Sabtu, 16 Februari 2008

Ubah Kontrakan jadi Gedung Megah


Budiyanto Darmastono

Diusianya yang masih 41 tahun, ia berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pengusaha besar di bidang jasa kurir, kini ia mempunyai 3000 karyawan dan 30 cabang di bawah bendera NCS.

Gedung lantai lima di atasnya bertulis NCS (Nusantara Card Semesta) tampak berdiri kokoh. Siapa sangka, gedung ini awalnya hanya sebuah rumah kontrakan seluas 200 m2. Lewat tangan kreatif Budiyanto Darmastono, semua menjadi berubah drastis.

Pria yang akrab dipanggil Budi ini dulunya seorang profesional di Dinners Club. Ia menyadari menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan gajinya pas-pasan, padahal dalam hati kecilnya, ia ingin menjadi orang yang berkecukupan dan memberikan kecukupan kepada orang di sekitarnya.

Pada akhir tahun 1994, Budi pun tiba pada satu keputusan, yaitu membuka usaha sendiri. Berbekal dana kurang dari Rp 50 juta, Budi mendirikan NCS dan berkantor di rumah kontrakan. “Saat itu saya masih merangkap jadi karyawan di Dinner Club,” kisahnya kepada Majalah Gontor saat ditemui di kantornya.

Bagi pria yang pernah mengajar di SMU ini, keputusan membuka usaha pribadi termasuk langkah yang berani. Tak banyak karyawan yang ia rekrut, hanya berjumlah 8 orang. “Saya yakin pasti bisa mengembangkan usaha ini,” paparnya pria kelahiran Karanganyar, 5 April 1966.

Pilihan bisnis di bidang kurir dan ekspedisi tak lepas dari pekerjaannya selama ini. Sebagai profesional di bidang keuangan, ia mencermati perusahaan tempatnya bekerja banyak bersentuhan dengan bisnis kurir. Maklum, perusahaannya sering mengirim kartu dan surat dalam jumlah banyak kepada nasabah. Ia juga melihat saat itu pemainnya masih belum terlalu banyak. “Kalaupun ada, beberapa. Tapi, proses kerjanya kelihatannya kurang profesional,” katanya.

Diawal merintis, Budi fokus pada jasa kurir di bidang card center. Tak mengherankan, mulanya ia memiliki klien yang berasal dari sektor usaha perbankan, terutama dalam pengiriman kartu.

Dua tahun pertama NCS berjalan, operasional perusahaan dikelola sepenuhnya oleh sang istri, Reni Sitawati Siregar. Sementara Budi tetap bekerja di Dinners Club. Namun, untuk urusan pemasaran atau mencari pasar, presentasi dan memperkenalkan layanan NCS dilakukan oleh Budi. Tak heran jika ia sering cuti dan minta izin perusahaan. “Yang penting kan, pekerjaan saya kelar,” ujar ayah Gina Audrini (6 tahun) ini.

Gayung pun bersambut, dua tahun berjalan NCS bisa menggandeng beberapa perusahaan, seperti Bank Bali dan Merchantile Club, serta sejumlah restoran. Ini belum termasuk perusahaan-perusahaan kecil dan perorangan yang juga sering menggunakan jasanya.

Memasuki akhir 1996, Budi memutuskan keluar dari Dinners Club dan terjun bersama sang istri mengibarkan NCS. Saat itu ia yakin, jika dirinya terjun secara penuh, potensi perkembangan NCS bisa semakin besar. Akhirnya, setelah keluar dari perusahaannya dan fokus mengembangkan usaha sendiri, ia melakukan serangkaian pembenahan. Di antaranya menerapkan komputerisasi terhadap semua data klien yang masuk. Tujuannya, agar proses operasional perusahaan bisa dilakukan secara efisien dan cepat.

“Paling tidak, kalau ada pelanggan menanyakan status pengiriman barang dalam jumlah banyak, perusahaan memberikan laporannya dengan cepat,” katanya. Hal-hal seperti itulah yang saat itu tidak dimiliki para pemain, kecuali DHL dan TNT yang sejak lama melakukan komputerisasi.

Sistem komputerisasi merupakan nilai tambah saat ia menawarkan jasa kepada calon klien. Pendekatan ini ternyata cukup efektif, sedikit demi sedikit sejumlah calon pelanggan bisa diyakinkan Budi, dan menggunakan jasa NCS. “Yang pasti, dengan adanya informasi pengiriman ini, NCS lebih bisa dipercaya,” katanya bangga.

Tak pelak, Budi pun akhirnya bisa menggaet beberapa perusahaan di berbagai sektor, Seperti Citibank, HSBC, ABN Amro, Standard Chartered, BCA, Bank Mandiri, Bank Niaga, Bank Permata, GE Finance, Bank Bukopin, Bank Bumiputera, BII, Bank IFI, Bank Danamon, Manulife, Sequislife, Astra CMG, Prudential, AIG Lippo, Axa Mandiri, Sun Life, Sharp Indonesia, Macindo, Kabelvision, Indovision, Garuda Indonesia, Coca-Cola, Makro, Wyeth Indonesia, Abbot, Datascrip, Home Centro dan Olymphus.

Kini, perusahaan ini telah memiliki 30 cabang di seluruh pelosok Indonesia, antara lain di Jabotabek, Bandung, Medan, Padang, Palembang, Solo, Surabaya, Yogyakarta, Manado, Gorontalo, Banda Aceh dan Denpasar. Bahkan, perusahaan yang sedang membangun gudang seluas 6 ribu m2 di Kemanggisan, Jakarta Barat ini telah mengembangkan jaringan sampai Singapura.

Perkembangan usaha NCS yang begitu pesat memaksa Budi memperluas produk dan layanannya. Kini NCS tak hanya mengurusi kurir dalam kota (city courier), tapi juga kurir domestik dan internasional, kargo udara & laut, moving, trucking, warehousing, logistik & distribusi. Namun dilihat dari tingkat volumenya, layanan yang paling banyak diminati konsumen saat ini city courier Komposisinya, 70% city courier dan sisanya jasa yang lain. “Sudah 6-7 ton sehari logistik yang kami kirim,” ujar Budi.

Mengenai omset NCS, Budi menjelaskan, margin yang diperoleh dari pengiriman per satu dokumen relatif kecil, hanya berkisar Rp 700-800. Lalu, ia mengandaikan, jika NCS mempunyai 3-4 kurir di setiap kelurahan dan bisa mengirimkan 200-300 dokumen sehari, dalam sebulan NCS bisa mengirim 4 juta dokumen. “Tinggal dikalikan saja,” kata Budi yang tak mau mengungkap omsetnya secara gamblang.

Besar Karena Peduli

Hadza min fadli rabbi, demikian ungkapan yang terlontar dari bibir Budiyanto Darmastono melihat perkembangan usahanya saat ini. Kendati demikian, Budi tak pernah lupa dengan hak-hak orang yang membutuhkan dari apa yang dihasilkan selama ini. Misalnya zakat, santunan anak yatim, kaum dhuafa, dan lain sebagainya.

“Kekayaan yang kita miliki sebenarnya sebagian adalah hak-hak orang-orang yang membutuhkan, terutama fakir miskin, yatim piatu, karenanya kita wajib mengeluarkan apa yang jadi hak mereka,” paparnya.

Saat ini, Budi mempunyai anak binaan yatim piatu di beberapa kota, seperti di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Medan, jumlahnya sekitar 400 anak. Mereka adalah anak-anak yatim dan anak-anak dari keluarga tak mampu. Budi berencana akan mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikhususkan untuk anak yatim dan dhuafa. “Insya Allah saya akan mendirikan yayasan sekolah gratis bagi anak yatim,” tuturnya.

Rencananya, lembaga pendidikan tersebut akan mengajarkan ketrampilan, seperti menjahit dan komputer. Tujuannya, agar mereka dapat mengembangkan potensinya dan bekerja mandiri atau bekerja di perusahaan yang menjadi anak perusahaannya.

“Doa-doa anak yatim dan kaum dhuafa inilah yang saya yakini sebagai pemacu majunya perusahaan ini. Ini masya Allah. Saya tidak sangka saya bisa membeli mobil mewah, villa, rumah, punya perusahaan dan sebagainya, hadza minfadli rabbi,” syukurnya.

Tak hanya anak yatim dan kaum dhuafa yang menjadi perhatiannya, ia juga berusaha menghidupkan kantornya dengan kegiatan yang bernuansa islami, seperti mengadakan pengajian setiap hari Kamis atau Jumat. Dalam pengajian itu tidak hanya mendengarkan ceramah tapi juga ada dialog interaktif yang mengupas masalah universal dalam kehidupan manusia.

Tahun ini, Budi juga berencana membuka usaha tour travel umrah dan haji. Targetnya agar para karyawan bisa menjalankan haji atau umrah secara gratis. “Pada usaha ini saya tidak berorientasi ke bisnis, targetnya keluarga saya setiap tahun bisa umrah dan karyawan bisa menjalankan haji dan umrah, insya Allah,” ungkapnya. Lebih lanjut ia menambahkan, “Kalau kita niatnya baik, saya yakin Allah akan membantu kita,” yakinnya.

Dari Kurir ke Politik

Saat ditanya kenapa dirinya mulai terjun ke dunia politik? Budi mengatakan bahwa berpolitik adalah panggilan. “Saya merasa semua tercukupi dalam kehidupan sehari-hari, saving untuk anak sekolah juga cukup. Jika saya hanya memperkaya diri sendiri untuk apa. Ini kesempatan, saya ada tenaga, pemikiran maka saya gunakan untuk politik,” katanya.

Selama ini yang ada hanya jargon-jargon menyejahterakan masyarakat tapi ketika duduk di atas mereka lupa dengan masyarakat yang mereka janjikan. “Masuknya saya, saya mencoba merubah keadaan secara pelan-pelan, agar menjadi lebih baik.” Karenanya, untuk itu ia butuh power melalui politik.

“Insya Allah ini merupakan pengabdian saya menjadi bangsa yang baik,” ungkap pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Indonesia Sejahtera (PIS) yang baru diresmikan awal tahun ini.

Tidak ada komentar: