Sabtu, 16 Februari 2008

Meretas Mimpi Seorang Sales



Achmad Yani

Achmad Yani Vonda berhasil mendirikan sebuah mebel sederhana di Jogjakarta. Lewat perjuangan panjang dan semangat tinggi, Yani mampu mengantarkan produknya ke manca negara, di antaranya di Kepulauan Murisus, Yordania, Prancis dan Malaysia.

Sejak di bangku sekolah, Yani memang ingin hidup mandiri. Tak heran, ketika dirinya belajar di bangku SMA tahun 1983, ia sudah bekerja sebagai salesman yang menjajakan jenang kudus. Hal ini ia lakukan untuk menambah pengalaman dan menambah uang saku sekolahnya. “Saya cukup menikmati pekerjaan saya ini meski tantangannya besar, terutama saat mencari pasar dari pintu ke pintu,” ungkapnya kepada majalah Gontor saat ditemui di gerai pameran di Jakarta.

Keinginan untuk bekerja sendiri sebenarnya sudah ada sejak ia belajar di Pondok Pesantren Modern Gontor tahun 1982. Karena keinginannya untuk bisa hidup mandiri dan tidak mau bergantung kepada orangtuanya, Yani merasa tidak betah di pondok, lantaran kiriman yang ia dapat kerap tak mencukupi.

“Saya setahun di sana, karena mungkin masih anak-anak, saya pinginnya sekolah sambil kerja, saat itu setiap kiriman kurang kurang, setelah saya pikir saya keluar dan sekolah SMA sambil kerja,” kenangnya.

Profesi sebagai salesman ia jalani selama tiga tahun. Saat itu, ia dipercaya untuk memasarkan jenang kudus ke wilayah Semarang dan Yogjakarta. Menjadi salesman menurutnya adalah sesuatu pekerjaan yang menantang. Sebab harus terjun langsung ke lapangan dan menjualnya secara langsung. “Di sinilah pendekatan kita kepada konsumen teruji,” katanya.

Selain itu, ia juga pernah mengalami musibah dengan barang dagangannya. Suatu hari setelah ia menaruh barang dagangannya di sebuah toko yang ada di Yogja, ternyata toko itu terbakar dan barang-barang yang ada ludes dilalap si jago merah. Tak terkecuali, jenang kudus yang jadi dagangannya hancur tak tersisa. Kendati demikian, ia masih mendapatkan uang pengganti sebesar 50 persen dari pemilik toko yang terbakar.

Membuka Mebel Modal Rp 2 juta

Selama kurang lebih tiga tahun, Achmad Yani Vonda cukup banyak makan garam dari pekerjaannya sebagai sales. Usai menamatkan sekolahnya pada tahun 1986, Yani pun melanjutkan ke perguruan tinggi dan membuka usaha mebel sendiri dari tabungan selama menjadi sales jenang Kudus.

Mebel yang ia rintis awalnya hanya bermodal Rp 2 juta. Modal yang sangat minim itu ia gunakana untuk membuat frame atau pigura dan beberapa kaligrafi kecil serta beberapa produk sederhana seperti kursi dan meja.

Usai kuliah, ia pergi ke tempat ia bekerja. Dengan berbekal beberapa peralatan mebel dan kayu siap pakai, ia membuat beberapa karya untuk dijual di showroomnya. Kegiatan ini rutin ia lakukan setiap hari sehabis belajar di bangku kuliah.

Perjalanan karir dibidang mebel pun hari demi hari mulai menampakkan hasilnya. Ketika pihak kampus mengadakan sebuah pameran. Kesempatan ini tak ia sia-siakan untuk menggeber dagangannya di ajang bergengsi tersebut. Ada keuntungan saat ia mengikuti pameran tersebut, pertama selain untuk ajang promosi ia juga bisa menjual dagangannya di pameran. “Dari pameran ini, saya mulai semangat dan mengenalkan kepada teman-teman tentang produk saya,” ungkapnya.

Keinginan Yani untuk mengembangkan mebelnya tak hanya berkutat di level daerah Yogja semata. Ia ingin hasil karyanya bisa berkibar ke seluruh Indonesia atau ke manca negara. Akhirnya pada tahun 1992, untuk mewujudkan obsesinya, Yani mencoba merantau ke JakartaJakarta. Alhasil, barang dagangannya bisa dikenal dan dikonsumsi oleh konsumen di manca negara, di antaranya kepulauan Murisus, Yordania, Prancis dan Malaysia. dan mendirikan mebel di

Selama membuka di Jakarta, cobaan datang menimpa bisnis mebelnya. Saat itu, ia dipecundangi oleh sopir truk yang mengantarkan barang dagangannya. Yani mengatakan barang yang ia kirim sebanyak 2 truk senilai ratusan juta dikiri ke sebuah sekolah yang ada di Cileduk. Ketika barang sudah diterima, sang pemesan menyerahkan uangnya kepada sopir truk. Ternyata, sang sopir cukup tergiur dengan uang yang ada digenggamannya. Dan sopir pun mengambil setengah dari yang ada untuk dimanfaatkan sendiri. “Di Jakarta perkembangan bagus, namun banyak juga tantangannya di antaranya mafia,” kenangnya.

Selain itu, Yani juga pernah mendapatkan musibah serupa, namun pelakunya bukan orang pribumi, melainkan orang Yordania. Dengan sopan dan santun, orang Yordan menawarkan untuk kerjasama pengiriman mebelnya ke Yordania. Dengan gaya yang sopan dan meyakinkan, akhirnya Yani terpengaruh untuk mengikuti kata-kata orang Yordan. Lalu, Yani mengirimkan barangnya sebanyak satu kontainer ke Yordania namun uang yang diharapkan dan transaksi ini ternyata tidak sesuai dengan kesepakatan awal.

“Ia mengajak saya shalat ke masjid istiqlal, ibadahnya bagus saat itu, ehh diakhirnya ternyata ia pembohong,” kenangnya.

Kendati demikian, Yani tak putus asa. Barang yang ia miliki pasti akan laku. Terbukti, ketika ada pesanan dari Malaysia ia pun langsung memenuhi order tersebut. Di antara hasil karyanya yang sudah dipampang di luar negeri adalah pintu yang ada di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kucing Serawak, Malaysia.

Kaligrafi sebagai Produk Unggulan

Achmad Yani Vonda tak hanya puas dengan mebel yang ia garap selama ini. Guna menambah prestise bisnisnya, ia mencoba menambah koleksi produknya dengan kaligrafi dalam bentuk ukiran kayu. Alhasil, respon pasar ternyata cukup baik dan saat digelar di sebuah pameran di Jakarta beberapa waktu lalu, kaligrafi hasil olahan perusahaannya laku bak kacang goreng.

Untuk membuat kaligrafi yang baik dan benar, Yani merekrut salah satu alumn pondok Modern Gontor bernama Hasan Makmuri. Pasalnya, ia pandai dalam menulis arab dengan berbagai bentuk fariasinya.

Tak hanya puas dengan tulisan tangan, tulisan yang sudah ada diedit di sebuah komputer. Setelah itu di printout lalu diukir di atas kayu jati. Dengan 28 karyawan, kayu-kayu pilihan dipahat sesuai dengan tulisan arab.

Yani mengakui, kalau bisnis kaligrafinya ini dipegang oleh adiknya untuk memudahkan manajemennya. Sedangkan dia sendiri fokus pada produk mebel seperti almari, meja, kursi dan sebagainya. “Kaligrafi cukup rumit karena ini menyangkut ketelitian, jika salah sedikit saja tulisannya maka maknanya akan berbeda,” katanya.

Pernah suatu hari ketika ada pameran besar. Salah seorang penjual kaligrafi hampir menemui kegagalan lantaran tulisan yang diukir ternyata salah, dan si penjual tidak tahu karena ia hanya membeli dari pengrajin lalu dijual. Untung saja, saat itu ia lari ke stand Yani dan meminta barang lainnya. Akhirnya transaksi pun berjalan dengan lancar.

Keunikan kaligrafi yang digarap oleh perusahaan Yani adalah garapannya halus, tulisan menyatu dengan kayu karena dipahat. Berkat keunikan hasil produknya inilah, kaligrafi Yani dibeli oleh Presiden RI kelima, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebanyak tiga buah. “Saya bersyukur karena yang minat dengan barang dagangan saya bukan hanya masyarakat biasa tapi juga presiden, selain itu juga dari beberapa kedutaan dari Timur Tengah” katanya mantab.

Yani mengakui bahwa pasar kaligrafi dalam bentuk ukiran kayu jati ini peluang pasarnya masih sangat bagus. Pasalnya, model kaligrafi seperti yang ia garap masih sangat jarang di pasaran. Meski harga yang dipatok cukup mahal, yaitu antara Rp 400 ribu hingga Rp 3 juta. Namun peminatnya cukup banyak. “Kelas pembeli kaligrafi ini memang untuk masyarakatkelas menengah ke atas,” katanya.

Kendati kaligrafi yang jadi produk unggulannya laku keras, namun Yani masih dihinggapi rasa kurang puas, pasalnya bahan baku seperti kayu jati yang akan diolah saat ini cukup jarang. Hal ini berkaitan dengan adanya kasus pembalakan hutan secara liar oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab alias illegal logging. Ditambah lagi nilai dolar sangat kecil. “Biaya produksi mahal dan nilai tukar uang dolar sangat kecil menyebabkan usaha ini harus bertahan,” katanya pria yang akan menjadikan perusahannya sebagai Trading Company berbendera Putra Ibu.

Semangat Berwirausaha dari Gontor

Sebelum menjadi salasmen, Achmad Yani Vonda belajar di pondok Modern Gontor selama satu tahun. Meski tidak sampai tamat, Yani merasakan pendidikan yang dialaminya selama di pondok cukup membuatnya berbesar hati dan tak mudah pantang menyerah.

Selain itu, Yani merasa termotifasi dengan tausiyah yang sering disampaikan oleh almarhum KH Imam Zarkasyi yang berbunyi Jangan mencari pekerjaan tapi ciptakan lapangan pekerjaan.” Ungkapan inilah yang kerap menjadi cambuk kecil dalam diri Yani untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu mempunyai usaha sendiri.

Selain itu, Yani juga sangat terkesan dengan disiplinnya yang diterapkan di pondok Gontor. Dengan disiplin tinggi dan ketat, Yani merasa mendapatkan gemblengan yang berarti untuk langkah masa depannya. Meskipun ia menyadari kalau dirinya kerap disanksi lantaran sering melanggar peratuan pondok, semisal melanggar bahasa.

Petuah yang disampaikan oleh kyai Zarkasyi telah meneguhkan hatinya untuk terus mewujudkan cita-citanya. Dalam hidupnya, ia tak ingin menjadi karyawan, tapi ia ingin mempunyi karyawan dan usaha sendiri. Alhasil, setelah tiga tahun menjadi salesman freelance, ia melanjutkan usahanya membuka usaha mebel sembari kuliah.

Tahun itu juga, Yani melanjutkan kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Yogjakarta jurusan Manajemen Perusahaan. Jurusan ini ia pilih untuk mempersiapkan membuka usaha sendiri di kemudian hari sebagaimana cita-cita dalam hidupnya. “Bagi saya, kuliah bukan mencari titel atau pekerjaan, tapi kuliah untuk mencari ilmu dan bekerja untuk mencari ilmu,” paparnya mantab.

Tidak ada komentar: