Jumat, 08 Februari 2008

Terorisme Bukan Jihad


KH MA'RUF AMIN

Ketua Dewan Syariah Nasional MUI


Insiden Bom Bali II serta tertangkapnya Dr Azahari membuat pemerintah merasa perlu membentuk Tim Penanggulangan Terorisme (TPT). Anggotanya bukan dari tentara, namun para ulama. Dan, orang yang dipercaya mengomandani tim ini adalah KH Ma'ruf Amin.

Penunjukan ini terasa wajar. Sebab, saat ini Ma'ruf menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN). MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa pada 2003 bahwa aksi terorisme adalah haram hukumnya dalam Islam.

Untuk mengetahui apa saja yang telah dan akan dikerjakan tim ini, berikut petikan wawancara wartawan Majalah Gontor, Fathurozi NK dan Tata Septayuda kepada kyai yang pernah mondok di Pesantren Tebuireng, Jombang, ini. Wawancara dilangsungkan di Kantor MUI, Jakarta, belum lama ini.

Mengapa Anda dipilih sebagai Ketua TPT oleh Departemen Agama?

Mungkin karena saya orang MUI dan saya menjabat Ketua Komisi Fatwa di MUI. Dari segi kelembagaan, MUI patut menjadi pimpinan untuk masalah ini. Kebetulan, lembaga yang saya pimpin telah mengeluar­kan fatwa tentang terorisme pada tahun 2003 lalu.

Apa tugas TPT?

Tugas TPT adalah menanggulangi aksi terorisme. Kami berkesimpulan bahwa masalah terorisme tak cukup diselesaikan dengan pendekatan keamanan. Sebab, terorisme itu muncul karena persepsi keagamaan yang salah, terutama pemakna­an kata jihad. Karena itu, penanggulangan terorisme harus juga melibatkan tim yang terdiri dari para ulama dan ormas-ormas Islam. Semula MUI menganggap bahwa fatwa haram yang kami keluarkan tahun 2003 sudah cukup (untuk menanggulangi terorisme). Ternyata tidak. Kesimpulan ini kami ambil setelah suatu malam kami berkumpul bersama Wakil Presiden (Jusuf Kalla), lalu kami bersama-sama menyaksikan VCD (pesan-pesan terakhir para pelaku bom bunuh diri) dan membaca buku biografi Imam Samudera (tersangka pelaku bom Bali I).

Menurut Anda, bagaimana mereka yang dituduh teroris itu memahami jihad?

Mereka memahami jihad secara menyimpang. Bahwa jihad adalah bagian dari ajaran Islam itu betul. Dan, jihad mengandung arti perang di samping upaya sungguh-sungguh untuk perbaikan, juga betul. Kesalahan mereka adalah memaknai perang dengan tindakan offensive. Hujum!. Mereka menganggap Indonesia ini adalah wilayah perang. Sedangkan kami menganggap Indonesia ini wilayah damai, darussalam, tak boleh ada pengeboman.

Itu kesalahan pertama mereka. Kesalahan kedua, mereka menganggap bom bunuh diri sebagai jalan menuju syahid. Menurut kami, bom bunuh diri itu bukan syahid, melainkan tindakan konyol. Kalau persepsi seperti ini tidak ditangkal bisa berbahaya.

Mereka yang melakukan bom bunuh diri itu mengaku sebagai alumni pesantren. Bagaimana tanggapan Anda?

Kita ingin mendudukkan masalah ini secara fair. Dasar pikiran pesantren jelas bukan teroris. Selama ini kita mengenal dua jalur pesantren di Indonesia.

Pertama, jalur Salafi, seperti Tebuireng, Lirboyo, Krapyak, atau Langitan. Kemudian, pesantren modern seperti Gontor dan sejenisnya. Ngruki juga alumni Gontor. Jadi sebenarnya mainstream pesantren tidak teroris, juga tidak radikal. Ketika ada orang pesantren yang terlibat aksi bom, jangan dikait-kaitkan dengan pesantrennya. Itu tidak fair. Kurikulum di semua pesantren sama. Baik yang jalur modern maupun Salafi. Tak ada yang mengajarkan terorisme. Ajaran terorisme itu berasal dari luar pesantren.

Karena itu kita ingin menangkal bagai­mana ajaran terorisme itu tidak masuk ke dalam pesantren. Kita sudah berdiskusi dengan banyak pengelola pesantren dan ormas-ormas Islam, terutama yang disebut beraliran keras. Ternyata mereka juga tidak sepakat adanya aksi pemboman itu.

Bagaimana makna jihad menurut TPT ?

Jihad mempunyai dua makna. Pertama, berusaha untuk melakukan perbaikan. Kedua, ikut dalam peperangan membela Islam. Cuma perang itu, seperti kata fatwa MUI, terjadi karena terpaksa atau terjadi di daerah perang. Sedangkan aksi menakut-nakuti orang, membuat korban, itu bukan jihad, tapi teror.

Apakah ada golongan yang ingin mengaburkan makna jihad?

Selama ini teroris ingin menyim­pangkan makna jihad ke arah penghalal­kan pemboman. Ada juga yang ingin meng­hilangkan kata jihad dalam Islam. Itu tidak mungkin. Dalam al-Qur'an dan Hadis jihad adalah bagian dari Islam, tapi harus proporsional.

Sejauh ini apa yang dilakukan TPT?

Kami masih melakukan konsolidasi, kemudian menyampaikan informasi. Pada saat Rakernas MUI beberapa waktu lalu kami sudah menjelaskan apa yang akan kami lakukan kepada MUI-MUI di daerah agar mereka juga melakukan sosialisasi secara serentak di seluruh Indoensia, tentunya juga melibatkan pesantren. Bentuk sosialisainya bisa bermacam-macam, seperti seminar, dialog, atau tabligh akbar.

Apa yang kita banggakan dari sebuah pesantren?

Pesantren adalah lembaga yang mengajarkan Islam dengan cara yang moderat melalui pemaknaan-pemaknaan yang sesuai dengan metodologi. Pesantren kaya dengan metodologi seperti ushul-fiqh. Jadi, yang ingin saya katakan adalah, Islam yang diajarkan di pesantren adalah Islam yang manhaji dan tawasuthi (metodologis). Ini ada rel-nya agar tidak ngawur. Kita tidak menginginkan ekstrim kiri atau ekstrim kanan. Ulama kita dulu sangat akomodatif dalam menghadapi budaya lokal. Itu karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Para ulama bisa membedakan mana ajaran agama dan mana tradisi. Mereka bisa mendudukkan keduanya pada tempatnya sehingga tidak timbul konflik. Mereka pandai mengguna­kan pendekatan kompromistik. Tak heran jika pesantren di Jawa terkadang ber­campur dengan budaya Jawa. Itu watak dari mainstream pesantren.

Apa andil pesantren tempo dulu?

Andilnya cukup besar, terutama untuk kebangkitan bangsa ini. Kita ingin mengharmoniskan pandangan kebangsaan dengan keagamaan yang dibawa pesantren.

Sebelum negeri ini merdeka mereka menjadi kelompok religius revival, memin­jam istilah ahli sejarah Prof DR Sartono Karto­dirdjo. Saya sendiri mengatakan mereka adalah Islamic revival atau kebang­kitan Islam. Nah, kebangkitan ini yang ke­mu­dian mendorong berdirinya kebang­kitan nasional. Perpaduan agamis dan nasio­nalis. Bukannya membenturkan antara paham keagamaan dan kebangsaan.

Apa itu termasuk pemberlakuan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di pesantren?

Tidak. Itu ijtihad-nya Deparetmen Agama (Depag). Kala itu Depag ingin ada pegawai, birokrat, yang mengerti agama sekaligus mengerti masalah-masalah administrasi dan manajemen. Sementara pesantren kita afiliasinya pada agama.

Apakah adanya isu teroris telah memberikan jarak antara pemerintah dengan pesantren?

Sebetulnya tidak ada jarak. Kalau pun ada, maka jarak tersebut diciptakan oleh seseorang. Seperti kasus di Cimahi, Jawa Barat, ada pengambilan sidik jari. Terus kita bereaksi. Sebab itu tindakan berlebihan dan diskrimanitif. Sehingga ada pernyataan dari Kapolri sendiri bahwa tindakan pengambilan sidik jari itu tidak ada. Kalau pun pengambilan sidik jari itu harus dilakukan, maka lakukanlah kepada semua masyarakat. Jangan hanya kepada para santri. Bukankah lebih baik mengambil sidik jari para koruptor dibanding santri.

Bagaimana keilmuan yang orisinil dari pesantren?

Keilmuan yang memang berdasarkan petunjuk-petunjuk Allah, yakni hidayah Robbaniyah yang dikembangkan oleh ulama di Indonesia dengan memperhatikan budaya lokal. Kita bisa melihat ajaran-ajaran Islam di Indonesia agak berbeda dengan Saudi. Itulah sumbangan pesantren yang telah mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Bahkan ulama masa lalu, selain memperbaiki akhlak, juga mengerahkan perlawanan kepada penjajah.

Hampir semua lembaga Islam menerima ilmu yang datang dari Barat dan Timur. Kalau boleh memilih, mana yang harus diambil?

Ilmu itu, dari mana pun datangnya, menjadi milik umat Islam. Jadi, Muslim yang memiliki ilmu, berarti ilmu itu milik dia, sepanjang ilmu itu tidak mendatang­kan masalah, yakni keluar dari pakem cara berpikir liberal. Prinsip umum dalam menerima ilmu dari luar terangkum dalam kalimat berikut: al-muhafadhatu bil-qadim al-shalih wal-akhdzu bil jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Bagaimana cara menyeleksi ilmu dari Barat maupun Timur?

Kita harus tahu apakah ilmu tersebut bermanfaat atau tidak, mengandung bahaya atau tidak? Kemudian, apakah manfaatnya lebih besar dari bahayanya? Yang penting kita bisa mengeliminasi bahayanya. Tapi kalau manfaat dan bahayanya sama, maka sebaiknya ditolak. Apalagi jika bahayanya lebih besar, maka harus ditolak.

Soal statemen Wapres yang meminta agar kaji ulang buku-buku karya Sayyid Quthb dan Hassan al-Banna, bagaimana pendapat Anda?

Di pesantren tidak diajarkan mengenai itu. Itu bacaan biasa. Saya kira buku karya Sayyid Quthb itu untuk konsumsi ilmiah. Tak masalah dibaca dan dipelajari. Wong itu bacaanya orang-orang pintar kok. Buku Karl Marx saja dibaca, mengapa buku Sayyid Quthb tidak?

Jadi, dengan kata lain, Anda tidak sepakat dengan pelarangan karya Sayyid Quthb dan Hassan al-Banna?

(Pelarangan itu) tidak tepat. Itu meru­pa­kan wacana, pemikiran, atau pendapat. Kenapa harus dilarang.

Termasuk buku Imam Samudera?

Wah, kalau itu kan ngajak ngebom.

Anda baca sampai tuntas buku karya Imam Samudra?

Ya, saya baca secara keseluruhan, bagaimana dia menulis sangat bagus. Saya memuji dia.

Apa kesan Anda setelah membaca buku itu?

Bukunya sangat bagus. Sayang isinya ngajak ngebom. Cerita awalnya memang bagus, tapi ending-nya menyimpang. Dia menganggap Indonesia sebagai wilayah perang dan membolehkan bom bunuh diri. Di situlah letak kesalahannya.

Tapi dia mencantumkan dalil Qur'an dan Hadits?

Memang, cuma penerapannya yang salah. Dia mengutip Surat al-Baqarah ayat 191 "Dan bunuhlah mereka (uqtuluhum) di mana saja kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu". Itu perbuatan offensive. Disuruh perang terus, kapan damainya?

Tentang Ma’ruf Amin

Ma'ruf tak pernah mengenyam pendidikan master (S2), apalagi doktor (S3). Sejak kecil ia hanya sempat nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Yusuf Hasyim. Selama 10 tahun ia nyantri. Usai itu, ia aktif di beberapa ormas dan lembaga Islam.

Awalnya ia bergabung dengan pengurus ranting NU di Jawa Timur. Lalu ia dipercaya mengurus NU tingkat Pusat, bahkan sempat menjadi orang nomor dua di ormas yang berdiri pada tahun 1926 itu.

Di kalangan jam'iyah NU, Ma'ruf ter­masuk tokoh pemikir. Dia pula yang meng­gagas gerakan tajdid (pembaharu­an) di tubuh NU. ''Ketika saya menjadi Katib 'Am (Sekretaris Umum), saya mencoba melaku­kan dinamisasi pemikiran di NU. Kami se­but saja waktu itu Tajdid al-Afkar," tuturnya.

Saat itu NU memang sedang dilanda kemandegan berpikir. Saat itulah Ma'ruf memperkenalkan metodologi dakwah ittiba' pada manhaj empat madzhab imam. Sebelumnya, pengambilan keputusan di NU hanya didasarkan pada satu madzab. ''Dengan manhaj empat mazhab semua persoalan bisa dipecahkan,'' katanya.

Setelah lepas dari kegiatan politik praktis, Ma'ruf kembali ke habitat aslinya, yakni ulama. Namun keinginannya untuk melakukan Islamisasi pemikiran terus ia gulirkan. Ia merancang gerakan Tashfiyah al-Afkar (penjernihan pemikiran) di NU.

''Dulu NU yang statis, ternyata sekarang ada gejala yang berkembang secara kebablasan. Berfikirnya banyak yang mulai liberal. Karena itu perlu penjenihan di tubuh NU untuk kembali kepada cara berpikir yang sesungguhnya," paparnya.n

Tidak ada komentar: