Potensi ekspor anyaman rotan Indonesia sangat besar. Namun potensi ini belum banyak digali. Karena itulah Siti Zahara (60) bersemangat menggalinya.
"Saya mengimbau pemerintah untuk mendukung kerajinan anyaman yang menyimpan peradaban bangsa dan berpotensi menambah devisa negara," ujar Siti Zahara. Indonesia, paparnya, mempunyai warisan kerajinan tangan yang sudah ada sejak nenek moyang dan masih bertahan, bahkan berkembang hingga kini. Kerajinan tangan itu, seperti anyaman, misalnya, banyak diminati turis mancanegara.
Menurut Zahara, aneka kerajinan tangan tersebut, meski bentuknya kecil-kecil, namun nilai jualnya cukup membantu memberi penghidupan kepada perajin anyaman di Indonesia.
Zahara, wanita kelahiran Aceh, sejak 1982 telah menekuni bisnis anyaman dengan membuka usaha sendiri. Di daerah Musi, Banyuasin, Palembang, ia memproduksi anyaman dengan membina warga sekitar. Setiap hari ia harus rela menyeberangi sungai dengan speedboad menuju tempat sentra anyaman. "Saya terus melakukan inovasi motif anyaman," ujarnya kepada Majalah Gontor.
Di Palembang saat ini ada sekitar 1.000 perajin anyaman. Mereka bekerja di rumah masing-masing atau di tempat-tempat workshop. Sebagian besar dari mereka menjadikan anyaman sebagai pekerjaan sampingan.
Sebagian besar produk yang dibuat para perajin adalah perabot rumah tangga seperti tempat buah, tempat tisu, dan perlengkapan interior seperti rak piring, vas bunga, tempat sampah, karpet, tempat lampu, dan lain-lain. Produk-produk tersebut tak hanya berbahan baku rotan, tapi juga besi, kayu, dan bahan lainnya.
Ketekunan Zahara mendalami kreasi anyaman rotan tak sia-sia. Pada tahun 1990-an, ia dua kali meraih juara pertama pada lomba menganyam tingkat nasional. Berkat perlombaan yang dimenangkannya ini, ia akhirnya dipercaya oleh Pemda Palembang untuk ikut pameran di daerah maupun di Jakarta. Kesempatan ini tak disia-siakan. Alhasil, karya Zahara mulai dikenal masyarakat dan pejabat di Jakarta, mulai dari pejabat tingkat walikota, gubernur, bahkan Presiden Soeharto saat itu. Ibu-ibu PKK, Dinas Perindustrian, dan Dinas Koperasi juga mengenal produksinya. Sejak itu pesanan dari para pejabat di Jakarta terus berdatangan. Bahkan pesanan dari luar negeri.
Sebelum krisis mendera Indonesia, Zahara bisa mengekspor kerajinannya ke mancanegara seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Dubai, dan negara-negara Eropa. Namun, sekarang ia tak melakukannya lagi karena nilai tukar rupiah yang tak menentu dan cenderung melemah. Sebagai gantinya ia memasarkannya di mal-mal.
Harga produk anyaman rotan yang ditawarkan Zahara beragam. Yang paling rendah Rp 2.000 yaitu berupa bola rotan. Sedangkan mebel rotan harganya bisa mencapai jutaan rupiah.
Saat ini, menurutnya, perabot rumah dari bahan rotan masih menjadi primadona para perajin. Selain bahan bakunya mudah ditemukan, tekstur rotan tergolong fleksibel dijadikan aneka kerajinan. Ada yang bisa diolah menjadi furniture murni, produk interior, dan bahkan mainan anak-anak.
Selain dikenal sebagai perajin, Zahara yang hanya lulusan SMA di Aceh, ini juga dikenal sebagai disainer anyaman. Berbagai produk unik yang belum ada di pasaran kerap lahir dari tangan kreatifnya. Ia berkeyakinan, model bisa dikemas sesuai dengan imajinasi manusia. "Apapun situasi yang ada di sekeliling kita merupakan media yang sangat menarik untuk mengembangkan anyaman," katanya.
Biasanya ia memadu-padankan antara bahan anyaman dengan benda lain semisal kayu, besi, atau manik-manik. Tujuannya untuk memberikan nuansa beda ketika dilihat. Sebuah cobek kayu yang tak terpakai, misalnya, bisa dibuat tempat parcel atau buah-buahan dengan cara menambah rotan sebagai alat menentengnya. "Banyak yang bisa kita buat dari sekitar lingkungan kita," ujar Zahara.
Berkat ketekunannya berbisnis anyaman, Zahara berhasil memiliki rumah di Jakarta dan membuka showroom "Nia Zuhra" di Ciputat. Selain itu, ia juga memiliki beberapa showroom di Palembang, tempat ia dulu memulai bisnisnya.
Membangun Aceh
Bencana tsunami yang meluluhlantakkan Nanggroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004, menyisakan luka mendalam bagi rakyat Aceh. Kerugian materi dan nonmateri tak terhitung banyaknya. Tragedi ini mengetuk hati Zahara. Ia ingin ikut serta membangun kembali perekonomian Serambi Mekkah itu. "Saya ingin memberdayakan kaum perempuan yang ditinggal suami, para yatim piatu, dan anak-anak putus sekolah, dengan kerajinan anyaman. Kalau di Palembang saya bisa, kenapa di Aceh tidak?" paparnya.
Selama ini, menurutnya, Aceh menerima bantuan dari negara-negara donor yang jumlahnya sangat besar. Bantuan itu jika dibiarkan, akan menjadikan rakyat Aceh terlena dan sulit bangkit dari keterpurukan. Karena itu, lanjutnya, rakyat Aceh harus mandiri. "Rakyat Aceh tidak boleh terlena dengan bantuan yang datang dari negara lain," kata wanita yang pernah mendapat Upakarti sebagai perajin anyaman tahun 1987.
Menurut Zahara, Aceh kaya akan sumberdaya alam. Namun potensi ini belum dimanfaatkan dengan maksimal. "Saya ingin rakyat Aceh bisa bangkit dan mempunyai produk yang bisa dijual kepada dunia," ujarnya.
Jika produk kerajinan tangan seperti anyaman sudah bisa diproduksi oleh rakyat Aceh sebagai produk unggulan, maka Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bisa mengundang para investor. "Mereka tidak perlu lagi memberikan bantuan kepada rakyat Aceh, tapi cukup membeli produk rakyat Aceh. Hal itu sudah cukup membantu rakyat dari keterpurukan," ungkapnya penuh optimis.
Kisah di Kereta
Sebelum menetap di Jakarta, Siti Zahara mondar-mandir Jakarta-Palembang untuk memasarkan produk anyamannya. Perjalanan itu ia tempuh via darat demi menekan ongkos. "Saya naik kereta api dari Palembang ke Bakauheni agar ongkosnya murah," akunya. Seringkali ia tak kebagian tempat duduk. Demi menghindari desakan penumpang, ibu enam 6 anak ini kerap memilih tempat dekat pintu. Karena itu ia sering dimarahi kondektur. "Kalau ingat peristiwa itu, saya sedih," kenangnya. Zahara bahkan pernah membawa dagangannya dengan truk ke Jakarta. Selama delapan tahun rutinitas itu ia jalani.
Tahun 1991 ia mulai dikenal orang-orang penting di Jakarta. Selain anyaman dan songket, ia juga menawarkan kerupuk kemplang khas Palembang. "Saya sering nimbrung ibu-ibu PKK untuk menawarkan dagangan," ujarnya.
Pada suatu hari ia bertemu dengan seorang wanita yang juga pegawai Pemda DKI Jakarta. Wanita tersebut memberi kepercayaan kepada Zahara untuk menempati rumah miliknya sebagai tempat menampung barang dagangan.[] fathurrozi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar