Munawar Liza Zainal
Kiprahnya dalam memperjuangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), membawa alumni Gontor tahun 1992 ini mampu menduduki tampu kekuasaan Walikota Sabang di Nangroe Aceh Darussalam. Padahal para pesaingnya adalah Ketua DPRD Sabang, koalisi PAN-PKS, dan Kepala Bapedal Sabang. Bagaimana ia meraih kemenangan itu?
Munawar Liza Zainal, ketika berhijrah dari Sabang ke Gontor untuk nyantri di Pondok Modern Gontor sudah merasa ada ‘ketidakadilan’. Saat itu, putra daerah ini melihat ketimpangan yang terjadi di daerahnya, Sabang. Bagaimana tidak, ketika ia berada di Jawa, ia melihat jalan-jalan beraspal, rumah sakit atau klinik cukup banyak, perekonomian juga cukup mapan. Hal ini berbeda ketika dirinya melewati jalanan di wilayah Aceh, terutama Sabang. Jalanan tidak beraspal, jangankan rumah sakit, klinik saja keberadaannya sangat jarang, dan kondisi ekonomi masyarakat yang serba pas-pasan.
Munawar, begitu panggilannya. Jiwa darah Aceh yang pemberani ditambah gemblengan dari Gontor menambah mantab langkah Munawar untuk menapaki karir politiknya di daerahnya.
Sebenarnya ia tidak ada niatan untuk mencalonkan diri menjadi Walikota Sabang, yang ia inginkan adalah keadilan dan Aceh bisa merdeka, sebagaimana yang diinginkan anggota GAM. Namun setelah ada perundingan Helsinki di Finlandia yang menghasilkan beberapa kesepakatan damai di Aceh, akhirnya GAM lebih fokus pada Pemilu 2009.
“Kata merdeka untuk Aceh sudah tak ada lagi, senjata GAM sudah dipotong, jadi sekarang perjuangan politik yang akan kami perjuangkan. Jadi kepada Jakarta, politikus, jangan meragukan rakyat Aceh lagi,” kata Munawar saat bertandang ke kantor Majalah Gontor, Jakarta.
Persiapan pun digelar kelompok GAM untuk memenangkan Munawar sebagai calon Walikota Sabang. Padahal saat itu, status Munawar sendiri belum jelas karena perlengkapan administratif seperti ijazah masih belum ada yang di tangan. Sementara kedua ijazahnya saat kuliah di Mesir dan Amerika masih belum diproses. Maka ijazah satu-satunya adalah ijazah saat dirinya nyantri di Pondok Gontor.
Putra dari pasangan Zainal Abidin Ali dan Nur Aini pun akhirnya berkonsultasi dengan gurunya, KH Abdullah Syukri Zarkasyi di pondok Gontor. Dari hasil sowan tersebut, Munawar semakin yakin akan dukungan Kyai Syukri terhadap dirinya, “Bismillah ini bukan musibah tapi amanah maka jalankan,” demikian pesan Kyai Syukri pada Munawar.
Legalisir ijazah pun dikebut, beberapa surat bukti pengakuan Pondok Gontor dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional dikantonginya. Pasalnya, selama proses itu masih ada beberapa pihak yang meragukan ijazah Pondok Gontor. Akhirnya, setelah perlengkapan administrasi dilengkapi, Munawar pun maju menjadi calon Walikota Sabang. “Alhamdulillah, karena legalisir tadi akhirnya saya bisa mendaftar, jika tidak aku gak tahu,” paparnya.
“Secara pribadi saya tidak ada niat sama sekali. Ketika pihak cabang menghubungi kami, bahwa hasil musayawarah memutuskan saya ikut pilkada, maka saya Bismillah menerima tawaran itu,” ungkap lelaki kelahiran, Laweueng, 22 Desember 1973.
Strategi politik pun dirancang sedemikian rupa, background sebagai orang lapangan yang banyak malang melintang di dunia organisasi tak membuat repot Munawar dan kawan-kawan untuk menggalang dukungan dari anggotanya. Bagi Munawar, kawan-kawan yang ada di GAM menjadi mesin politik yang efektif untuk menggerakkan massa dalam setiap momen kampanye dan dengan dana yang sangat minim.
Di Aceh, khususnya di Sabang, partai independent seperti GAM sangat tidak diperhitungkan oleh partai-partai lain. Pasalnya, partai-partai besar yang bercokol di Sabang mempunyai dana besar dan sudah cukup berpengaruh. Namun demikian, Munawar dan kawan-kawan tak patah semangat, meski dengan modal hanya Rp 140 juta, dirinya yakin akan bisa menyingkirkan saiangannya.
“Untuk kampanye kami transportasi, makanam, sewa sana sini, voucher semuanya habis 140 juta itu sudah termasuk, baju kaos, spanduk, sumbangan. Jadi sampai proses selesai saya tidak punya hutang gara-gara kampanye, ha..ha..ha..,” ungkapnya sambil diiringi tawa.
Hanya Rp 149 juta. Di banding dengan partai besar yang sudah mengakar di Sabang, seperti Golkar sangat jauh berbeda. “Kami di sana awalnya tidak diperhitungkan, saingan kami Ketua DPRD yang juga Ketua Golkar. Jadi background kami dari Gontor dan Al-Azhar dan beberapa pengalaman organisasi di luar negeri, kami cukup diperhitrungkan,” katanya.
Satu hal yang menjadi perhitungan Munawar adalah kepandaiannya membaca al-Qur’an dan berceramah di depan umum. Bagaimana pun juga syarat untuk menjadi Walikota di Sabang wajib bisa membaca al-Qur’an. “Karena kami sudah siap untuk itu. Ini mempunyai nilai lebih di mata masyarakat. Dari situlah mulai ada simpati dari masyarakat,” ujarnya.
Modal memang sangat pas-pasan, bayangkan untuk menyebar brosur curiculum vitae, ia hanya bisa menuangkannya di atas kerta HVS dan digandakan lewat poto kopi. Hal ini berbeda dengan saingan lainnya yang penyebaran brosurnya dengan kertas berwarna, memasang spanduk, baleho bahkan iklan di beberapa media massa.
Munawar juga menarik simpati masyarakat melalui berbagai event, seperti ceramah di masjid, baik saat memberikan kuliah 7 menit sebelum tarawih atau khutbah jum’at. Tapi meskipun demikian, ia tidak pernah menyinggung masalah politik di acara tersebut. Isi ceramah atau khutbah yang dibawakan pun hanya seputar keagamaan dan bukan pidato politik. “Saat itu saya bisa bahasa Arab dan bahasa Inggris, alhmadulillah dengan usaha keras. Kami bisa menarik simpati rakyat,” ujarnya.
Begitu juga ketika ia ditawari untuk menjadi penceramah atau khatib di masjid Babussalam di Aceh, isi ceramah yang disampaikan juga tidak menyinggung masalah politik. “Setelah itu, alhamdulillah peta politik saya di kota cukup menjadi lebih baik,” paparnya.
Satu hal yang menjadi tanda tanya besar bagi Munawar. Bahwa di Sabang, sangat susah untuk bisa bersaing dengan lawan politik lain, seperti menembus Golkar karena partai ini sudah cukup mengakar di Sabang dan mempunyai dana yang banyak. Bayangkan saja, pesaing Munawar saat itu adalah Ketua DPRD Sabang, koalisi PAN-PKS, Kepala Bapedal yang juga Pengusaha di Sabang, “Tapi kami yakin, bisa menang, dan benar terbukti,” ungkapnya tegas.
Saat itu, Munawar yang berpasangan dengan Islamuddin berhasil meraih 35.6 persen dari jumlah pemilih sebanyak 18 ribu orang. Bahkan tidak hanya itu, suara GAM ternyata juga diperhitungkan di beberapa tempat lain seperti di Aceh Timut, Aceh Utara, Lokhsumae, Sabang, Aceh Jaya, dan lainnya. “Dulu kami meminta negara, sekarang demokrasi yang kami tegakkan. Kami semakin yakin bahwa kami di pilih rakyat,” tegasnya.
Apa yang menjadi komitmen Munawar dan pasangan bukanlah hal yang muluk-muluk, melainkan visi yang simpel yaitu menjadikan Sabang sebagai sebuah pemerintahan yang mendengar rakyat dan amanah terhadap apa yang didengar. Dan Sabang menjadi daerah percontohan sebagai pemerintahan yang baik dan bersih good and clean governance.
Prioritas program Munawar dalam bidang pemerintahan adalah menciptakan birokrasi yang mengedepankan layanan terhadap masyarakat. Menjalankan disiplin dan transparansi dalam penganggaran. Berkaitan dengan kesehatran, Munawar berencana meningkatkan layanan kesehatan untuk masyarakat dan memperbanyak klinik-klinik sehingga mudah didapati di mana pun berada. Di bidang pendidikan, masa pemerintahannya akan meningkatkan kualitas pendidikan dengan menyejahterakan guru-gurunya dan bidang pariwisata pemerintah akan mengoptimalkan daerah-daerah potensi wisata karena Sabang sebagai pintu gerbang internasional. “Masyarakat bukan lagi menjadi penonton tapi juga ikut bermain dan berpartisipasi dalam kemajuan Sabang,” paparnya.
Saat ditanya tentang syariat Islam di Aceh, Munawar menjelaskan bahwa pada dasarnya menjalankan syariat Islam adalah kewajiban muslim. Tapi syariat Islam yang dijalankan dengan benar, adalah yang berjiwa Islam dan bukan sebatas political tool bagi pemerintah tertentu.
Syariat Islam yang ada di Aceh menurut Munawar lahir karena alasan politik masa Gus Dur. Di mana saat itu, masyarakat Aceh meminta adanya Syariat Islam. Syariat Islam yang ada di Aceh hanya sebatas qonun khalwat saja, jadi ketika orang cerita tentang Islam maka hanya khalwatimage Islam dan membuat orang-orang menari-nari gembira melihat kesalahan yang dilakukan oleh muslim,” katanya.
Munawar mencontohkan dari syariat Islam yang masih mentah, misalnya hukum orang berzina, dalam Islam dirajam 100 kali, tapi di Aceh hanya 6 cambukan. Padahal sanksi adat Aceh sendiri lebih berat di banding sanksi pelanggaran syariat Islam versi Aceh ini.
Sebenarnya sejak dulu, rakyat Aceh sudah mengimplementasikannya dalam bentuk adat. Jadi para ulama dan orang tua di Aceh tempo dulu, sudah membuat kerangka tentang hukum adat yang lebih baik daripada hukum yang ada saat ini. “Dan ketika hukum digodok di Jakarta dan diberikan Aceh maka ironis sekali hasilnya,” ujarnya.
Selama ini menurut Munawar memang ada yang membuat propaganda bahwa GAM anti syariat Islam. Menurutnya, kalau bicara tentang syariat Islam itu ada rujukannya yaitu al-Qur’an dan Hadis, sedangkan syariat Islam di Aceh tidak ada. “Kami akan mengembalikan adat istiadat Aceh karena sudah sesuai Islam,” papar lelaki yang punya cita-cita mengangkat harkat dan martabat Aceh ini.
Siap Memimpin dan Dipimpin
Sebelum Munawar Liza Zainal masuk Pondok Gontor, sebenarnya ia pernah tidak lulus tes masuk Gontor. Pasalnya saat itu, ia terlambat daftar. Namun keinginannya untuk nyantri di Gontor tak menyurutkan semangat Munawar. Ia pun mempersiapkan diri belajar di Pondok Ar-Risalah, di Ponorogo selama satu tahun.
Saat pendaftaran baru dibuka kembali, Munawar pun tak menyia-nyiakan waktunya untuk segera mendaftar di Pondok Gontor. Alhasil, berkat kepandaiannya, ia berhasil langsung naik ke kelas 3B, alias mumtaz.
Selama di Pondok Gontor, Munawar memang tak terlalu kentara kegiatannya. Badannya yang kecil, membuat ia tak dijadikan muharrik di kelas atas. Kendati demikian, ia tak pernah absen mengikuti kegiatan Pondok. Satu hal yang menjadi kebiasaan Munawar, yaitu membaca surat kabar harian di sebelah aula. Meskipun dirinya sakit, ia tak kan pernah melewatkan membaca tuntas kabar harian saat itu. Kebiasaan ini pun juga terus berlanjut ketika ia kuliah di AL-Azhar, Mesir.
Satu hal yang menjadi nilai penting dalam kehidupan Munawar saat ini, yaitu pendidikan kepemimpinan yang menanamkan siap dipimpin dan siap memimpin. Begitu juga pada nilai-nilai keberanian yang terus ditanamkan di Gontor. Keberanian dalam arti positif, berani dalam kebenaran. “Siapa pun yang kita hadapi kalau kita benar tidak akan takut. Di mana saja dengan siapa saja tidak merasa rendah semua sama. Jadi itu satu hal yang membuat setiap masalah bisa kami selesaikan,” paparnya.
Menurutnya, saat ini dirinya sedang mencoba mengaplikasikan apa yang terlah diajarkan di Gontor, terutama dalam hal kepemimpinan. Dengan terpilihnya Munawar menjadi Walikota Sabang, kinerja kepemimpinannya mulai mencari bentuknya. Selamat berjuang Ustad.
2 komentar:
salam aku juga alumni GONTOR .....
ijin share mas....
idiotgo.blogspot.com
Posting Komentar