Ibrahim Soelaiman
Dari keluarga untuk umat, begitu motto sosok pria paruh baya, Ibrahim Soelaiman (68), pemilik hotel Lembah Sarimas bernuansa Islami di Ciater Subang Jawa Barat, pemilik puluhan rumah kontrakan mewah eks-patriat di wilayah Jakarta Selatan dan salah seorang yang mewakafkan tanahnya seluas 6 hektar untuk pesantren Gontor 9 di Lampung.
Perjalanan sukses Soelaiman dibilang cukup unik, Sebelum ia menjadi tuan tanah di Jakarta, Subang, Ambon, Lampung dan Singapura ini masa kecilnya penuh dengan perjuangan. Bayangkan, ketika ia masih sekolah dasar, ia sudah terbiasa berjualan cabe dan sagu di pasar untuk membayar SPP di sekolah, “Untuk menambah keperluan sehari-hari, kalau liburan sekolah saya ke pasar jualan cabe dan sagu,” ungkpanya kepada majalah Gontor saat ditemui di kediamannya yang asri di bilangan Pejaten Barat, Jakarta.
Soelaiman kecil juga sosok yang tegar, diusianya yang masih kanak-kanak ia juga ikut berjuang melawan pemberontak Maluku Selatan hingga sekolahnya terputus beberapa bulan. “Meski hanya memanggul senjata, saya ikut bergabung dengan tentara ikut berjuang, sambil membantu palang merah mengurusi yang sakit,” kenang pria kelahiran Ambon, 10 Maret 1937.
Setelah tamat SD, perjuangan Soelaiman tidak berhenti begitu saja, ia pun ikut tentara Batalyon Infantri 352 yang berpusat di Semarang di bawah pimpinan kolonel Slamet Riyadi. Namun ketika rombongan sampai di Jakarta, ia pindah ke Batalyon Pattimura. Dan Salah seorang komandannya menawarkan pilihan kepada para pemuda, yakni ingin terus menjadi tentara atau sekolah.
Akhirnya, Soelaiman pun memutuskan untuk menetap di Jakarta dan meneruskan sekolahnya bersama para tentara, “Saya ikut masuk sekolah SMP di Jakarta bersama para tentara pelajar hingga pada tingkat SLTA tamat pada 1957,” jelas suami yang beristrikan muallaf, Sa’adah (66).
Semasa sekolah, Soelaiman tergolong murid yang cerdas, terutama untuk pelajaran sejarah dan ekonomi. Seringkali ia mendapatkan nilai sepuluh untuk dua pelajaran tersebut. “Karena prestasi saya, akhirnya tamat SLTA saya disuruh kepala sekolah untuk menjadi guru di sekolah tempat saya belajar, dan sambil kuliah di Universitas Indonesia (UI) fakultas hukum dan ilmu pengetahuan masyarakat,”papar pria yang sudah menjelajahi negara-negara di Asia, Afrika dan Eropa ini.
Namun sayang, ketika pada tahun ketiga, Soelaiman tidak bisa menyelesaikan belajarnya di UI, pasalnya saat kuliah ia harus memenuhi nafkah untuk istrinya yang dinikahinya saat masih kuliah. “Saya berpikir dengan gaji mengajar yang cukup sedikit saat itu dan menafkahi istri saya akhirnya saya memutuskan untuk bekerja,” ujar pria yang menikah diusia 21 tahun ini.
Hasrat untuk berbisnis pun semakin kuat setelah melihat teman-temannya yang tidak kuliah sudah memiliki usaha sendiri, akhirnya Soelaiman pun melepaskan kemahasiswaannya dan beralih menjadi pedagang beras di pasar.
Soelaiman mengakui, suksesnya menjadi pedagang beras ini karena modal kepercayaan dari Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) atau Bulog. “Setelah berjalan beberapa tahun jualan beras, saya ditawari memegang distribusi beras di wilayah Jakarta,” ujarnya.
Awalnya, ia sempat ragu karena tidak adanya modal untuk menampung beras dalam gudang. Akhirnya ia menghubungi temannya yang bekerja di Bank, kebetulan saat itu pihak Bank mempunyai gudang yang tidak terpakai, akhirnya ia pun memakai gudang kosong untuk menampung beras dari YUBM untuk sementara.
“Saat itu, bank tahunya beras itu punya saya, padahal beras itu punya YUBM, tapi saya juga membayar sewa gudang kepada bank dari hasil sewa gudang beras dari YUBM. Jadi saya tetap tidak bermodal,” ujar pria yang punya hobi renang ini.
Beruntung, dari hasil kerjasama dengan YUBM, Soelaiman mendapatkan jatah 0.1 persen dari hasil penjualannya. Misalnya, jika beras terjual 10 ribu ton maka dirinya mendapat 0.1 persen dari setiap penjualnya atau 10 ton beras.
Gayung pun bersambut, selain dipercaya oleh YUBM, ia juga dipercaya bank. Ia pun diberi pinjaman oleh bank sebesar Rp 10 juta. Lalu pada 1961 ia pergi ke Ambon memborong cengkeh untuk dijual di Jakarta, dari hasil penjualan cengkeh ia berhasil membeli dua gudang. “Alhamdulillah oleh YUBM juga dipercaya untuk membongkar muatan kapal dari luar negeri sekaligus mengangkut ke gudang dan menyimpannya,” ujar pria yang suka makanan ikan laut ini.
Tak hanya itu, hasil dari keuntungannya ia belikan tanah seluas 3000 m2 seharga Rp 30 juta pada tahun 1977. “Dulu masih jalannya banyak rawa-rawa, setelah tinggal satu tahun, ada kedutaan Denmark ingin tinggal di rumah saya, dengan sewa 100 ribu dolar kurs waktu itu Rp 600 atau Rp 60 juta selama lima tahun, dari keuntungan ini saya gunakan untuk membangun rumah lagi di daerah lain,” kenang bapak bercucu 12 anak dan bercicit 1 anak ini.
Modal pun kian banyak, bisnis pun kian berkembang. Lalu ia bekerjasama dengan tuan-tuan tanah di Jakarta untuk menjalankan bisnis properti, yakni membuat rumah kontrakan khusus eks-patriat. Ia juga banyak mendapatkan penawaran pembangunan rumah dengan keuntungan bagi hasil. Misalnya, tanah seluas 2000 m2, di atasnya ia bangun dua rumah, selama 10 tahun hasil dari sewa rumah ia ambil setelah itu rumah menjadi hak pemilik tanah. Ada juga pembagian setengah-setengah, tanah seluas 2000 m2, di atasnya ia bangun dua rumah, tapi satu rumah menjadi miliknya dan satu rumah lainnya menjadi milik pemilik tanah.
Tak heran, jika Soelaiman mempunyai banyak kontrakan besar di wilayah Jakarta Selatan. Sebelum ia jual sebagian kontrakannya jumlahnya mencapai 35 rumah plus dengan kolam renangnya. Kini, kontrakannya tinggal 20 rumah.
Tak hanya bisnis properti, ia juga mengembangkan bisnisnya dibidang jasa ekspidisi. Misalnya bekerjasama dengan Hyundai dalam pembuatan tol Jagorawi. Seluruh bahan konstruksi seperti aspal, besi, batu ia yang memasoknya. Ia juga bekerjasama untuk pabrik semen Kujang Cibinong serta dengan perusahaan Amerika semi konduktor di Cibubur selama 10 tahun.
“Alhamdulillah, saya juga mengekspor sayur-mayur ke Belanda, mengekspor binatang hidup seperti kera, burung, ular pyton dan sebagainya ke Eropa dan Rusia untuk bidang penelitian kesehatan laboratorium dan sirkus Moskow,” ujarnya.
Dirikan Wisata Ruhani di Ciater
Saat itu, Ibrahim Soelaiman mengajak anaknya bernama Monthy, yang sakit lumpuh untuk menjalani terapi air panas di Ciater Spa. Sejak tahun 1993, selama satu tahun dua bulan anaknya tinggal di pusat rehabilitasi dan Spa.
Setelah mendapatkan perawatan, Monthy mulai sembuh dan merasa betah tinggal di Subang. Selain alamnya yang sejuk, ia juga merasa seperti ada kekuatan yang mendorongnya untuk hidup dan optimis menghadapi rnasa depannya. Hingga akhirnya ia sudah bisa jongkok, pakai krek berdiri untuk latihan penguatan otot, bahkan sudah bisa memakai baju sendiri. Namun ia belum bisa melepaskan diri dari kursi roda.
Ketika Soelaiman melihat keadaan anaknya, lantas terpikir olehnya, bagaimana putranya itu tetap bisa mempunyai masa depan meski berjalan di atas kursi roda. Kebetulan, saat itu ada masyarakat yang menawarkan tanah kosong, maka ia pun membelinya dan membangun hotel sebagai usaha keluarga.
“Saya membangun hotel di Ciater mulai dari tanah satu hektar hingga 4.5 hektar dengan 46 bungalow, dalam satu bungalow ada yang satu hingga tiga kamar, dua kolam renang, lapangan tennis, ruang fitnes, dua restoran, dua ruang pertemuan dan setengah hektar khusus untuk masjid,” ungkapnya.
Diawal pembangunan hotel, sebenarnya tidak ada bangunan masjidnya, namun karena teguran istrinya, ia pun mulai membangun masjid. “Bapak ini sudah banyak menyumbang masjid di daerah tapi bapak sendiri tidak mempunyai masjid,” tiru Soelaiman.
Akhirnya, salah satu rumah milik istrinya seharga Rp 5 milyar pun dijual dan diganti dengan masjid as-Sa’adah seluas 1500 m2 dengan menghabiskan dana kurang lebih Rp 7 milyar. Masjid itu pun diresmikan oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan dai kondang KH Abdullah Gymanastiar pada 12 Juni 2003, “Dari masjid ini, kami mengharap bisa menjadi tempat wisata ruhani di Ciater dan menjadi tempat syiar Islam,” tuturnya
Masjid dengan tiga kubah dan enam menara ini setiap bulannya dihadiri 1500-1800 jamaah yang terdiri dari anggota majlis taklim as-Sa’adah yang tersebar di 34 desa sekitar kabupaten Subang, “Pengajiannya mayoritas ibu-ibu, kami bahagia orang-orang di kampung berbondong menuju masjid untuk melakukan dzikir, tak jarang kami mengundang penceramah kondang seperti KH Arifin Ilham, KH Abdullah Gymnastiar, Ust Jefrri al-Bukhari,” ujar pria yang pernah menjadi ketua kelompok kerja (POK JA) yang khusus menyelesaikan konflik di Maluku.
Hotel yang ia bangun bernuansa Islami, selain masjidnya yang megah, fasilitasnya pun juga terjaga dari makanan dan minuman haram. “Alhamdulillah dengan adanya masjid ini, saya merasakan hidup semakin tenang bahkan hotelnya tambah ramai, bahkan setiap minggunya bisa mencapai 200 sampai 400 tamu yang datang,” ujar bapak yang pernah mempunyai hotel Adella di Makasar ini.
Kini setiap Jum’at, Soelaiman selalu menyempatkan dirinya untuk mengisi waktunya di hotel, terutama di masjid yang baru ia bangun untuk bertafakur dan i’tikaf. Bahkan untuk menambah amalnya, ia sering membantu pembangunan masjid yang ada di daerah-daerah. Bahkan ia mewakafkan tanah seluas 6 hektar untuk pembangunan pesantren Gontor 9 di Lampung. “Perusahaan yang saya rintis, saya serahkan pada anak-anak, sekarang saya lebih fokus pada kegiatan amal saja,” tuturnya.
Selain masjid, Soelaiman juga membangun taman kanak-kanak Ar-Rahman di lingkungan hotel. Para guru yang mengajar digaji dari hasil hotel, bahkan para siswanya tidak dikenakan biaya sepeserpun alias gratis, mulai dari seragam, buku hingga SPP tidak dipungut biaya.
2 komentar:
Ini berarti bapaknya dek Raja yang santun itu ya
Pantaslah memiliki anak seperti itu, pemimpin keluarganya saja seperti ini
MasyaAllah
Posting Komentar