Sabtu, 09 Februari 2008

Nasib Tukang Pikul Gerabah


Ahmad Farhan

Gagal saat merantau ke Jakarta, Ahmad Farhan sukses berbisnis gerabah dari kampungnya. Kini hasil karyanya menembus pasar mancanegara.

Ahmad Farhan (53), pengusaha gerabah asal Desa Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), waktu kecil tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Orangtuanya yang miskin tak mampu menyekolahkannya. Karena itu ia buta huruf. Farhan menghabiskan masa kecilnya dengan mengasong gerabah hasil kerajinan tangannya.

Meski belum tentu ada yang membeli, namun ia terus saja memikul gerabah-gerabah itu kalau-kalau ada sedikit rezeki untuknya. Karena banyaknya pesaing di desanya, Farhan yang saat itu berusia 17 tahun terpaksa menjajakan dagangannya ke kota. Ia memikul dua tempayan hasil karyanya dengan berjalan kaki keluar masuk kampung menempuh jarak puluhan kilometer dari Lombok Barat menuju Lombok Timur. Terkadang ia ke Kota Mataram, Ampenan, dan kota-kota lain di Lombok, demi memperoleh uang.

Saat menjajakan dagangannya, Farhan bertemu dengan mantan bupati Mataram. Dengan nada tinggi ia menegur Farhan, "Kamu ini masih kecil sudah jualan dan tidak sekolah. Kalau mau tinggal di sini, kamu bisa makan, menyapu, dan membersihkan rumah." Begitulah ucapan sang mantan bupati yang masih diingat Farhan.

Farhan menjadi pembantu rumah tangga selama 8 tahun di rumah itu. Selama itu pula ia hanya menerima gaji sekadarnya. Kendati demikian, Farhan bersyukur karena ia bisa belajar bahasa Indonesia. "Keluarga itu mengajari saya berbahasa Indonesia," kenang Farhan. Setelah 8 tahun di rumah itu, Farhan memutuskan kembali ke kampungnya dan menekuni kembali kerajinan gerabah di desanya.

Kemiskinan kembali menggelayutinya karena penghasilan dari menjual gerabah tidak seberapa. "Seringkali saya hanya bisa makan sepotong singkong dalam sehari," akunya.
Demi memperbaiki nasibnya, Farhan membidik Jakarta sebagai pasar gerabahnya. Namun, di Jakarta, bukan untung yang diraihnya. Farhan malah rugi karena barangnya tidak laku dan biaya hidup di Jakarta sangat tinggi. "Di Jakarta semuanya harus dibeli. Untuk mandi saja harus bayar," paparnya.

Tapi, perantauannya ke Jakarta banyak memberi hikmah dan pelajaran bagi Farhan. Di kota metropolitan ini ia melihat banyak orang seperti dirinya terlunta-lunta mencari nafkah. Mereka tidur di emperan toko atau mengontrak rumah petak. Di sisi lain, banyak orang yang tampak santai, namun hidup dalam kemewahan. Punya mobil dan rumah bertingkat.

Sejak itulah Farhan mulai menyadari, kekayaan hanya bisa diraih dengan cara berpikir, bukan dengan kerja fisik atau mengandalkan otot saja. Kesadaran itu pula yang menuntun Farhan untuk pulang kampung, meninggalkan gemerlap Jakarta yang telah beberapa minggu ia 'nikmati'.

Perajin Selandia Baru
Suasana kampung Farhan kali ini sangat berbeda dengan sebelum ia merantau ke Jakarta. Geliat para perajin gerabah kian terasa. Penyebabnya, kampung Farhan kedatangan para seniman/perajin gerabah dari Selandia Baru. Mereka memberi pelatihan tentang disain gerabah kepada masyarakat. Berkat tangan merekalah gerabah yang sebelumnya tak bernilai berubah menjadi benda seni yang bernilai tinggi dan banyak diminati masyarakat.

Berkat bantuan para perajin Selandia Baru ini, masyarakat Banyumulek memiliki //showroom// bernama Kodong Sasak. Di //showroom// inilah gerabah-gerabah hasil kerajinan warga Banyumulek dipajang. Para tamu/pembeli bisa melihat hasil karya bernilai tinggi itu.

Semangat Farhan untuk bisa menguasai disain gerabah makin terpacu. Sejak saat itu, ia mulai berpikir keras bagaimana menciptakan gerabah yang berkualitas dan menjualnya. Gerabah hasil produksinya ia coba tawarkan ke Pulau Bali. "Saya bertemu dengan pengusaha Amerika yang tertarik dengan produksi saya. Sejumlah barang contoh saya berikan kepadanya dengan gratis," kenang Farhan.

Pada tahun 1988 Farhan menerima pesanan dari orang Amerika itu. Kesempatan ini tak disia-siakan. Farhan mengajak para tetangganya untuk membuat asbak, pot, tempat sampah, tempat payung, tempat buah, dan lain-lain, demi memenuhi pesanan itu. Saat itu, nilai pesanan sebesar Rp 2-3 juta per peti kemas. Nilai ini bagi Farhan cukup besar dibandingkan dengan harga tempayan yang hanya beberapa ribu rupiah saja.

Bisnis gerabah Farhan makin berkembang. Pada tahun 1995, ia tak hanya memenuhi pesanan dari Bali atau domestik saja, tapi juga pesanan dari luar negeri. "Banyak pembeli dari luar negeri yang datang sendiri ke Banyumulek," paparnya. Kini Farhan menampung ratusan perajin di Banyumulek. Ia mempunyai gudang dan kantor pemasaran di sejumlah negara. Selain Amerika Serikat, gerabah Farhan merambah Thailand, Jepang, dan Belanda.

Tapi Farhan masih terus berkarya menciptakan disain-disain baru. Bosan memadukan anyaman rotan pada gerabah, ia mulai mencoba menempelkan cangkang kerang, kulit telur, bahkan kulit jagung pada gerabah. Kulit telur yang selama ini terbuang percuma, kini dapat mempercantik gerabah buatan Farhan. Para perajin gerabah di Kampung Banyumulek pun ramai-ramai menjiplak hasil temuannya. Namun, Farhan tak marah karenanya. Sebab ia yakin, ketika orang lain menirunya, Farhan sudah mampu menciptakan kreasi yang baru.[] fathurrozi


Belajar Membaca
//Utlubul ‘ilma min al-mahdi ila al-lahdi//. Belajarlah mulai dari buaian hingga ke liang lahat. Meski usia Ahmad Farhan terus bertambah namun tak menyurutkan niatnya untuk belajar membaca. Ia tak merasa malu atau minder untuk belajar membaca huruf Arab dan Latin kepada kedua putrinya yang sekarang kuliah program sarjana (S1) dan magister (S2) di salah satu perguruan tinggi di Mataram.

Keinginan untuk bisa membaca muncul ketika ia melaksanakan ibadah haji pada tahun 2002. Pasalnya, saat berada di Mekkah, ia tidak bisa membaca tulisan Arab atau membaca al-Qur'an. "Saya bernadzar kalau pulang nanti akan belajar membaca al-Qur'an," ungkapnya.

Janji yang pernah ia ucapkan di Mekkah itu ia wujudkan. Setiap habis shalat Maghrib Farhan belajar mengaji kepada kedua putrinya. Setelah belajar selama 7 bulan, ia akhirnya bisa membaca al-Qur'an meski belum lancar. "Maklum karena sudah tua, saya sering lupa dengan apa yang saya pelajari," akunya.

Setelah bisa membaca al-Qur'an, Farhan berniat mengulang ibadah hajinya. Pada tahun 2006 ia berangkat menunaikan ibadah haji lagi. Kali ini ia bernadzar belajar membaca dan menulis huruf Latin. "Dari kecil saya tidak pernah sekolah, karena itu saya tidak bisa membaca," paparnya.

Meski Farhan tak berpendidikan, namun ia tak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya. Ia bahkan memotivasi kedua anaknya untuk sekolah setinggi-tingginya meski mereka tinggal di desa. "Sekolah itu penting untuk masa depan anak-anak," ujarnya. Kendati demikian, Farhan tak memanjakan anak-anaknya. Mereka diajari jualan gerabah, menyetrika, dan mencuci pakaian.[] roji

Tidak ada komentar: