Kamis, 20 November 2008

Buah Pengalaman Organisasi


Hizbiyah Rochim MA

Dengan jaringannya yang luas, ia menjadi ujung tombak pengembangan fisik pondok. Jargon utama dakwahnya: Perang terhadap narkoba dan pergaulan bebas.

Dalam tradisi masyarakat Jawa Timur, keluarga kiai, termasuk anak keturunannya sangat dihormati. Tak jarang ada anak kiai agak ditabukan sembarang berbaur dengan “masyarakat umum”, seperti santri, misalnya. Berbeda dengan Hizbiyah Rochim MA. Meski putri kiai, di masa kecil Hizbi tak segan-segan berkumpul atau bermain dengan para santri. Ia bahkan suka masak nasi bersama para santri perempuan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang, saat mengisi senggang libur malam Jumat.

Selain kumpul-kumpul bersama kawan, Hizbi juga senang //nguping// perbincangan ayahnya dengan para tamu di ruang //mbale// (ruang lapang khusus tamu). Ibunya kerap memergoki dan melarang. //”Iki dudu urusanmu ayo nang buri,// (Ini bukan urusanmu, ayo ke belakang),” tiru Hizbi. Kesenangannya berkumpul dan bertemu banyak teman itulah yang kelak mengantarkan Hizbi sukses masuk ke panggung politik nasional.

Putri penggagas dan penggerak Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Chasbullah ini, sejak remaja memang sudah aktif berorganisasi. Tak heran, jika kesehariannya kini sangat padat dengan aktivitas sosial di berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Kendati //super// sibuk dengan tugasnya sebagai anggota DPRD DKI Jakarta, dan telah didaulat menjadi calon anggota legislatif (Caleg) daerah pemilihan (Dapil) delapan Jawa Timur, ibu dua anak ini tak abai dengan tugas pengasuhan Pesantren Putri Al-Lathifiyyah 1, Jombang, yang diembannya.

Bersama sang kakak, Machfudhoh Aly Ubaid, ia berjibaku membagi tugas mengasuh 600 santri tanpa kenal lelah. Karena menetap di Jakarta, wanita kelahiran Jombang, 5 Juni 1947, ini diberi peran sebagai ujung tombak pengembangan fisik pondok. Dengan jaringannya yang luas, ia intensif melakukan lobi.

Walau jauh dari pesantren asuhannya, komunikasi dengan kakak maupun para penanggung jawab pendidikan di pondok tak pernah putus. Bahkan setiap dua minggu, Hizbi selalu menyempatkan diri kembali ke pesantren, memantau perkembangan pendidikan para santri. Saat berada di pesantren, ia selalu menyempatkan diri menjadi imam jamaah shalat para santri putri dan memberi //tausiyah//. Terutama tentang pentingnya peran perempuan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.

Dalam setiap //tausiyah//nya Hizbi selalu menyisipkan pesan tentang tantangan yang akan dihadapi para kader umat di era globalisasi. Khususnya bahaya narkoba dan pergaulan bebas yang tengah marak di masyarakat.

Di tangannya, Al-Lathifiyyah terus berproses meningkatkan kualitas pendidikannya. Selain belajar di kelas formal pagi hari, para santri diberi tambahan materi keagamaan di malam hari dan setelah Shubuh. Mereka juga diajarkan keterampilah bahasa dan kewanitaan, di samping pendidikan praktis mengelola keuangan usaha. Semua santri yang hampir lulus diberi kesempatan bergabung di bagian koperasi untuk belajar mengelola  keuangan.

Untuk meningkatkan kualitas pengajaran, pesantrennya tengah menyiapkan sistem penggajian rutin bulanan bagi para guru, di samping menyediakan fasilitas rumah dinas agar mereka dapat nyaman mengawasi jalannya pendidikan. “Dengan komunikasi intensif, walau saya berada di Jakarta, kepemimpinan di pondok tidak pernah kosong,” tutur istri almarhum Drs KH Abdul Rochim Hasan Hizbi ini.

 

Aktivis Muslimah

Selain mengasuh pesantren, Hizbi kini juga aktif menjadi Ketua Majelis Zikir HIDMAT Muslimat NU Pusat. Perkenalannya dengan dunia organisasi dimulai sejak ia menamatkan pendidikan tingkat ibtidaiyah di pesantrennya tahun 1960, lalu lima tahun Sekolah Guru Agama (SGA) di Solo. Saat belajar di SGA, Hizbi tak ikut aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Tahun 1968 ia hijrah ke Jakarta dan melanjutkan studi di Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di kampus itu ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Bagi Hizbi, organisasi merupakan lahan untuk belajar bermasyarakat. Melalui organisasi, ia mengenal banyak kawan. Berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan ia ikuti, termasuk organisasi NU. Sebagai anak salah seorang penggagas NU, ia dituntut mampu memberi teladan positif bagi anggota Ormas terbesar di Nusantara ini. Dan pada 1984 ia dipercaya menjadi Ketua Fatayat NU DKI Jakarta selama dua periode.

Kiprahnya mengembangkan organisasi NU, cukup membuat dirinya percaya diri untuk masuk ke dunia politik. Dengan kendaraan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ia melenggang menjadi anggota DPRD DKI Jakarta selama empat periode.

Dalam setiap kesempatan, Hizbi sangat gigih berpesan agar para mubalighah tak henti menyuarakan perang terhadap narkoba dan pergaulan bebas. Menurut Hizbi, zaman ini penuh bahaya. Karena perubahan-perubahan yang terjadi di era reformasi ini kerap kurang terkontrol, ditambah minimnya perhatian orangtua terhadap pendidikan agama generasi muda.  Agar mereka bisa terkendali, nilai-nilai dasar agama harus ditanamkan. Yang ironis, lanjut  Hizbi,  korban narkoba dan pergaulan bebas mayoritas dari kalangan keluarga tak mampu.

Pesan dakwah ini juga selalu ia sosialisasikan di pesantren. Informasi terkini seputar bahaya narkoba tak bosan ia sampaikan kepada para guru dan santri. Sebagai seorang nyai, ia sadar harus terus mengikuti perkembangan  terkini bangsa.

Menurut Hizbi, nyai  tak boleh ketinggalan mengikuti perkembangan aneka informasi. Ketika memberi //tausiah//, nyai dituntut untuk dapat menyampaikan hal-hal terbaru yang mencerahkan. ”Jangan hanya bisa menjadi imam dan mengisi pengajian saja,” tandasnya. 

 

 

1 komentar:

Himawan Pridityo mengatakan...

Wow, looks like a reporter's black box inside. But, where was the true opinion. Remains hidden?