dan menjual batik perada yang sudah jadi ke Jakarta.

Ternyata, batik perada ala Palembang cukup laris di Jakarta. Akhirnya, Salwa memutuskan untuk pembuatan batik perada di Jakarta. ”Kalau bisa dikerjakan di Jakarta, mengapa harus bolak-balik, kan tidak efisien,” ungkapnya.

Maka pada 1995, bersama suaminya, ia mulai merintis pembuatan batik perada ala kota Pempek. Awalnya, untuk memproduksi batik perada ini, ia hanya dibantu tiga pengrajin dari kampung halamannya, Palembang.

“Modal kami bisa dibilang adalah modal kepercayaan. Kepercayaan orang atau langganan, itu lebih besar daripada uang.” kilah Salwa ketika ditanyakan besarnya modal. Lanjutnya, “ Yang jelas kami bisa mengambil bahan dari pedagang dengan bon, setelah selesai dikerjakan kami setor kembali pada mereka.”

Sungguhpun begitu tidak berarti kalau usaha mereka tanpa banyak kesulitan. Sebab ternyata hasil produksinya tidak sebaik yang mereka harapkan. Akibatnya pedagang tempat mereka mengambil bahan baku tidak mau menerima kembali sehingga akhirnya terpaksa dijual murah.

Meski pengalaman yang ia punya cukup banyak, namun ia tidak segan untuk belajar memilih motif yang pas, memberi perekat, sampai mengoleskan gliter pada kain tersebut. Salwa pun melakukan sejumlah inovasi agar produk yang dihasilkan berkualitas bagus dan efisien.

Untuk blend, misalnya, awalnya mereka beli jadi, tapi hasilnya tidak memuaskan. Maka, Alwi pun mencoba meramu sendiri bahan perekat itu. Sementara untuk gliter-nya tidak dibuat sendiri karena bahan itu masih diimpor dari Jepang. Selama ini, Salwa biasa membeli gliter yang sudah jadi di toko-toko kimia. Bahan bakunya juga dari bahan batik yang sudah jadi. Berbagai merek bisa dipakai, misalnya Danar Hadi, Daun Dewa, dan kain panjang Cap Jago. Bahan dasarnya pun bisa dari kain katun, satin, santung, safir, beludru, dan sutera asli. ”Untuk sementara begitu dulu. Karena, kalau pakai merek sendiri, bisa-bisa para pedagang tidak mau beli,” katanya.

Untuk memasarkan produknya, Salwa cukup mengalami kesulitan dalam hal transportasi dari Depok ke tanah Abang, karena harus naik angkot sampai tiga kali. “Pernah saya membawa dagangan sendirian. Barang dagangan saya tarik atau seret sendiri, tidak menyuruh kuli karena penjualan tidak menutup biaya,” ujar Salwa mengisahkan.

Setelah berbagai kesulitan dan kegagalan selama hampir satu tahun nyaris membuat Salwa patah-arang. “Sambil terus berdo’a kami tetap berusaha mengerjakan, juga karena dorongan dari suami saya. Dia tidak mau ganti usaha sebab berganti usaha artinya malah bakal butuh modal baru lagi.” kenang wanita yang pernah mengenyam pendidikan Mualimat Yogjakarta ini.

“Alhamdulillah, sekarang lebih enak lagi. Bila kita butuh bahan, terutama bahan dengan motif-motif yang baru, tinggal telpon maka segera dikirim. Bahkan kadang barang belum jadi sudah ada yang memesan,” papar ibu beranak satu ini.

Kini, tenaga pengrajinnya berjumlah 10 karyawan tetap dan bekerja dirumahnya, dan tenaga pengrajin sebagai karyawan tidak tetap berjumlah 250 orang. semuanya adalah warga sekitar, bahkan 90 % adalah para ibu rumah tangga. Mereka menyelesaikan pekerjaannya di rumah masing-masing. “Jadi mereka dapat mengurus rumah tangga sambil tetap bekerja sebagai sambilan.” terang Salwa.

Batik buatan Salwa memang digemari karena keunikannya. Sebab, dibanding dengan batik perada umumnya di jual di Jawa, produk Salwa agak berbeda, terutama pada garis-garis ornamen yang timbul pada kain batik, sedangkan produk sejenisnya tidak. ”Saya mengambil ciri khas batik perada Palembang (Sumatera Selatan),” katanya. Jadi, meski tidak menggunakan merek tertentu, konsumen bisa mengenali produk buatan Salwa dari konturnya yang timbul.

Membuat batik perada memang tidak rumit, sebab perada berarti teknik menghias kembali kain batik yang sudah jadi dengan glatir (semacam bubuk). Batik bercorak bunga, misalnya. Pada garis tepi ornamen bunga tersebut diberi cairan blend, kemudian setelah cairan itu kering diberi lapisan warna dengan menggunakan glatir. Biasanya, lapisan warna itu beragam, misalnya emas, perak, putih, kuning, merah, dan sebagainya. ”Tapi yang paling laku dan banyak peminatnya yakni yang berwarna emas dan perak,” ujarnya.

Menurut Salwa, batik tidak hanya digemari oleh orang Indonesia saja, sejak lama salah satu kain tradisionla Nusantara ini memiliki banyak penggemar dari berbagai manca negara. Banyaknya batik kian mendorongnya untuk menekuni bisnis ini.

Saat ini, usaha batik peradanya ini selain rutin menyuplai pasar Tanah Abang, Jakarta, ia juga menerima pesanan dari Thailand dan Vietnam. “Pemasaran sudah ke manca negara tapi tidak langsung, melainkan melalui broker-broker yang ada di pasar Tanah Abang,” ungkap ibu yang juga sebagai ketua bidang perdagangan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Depok ini.

Untuk mengenalkan produk-produknya, Salwa juga menggelar pameran di dua kota di Vietnam, Hanoi serta Ho Chi Min City pada tahun 2004. bahkan tahun ini, Salwa juga akan mengikuti Indonesian Exhibition di Expo Center Sharja, Arab Saudi. “Ini untuk lebih mengenlakan batik nusantra kepada negara lain,” ujarnya.

Kini, batik perada yang ia kelola menjadi salah satu produk unggulan kota Depok. Tak heran jika Salwa mendapatkan penghargaan dari pemerintah kota Depok dan Bandung sebagai ibu pembangunan. Pasalnya, Salwa telah berhasil memberikan lapangan pekerjaan bagi tetangga sekitarnya.

Memberdayakan Warga Sekitar

Setiap pagi, rumah Salwa di wilayah Sawangan, Depok selalu ramai dipadati para pengrajin yang mayoritas ibu-ibu dari daerah sekitar. Mereka datang untuk menyetor hasil garapannya dan mengambil jatah kain batik untuk diberi perada.

Kebanyakan mereka adalah istri tukang ojek dan caddy di lapangan golf. Setiap orang, biasanya mendapatkan dua hingga tiga potong kain panjang. Pengrajin dibayar Rp 60 ribu hingga Rp 100 ribu perminggunya. Sedangkan untuk para karyawan tetapnya digaji Rp 600 ribu hingga Rp 800 ribu perbulannya.

Untuk mengontrol hasil karya para pengrajin, biasanya Salwa memberi nomor pada setiap kain. Jadi, bila ada yang cacat saat memberi blend, hal itu bisa langsung diketahui dan dikembalikan ke pengrajin untuk diperbaiki. Saat itu biasanya dimanfaatkan Salwa untuk menularkan ilmunya kepada para pengrajin agar batik perada yang dihasilkan memiliki kualitas bagus. ”Saya juga senang kalau akhirnya mereka bisa membuat batik perada sendiri,” tuturnya sembari mengenang saat-saat ia belajar membatik.

Selain memberdayakan ibu-ibu rumahtangga di daerah sekitar, Salwa juga menjadikan rumahnya sebagai koperasi simpan pinjam dengan nama Koperasi Teratai Emas. Koperasi yang didirikan pada 2003 ini, kini telah memiliki anggota sebanyak 60 orang. “Dari koperasi ini, kami memberikan modal kepada warga yang kurang mampu untuk memulai usaha kecil-kecilan,” ujarnya.

Sejauh ini, Salwa memproduksi 20 kodi batik perminggu. Setiap kodinya harganya berfariasi ada yang Rp 300 ribu hingga Rp 700 ribu. “Omset saya kini sekitar Rp 10 juta perhari, sedangkan keuntungan bersihnya hanya 5 persen perhari,” ungkapnya.

Salwa mengakui, keuntungannya selama ini sangat kecil, namun ia senang karena bisa ikut berperan meningkatkan perekonomian warga setempat dengan cara membuka lapangan pekerjaan sambilan di rumahnya.

Selain membantu memasarkan batik perada, suami Salwa, Alwi Shahab, juga membuat kaligrafi dan hiasan dinding terbuat dari bahan baku batik perada. Proses pembuatannya tak jauh berbeda dengan batik perada. Cuma, bahan dasarnya biasanya terbuat dari kain polos dan Alwi harus menggambar desainnya dulu di atas kain tersebut. [] roji

Tidak ada komentar: