Kamis, 07 Februari 2008

Pesantren Harus ke Tengah

AMIN HAEDARI
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama (DEPAG)

Pertemuan Ciawi pada pertengahan 2007 lalu menjadi moment penting bagi keberlangsungan sistem muadalah (program penyetaraan) yang diberlakukan di sebagian pesantren di Indonesia. Pasalnya, pemerintah berencana menghapus muadalah dan menjadikan pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).

Lahirnya peraturan pemerintah nomor 55 tahun 2007 juga menjadi senjata baru bagi pesantren untuk memiliki legalitas hukum di dunia pendidikan. Selama ini, pesantren yang belum membuka madrasah hanya memiliki ijazah yang disetarakan (muadalah) yang hanya dikeluarkan oleh Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Diknas. Ke depan, itu tidak berlaku lagi karena ijazah yang dikeluarkan pesantren sama kekuatannya dengan ijazah yang dikeluarkan madrasah atau sekolah pada umumnya.

Taka hanya masalah ijazah pesantren. Saat ini pesantren juga disoroti karena kualitas outputnya kurang berkualitas. Ada kesan, pesantren hanya berkutat masalah pendidikan agama an-sich. Padahal permasalahan di masyarakat cukup kompleks dan membutuhkan solusi yang beragam pula. Karena itu, wartawan Majalah Edukasi, Fathurroji NK menemui Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama (DEPAG), Amin Haedari untuk mencari informasi seputar arah pendidikan pesantren ke depan. Di bawah ke mana arah pendidikan pesantren? Ikuti wawancaranya.

Bagaimana sistem muadalah pesantren selama ini?

Muadalah itu salah satu alternatif pengakuan dari pemerintah terhadap lulusan pesantren yang sudah menyelenggarakan sistem klasikal, tapi pelajaran agama yang dominan karena mereka happy di bidang agama. Adapaun ijazah yang dihasilkan dari pesantren muadalah disetarakan oleh Dikdasmen Diknas, dan kekuatan legalnya memang belum kuat di banding peraturan menteri.

Apa rencana pemerintah ke depan dengan pesantren muadalah?

Pemerintah dalam hal ini Depag dan Diknas sedang menggodok aturan yang tertuang dalam peraturan pemerintah no 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Pendidikan agama lebih banyak pada materi pelajaran agama, seperti pelajaran agama yang ada di sekolah. Tapi kalau keagamaan lebih pada institusinya seperti taman pendidikan al-Qur’an, pesantren, majelis taklim dan lainnya.

Ada apa dengan peraturan tersebut?

Dengan adanya aturan ini, nantinya pesantren menjadi terakomodir keberadaannya. Meski selama ini keberadaan pesantren di masyarakat sudah eksis namun keberadaannya masih belum terakomodir dalam undang-undang.

Maksudnya?

Dengan adanya peraturan ini, otomatis tidak ada lagi istilah muadalah, yang ada pendidikan keagamaan formal sebagaimana pesantren. Dan ijazah yang dikeluarkan dari pesantren tersebut sudah sama dengan sekolah pada umumnya. Muadalah itu kan kebijakan saja yang dilakukan oleh Dikdasmen. Saat ini pihak Depag telah bekerja sama dengan pihak Diknas untuk menggodok aturan ini menjadi peraturan pemerintah. Nantinya pesantren menjadi bagian dari Sisdiknas, dan tak lagi menggunakan muadalah.

Apakah ini berarti pesantren nantinya mengikui ujian nasional?

Ya, dalam PP ada semacam ujian nasional. Pesantren yang menyelenggarakan program ini tetap menggunakan kurikulum khas pesantren yang selama ini berlaku, dengan menambah beberapa mata pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan umum lain, yaitu Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa Inggris diberikan melalui penyediaan buku-buku perpustakaan atau penugasan dan bimbingan.

Setiap pesantren berhak untuk mengatur dan menentukan jadwal pendidikan serta proses pembelajaran sesuai dengan kebiasaan, tradisi, serta kondisi setempat. Metode pembelajaran yang telah berlaku di pesantren dapat di pergunakan untuk mengajarkan mata pelajaran umum.

Bagaimana standar ujiannya?

Mengenai standar kualitas ujiannya, ini tugas pemerintah bersama BNSP untuk menyesuaikan standar kualitas ujiannya.

Kapan aturan ini resmi dikeluarkan?

Paling lambat 2 tahun ke depan.

Bagaimana tanggapan para kyai dengan program ini?

Tanggapan para kyai cukup responsif. Bahkan pada akhir Juni 2007 telah dilakukan diskusi dengan para kyai yang menyelenggarakan program muadalah. Sebenarnya kita tidak mengubah yang ada, tapi mengalihkan istilahnya dan memberikan kekuatan hukum terhadap keberadaan pesantren ini. Karena kalau muadalah masih disetarakan, dengan adanya aturan ini nantinya akan sama dan bukan setara lagi. Dengan adanya PP ini lebih menguntungkan bagi pesantren. Dan legalisasi outputnya juga lebih kuat.

Ada berapa pesantren muadalah saat ini?

Saat ini pesantren muadalah hanya ada 32 pesantren. Karena yang lainnya sudah menjadi madrasah. Kalau sudah madrasah tidak perlu muadalah. Karena madrasah sudah jelas sekolah sebagaimana yang ada. Justru yang murni pesantren dan tidak ada madrasahnya itu memang sedikit. Dan memang harus ada mempertahankan model keagamaan. Sebab jika modelnya madrasah semua maka siapa yang akan jadi ulama.

Bagaimana perkembangan pesantren secara umum saat ini?

Bisa kita lihat dari berbagai aspek, memang dari segi kuantitas jumlah pesantren terus ada peningkatan hingga 14.600 pesantren dengan jumlah santri sekitar 4 juta orang. Artinya dilihat dari segi jumlah, lembaga ini cukup signifikan. Dari segi aspek santri, memang disatu sisi ada keluhan pesantren surut tapi bukan berarti minat terhadap pesantren surut tapi karena jumlah pesantrennya yang meningkat. Misalnya saja Gontor saja sekarang cabangnya berapa, artinya sekarang sudah tidak terkonsentrasi dan terpecah ke daerah-daerah.

Saat ini pesantren cukup kompetetif. Orangtua sudah melihat kualitas pesantren yang baik. Pesantren juga mempunyai kekuatan baru, yaitu kekuatan riil yang muncul dari masyarakat sehingga pesanten bisa berkembang hingga saat ini, dan kekuatan yang muncul dari undang-undang no 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Di mana pesantren menjadi bagian dari Sisdiknas, dan tak lagi menggunakan muadalah.

Bagaimana pendapat bapak tentang pesantren modern dan tradisional?

Saya kurang sependapat dengan istilah pesantren tradisional atau modern. Karena ada pesantren yang tidak membuka sekolah tapi lebih maju dan modern, seperti di Parung milik Assegaf, di mana penguasaan terhadap bahasa, teknologi juga bagus. Seperti juga Sidogiri, Ploso dan lain. Karena itu saya membagi pesantren menjadi dua, yaitu pesantren yang sudah membuka sistem madrasah dan pesantren yang belum membuka sistem madrasah. Persoalan modern tidak modern itu bisa saja dimiliki oleh semua pesantren. Jadi seakan yang tradisional itu kesannya tertinggal padahal tidak.

Menteri Agama pernah menyatakan, kalau pemerintah memiliki dosa terhadap pesantren. Bagaimana menurut bapak?

Ya, memang diakui memang perhatian pemerintah terhadap pesantren baru muncul akhri-akhir ini, setelah pesantren mulai terbuka. Awalnya sebagian pesantren tertutup dengan pihak luar. Bahkan ketika kita mau menyelenggarakan program pemerintah wajib belajar banyak ditentang, tapi alhamdulillah sekarang sudah banyak diikuti. Begitu juga pesantren yang menyelenggarakan keterampilan di dalam pesantren awalnya juga kurang direspon. Seperti yang terjadi pada masa Mukti Ali. Saat itu program ketrampilan sudah dicanangkan tapi perkembangannya kurang diminati, dan kurang direspon. Berbeda dengan sekarang, pesantren sudah mulai terbuka dan menerima program-program dari luar pesantren.

Sebenanrya apa masalah utama dalam pesantren?

Sebenarnya masalah utama yang terjadi di pesantren adalah masalah sumber daya manusia (SDM), kalau persoalan fisik pesantren sudah hebat, melalui swadaya masyarakat pesantren memiliki bangunan yang tak kalah dari sekolah pada umumnya. Namun pada sisi SDM diakui sangat kurang. Ketrampilan untuk mengelola dan wawasan untuk peningkatkan pesantren sangat kurang.

Lalu apa langkah Depag melihat ini?

Langkah kami selama 3 tahun terakhir ini telah memberikan beasiswa kepada santri-santri untuk kuliah di perguruan tinggi negeri. Setelah belajar dan lulus dari perguruan tinggi, mereka wajib kembali ke pesantrennya masing-masing untuk meningkatkan kualitas SDM pesantrennya. Semacam ikatan dinas begitu.

Selama tiga tahun ini bagaimana lulusan yang mendapatkan beasiswa dari Depag?

Sangat bagus. Bahkan IP para mahasiswa angkatan 2005 hingga 2007 di atas 3, bahkwan ada yang mencapai 4 di bidang kedokteran. Sebenanrya mereka memiliki potensi yang sanagt besar dan tak kalah di banding dengan para mahasiswa yang berasal dari sekolah umum bahkan unggulan.

Selain beasiswa, program apa yang ditawarkan Depag untuk meningkatkan kualitas pesantren?

Untuk meningkatkan dan menjaring potensi yang ada di pesantren, kami sering melakukan pelatihan-pelatihan yang mengarah pada penguasaan skill. Misalnya, bagaimana pesantren mengolah hasil pertanian, peternakan, agrobisnis, peternakan, kerajinan tangan, dan lain sebagainya. Jadi potensi-potensi pesantren sebenarnya sangat bagus jika mau digali.

Depag telah melakukan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi negeri ternama, misalnya dengan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya berupa program community college. Program ini dimaksudkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian terhadap santri lulusan SLTA yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kedua, memperluas akses dan kesempatan bagi santri untuk mengisi kebutuhan tenaga terampil pada bidang tertentu yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Dan ketiga memperkuat posisi pesantren sebagai pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Program community college disamping untuk memperluas akses dan mengejar ketertinggalan kalangan pondok pesantren dalam penguasaan sains dan teknologi, juga dalam rangka membangun citra (image building) di masyarakat, bahwa alumni pondok pesantren adalah benih unggul yang siap ditanam di mana-mana. Lebih dari itu diharapkan agar bibit unggul tersebut hidup, tumbuh, dan berkembang serta memberikan manfaat yang setinggi-tingginya terhadap lingkungan sosialnya.

Apa tidak menyimpang dari tugas pesantren yang fokus mendalami ilmu agama?

Tidak. Kita harus lebih luas memahami ilmu agama. Agama tidak hanya masalah ibadah mahdlah saja. Di antara perintah agama adalah perintah untuk memberi zakat dan bukan menerima zakat. Artinya harus kaya. Menjadi kaya menjadi perintah agama. Jadi fungsi ekonomi dalam agama sangat penting, sebab tanpa ekonomi yang baik maka akan bisa mempengaruhi proses pendidikan.

Saat ini, ketrampilan itu sudah menjadi kebutuhan, karena itu pemahaman yang sifatnya kurang pas harus diluruskan. Jadi jangan terjebak dengan ibadah yang diartikan secara sempit seperti hanya shalat, puasa, haji, zakat. Padahal ada hal-hal lain yang sebenarnya juga anjuran agama. Jadi ke depan, kurikulum pesantren harus mengikutkan skill.

Pesantren sendiri sebenarnya memiliki kaidah yang sangat profesional. ”Barangsiapa yang ingin sukses di dunia harus dengan ilmu, ingin sukses di akhirat harus dengan ilmu, ingin sukses keduanya juga dengan ilmu”. Kaidah itu sudah tidak asing di pesantren. Artinya semua jenis tindakan yang dilakukan harus berdasar ilmu, sebab kalau tidak maka tunggulah saat kehancurannya.

Bagaimana fungsi pesantren ke depan?

Ke depan pesantren hendaknya menjalankan tiga fungsinya yaitu sebagai lembaga yang melahirkan tokoh agama karena pesantren harus menjalankan amanah itu, sebab kalau tidak, bukan lagi pesantren. Kedua, pesantren harus kompetitif dengan kebutuhan masyarakat maka harus ditingkatkan kualitas pendidikannya. Jika pesantren mau berhasil membangun masyarakat maka pendidikannya harus diperhatikan. Karena kebutuhan di masyarakat sangat kompleks tidak hanya agama saja. Dan ketiga, pesantren harus meningkatkan keterampilan hidup. Artinya para santri juga harus mempersiapkan ketrampilan sebelum terjun di masyarakat. Saya sering mengatakan kepada para kyai, disatu sisi pesantren mengatasi masalah di masyarakat tapi disisi lain pesantren juga menjadi bagian dari masalah di masyarakat.

Pesantren menjadi masalah di masyarakat?

Ya, karena sebagian outputnya yang kurang berkualitas di masayarakat ini juga menjadi masalah di masyarakat. Karena itu pesantren harus tertantang untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Pesantren yang semula menitikberatkan konsep pendidikan keagamaan, harus melakukan ekspansi menuju peran social kemasyarakatan. Karena peran sosial-kemasyarakatan merupakan upaya penjabaran nilai-nilai keagamaan bagi kemaslahatan masyarakat.

Bisa dijelaskan dalam tataran riilnya?

Jadi, dalam tataran riilnya, pesantren tidak hanya berbicara ilmu hadis, tafsir, taharah, hafalan alfiyah dan sejenisnya, namun juga mampu mendiskusikan persoalan sosial seperti pengentasan kemiskinan, kebodohan, kekerasan, ekonomi, dan lain sebagainya. Di samping itu pesantren diharapkan mampu memberikan bekal bagi santrinya berupa kemampuan life skill seperti teknologi informatika, welding (pengelasan), perbengkelan serta kemampuan-kemampuan lain yang dinilai bermanfaat bagi kehidupan santri.

Lalu bagaiman Bapak akan membawa pesantren di Indonesia ini?

Saya mencoba menarik pesantren dari pinggir ke tengah. Karena saya yakin, potensi yang dimiliki pesantren sangat besar, namun potensi ini masih belum banyak digali dan diberdayakan. Untuk itu salah satu usahanya adalah memberikan beasiswa kepada santri berkualitas untuk belajar di PTN. Terbukti kualitasnya jauh di atas rata-rata. Dan memberikan pelatihan-pelatihan untuk menunjang peningkatan wawasan SDM di pesantren.

Sekilas tentang Amin Haedari

Amin Haedari. ia dilahirkan di Ciamis pada 12 Juni 1956 dari buah cinta KH Ahmad Misbah dengan Maimunah. Pria berdarah Sunda ini sejak kecil sudah bergelut di dunia pesantren. Bahkan saat masih kelas enam SD ia sudah menamatkan kitab Alfiyah.

Amin dibesarkan oleh keluarga pesantren. Ayahnya sebagai kyai di pondok pesantren Manbaul Ulum, Ciamis, Jawa Barat. Lewat didikan ayahnyalah, Amin mendapatkan banyak inspirasi. Karenannya tak heran jika pria ini berbicara tentang pesantren maka ia mengetahui cukup banyak mulai dari sejarah, permasalahan yang ada di pesantren dan perkembangannya.

Sejak kecil, Amin sudah menguasai beberapa kitab. Tak jarang ketika ia sekolah di luar pesantren, ia kerap berdebat tentang bacaan bahasa Arab, terutama tentang balaghah, mantiq atau lainnya. Tak jarang pula ia harus dikeluarkan dari kelas karena berani mendebat sang guru di kelas.

Amin kecil juga pernah dilerai gara-gara berdebat tentang adanya surga dan neraka dengan gurunya. Perdebatan memanas hingga salah seorang guru menengahi diskusi tersebut.

Amin menyelesaikan kuliahnya di IAIN Yogjakarta jurusan Sastra Arab. Usai menamatkan kuliahnya, ia aktif di salah satu LSM yang bergerak di dunia pesantren. Dari kegiatan di LSM inilah, ia merasa banyak menemukan kekurangan yang ada dalam tubuh pesantren pada umumnya. Maklum, selama di LSM, salah satu kegiatannya meneliti perkembangan dari pesantren ke pesantren.

Amin juga beberapa kali bekerja sama dengan pemerintah menyosialisasikan program pemerintah di pesantren. Misalnya program Keluarga Berencana dengan BKKBN atau program belajar 9 tahun dengan Diknas. Amin berkecimpung di LSM sekitar 15 tahun.

Sejak aktif di kegiatan LSM, Amin kerap bertemu dengan kyai-kyai besar, seperti Ali Yafi, Sahal Mahfud, dan lain sebagainya. Dari situlah, Amin banyak belajar dari pengalaman para kyai.

Hingga suatu saat, ayah dari tiga anak ini berkeinginan mengikuti tes menjadi pegawai Depag pada tahun 1994. Setelah melalui tes, akhirnya ia diterima menjadi Pegawa Negeri Sipil (PNS) di Depag. Saat itulah ia ditugaskan di bagian Litbang Depag. Bekal yang sudah ia punya selama menjadi LSM cukup membantu kerjanya. Bahkan kegiatan penelitian di pesantren semakin sering.

Kini, suami dari Windarini ini mendapatkan amanah menjadi Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama (DEPAG). Hari-harinya dihabiskan untuk mengabdikan diri di dunia pesantren. Bahkan selama menjadi direktur, ia merasa tak pernah libur, pasalnya kegiatan yang kerap dilakukan di pesantren pada hari libur seperti Sabtu dan Minggu. Otomotis, ia pun merelakan hari liburnya untuk pesantren. [] roji

Tidak ada komentar: