Sabtu, 09 Februari 2008

Kuli Jadi Juragan Konveksi


Safrudin Mansyur

Merintis bisnis konveksinya sejak masih nyantri di Gontor, Safrudin Mansyur kini sudah mempunyai satu toko di pasar Tanah Abang dan tiga toko di Palembang. Buah dari kesabaran, fokus, dan keberanian untuk mencoba.

Delapan tahun yang lalu, ketika liburan pondok tiba, Safrudin menyempatkan diri berjalan-jalan di pasar Tanah Abang, Jakarta. Di pasar grosir terbesar di Indonesia itu, Safrudin bertemu dengan Rustam Efendi—seorang wali murid yang anaknya juga mondok di Gontor. Kepada Safrudin, Rustam berpesan, “Kalau mau sukses, datanglah ke Jakarta,” ujar Rustam yang kebetulan memiliki toko di Tanah Abang.

Tak dinyana, sepenggal nasehat itu begitu membekas pada hati Safrudin. Lelaki kelahiran Muara Tungka, 21 Juli 1979 ini diam-diam menyimpan tekad untuk mencoba peruntungannya di Jakarta. Ia ingin sukses. Tapi karena masih duduk di kelas V Gontor (setara SLTA kelas II), terpaksa ia harus bersabar untuk merealisasikan tekadnya itu.

Baru ketika liburan pondok datang lagi, di bulan Ramadhan, Safrudin kembali datang ke Tanah Abang. Kembali ia datang toko milik Rustam. Tujuannya bukan untuk mencari pekerjaan, tapi mencari pengalaman dan mengetahui seluk-beluk bisnis konveksi di Tanah Abang. Di pasar yang baru dipugar itu, Safrudin seperti mulai membuka jalan suksesnya sendiri.

Maka mulailah ia dari nol. Ia menjadi kuli panggul yang pekerjaannya mendorong gerobak kain, membongkar muatan, memanggul barang hingga menatanya. Semua ia lakukan dengan semangat. “Dari situ saya banyak mengenal pedagang di Tanah Abang sekaligus seluk beluk bisnisnya,” ujar Safrudin.

Selepas bulan Ramadhan, anak asal Palembang ini kembali melanjutkan studinya di Gontor. Tapi dasar darah dan semangat bisnisnya sudah menggumpal, di sela-sela kesibukannya sebagai santri, Safrudin masih sempat-sempatnya menjual berbagai baju dari Tanah Abang ke pasar-pasar di Ponorogo. Lagi-lagi, ia melakukannya ketika hari libuar pondok (Jum’at). Alumni Gontor tahun 2002 ini bahkan pernah memasarkan barang-barangnya ke kota Solo.

Sayang, sepak terjang Safrudin ini akhirnya berhenti. Suatu hari K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, pimpinan Pondok Modern Gontor, memberikan wejangan di depan santri-santri. Ia mengatakan bahwa pondok bukan tempat untuk berbisnis, tapi tempat untuk berjuang dan menimba ilmu. Mendengar tausiyah itu, Safrudin pun mundur teratur menyudahi bisnis sampingannya itu.

Dari La Tansa ke Tanah Abang

Tahun 2000 Safrudin akhirnya lulus dari Gontor. Ia sungguh merasa bangga dan bahagia karena mampu menamatkan pendidikannya di Gontor. Kebahagiaan ini bertambah ketika almarhum KH. Imam Badri berkata, “Anda diberi amanat untuk mengabdi di Gontor.”

“Saya meneteskan air mata. Saya bangga diberi kepercayaan untuk mengabdi di Pondok. Terlebih, saya diberi amanah untuk mengelola bisnis di La Tansa (toko buku dan klontong milik Pondok yang terletak di kota Ponorogo—red.). Dari La Tansa saya banyak belajar berbisnis,” akunya.

Setelah satu tahun mengabdi, Safrudin mulai gundah. Ia sadar ia datang dari keluarga besar. Ia kelima dari sembilan bersaudara dengan empat adik yang masih membutuhkan biaya sekolah. Sebagai anak yang baik, Safrudin ingin segera bekerja dan membiayai kebutuhan adik-adiknya. Keputusanpun ia ambil: meminta izin pimpinan pondok untuk keluar dari Gontor.

Anehnya, ketika ia pulang kampung menemui orangtuanya, kedua orangtuanya malah memintanya kembali di Gontor. “Jangan pikirkan keluarga di rumah, kembalilah belajar di Pondok,” tegas orangtua Safrudin.

Safrudin memang kembali ke Gontor (La Tansa), menuruti permintaan orangtuanya, tapi hanya untuk enam bulan. Setelah itu, Safrudin kembali mengikuti jalan-jalan sukses yang pernah dirintisnya.

Tahun 2003, ia memutuskan untuk merantau di Jakarta. Sebagai kuli panggul, demikian ia memulai pekerjaannya di Jakarta. Ia tidak merasa gengsi menjadi pekerja kasar di Tanah Abang. Ia justru merasa bangga karena bisa mandiri dan tidak bergantung kepada orangtua. “Saya kembali ke tempat dulu saya berkerja. Dan seperti biasa, pekerjaan kasar yang dulu saya lakukan terulang lagi. Panggul barang, dorong gerobak, jaga toko, bahkan saya mulai belajar berbisnis,” kilahnya.

Bedanya dengan dulu, kata Safrudin, ia merasa lebih leluasa mengembangkan dirinya. Sembari bekerja ia terus belajar dari apa yang dikerjakannya. Dari jaga toko, menjahit, membordir, melihat barang konveksi, hingga memasarkannya. Setiap malam, ia tidur diantara tumpukan barang yang ada di tempat produksi. Di situlah ia belajar dari karyawan-karyawan produksi. “Saya coba tidur di atas jam 12 malam agar saya bisa belajar dengan mereka,” kenangnya.

Ketika ia sibuk belajar tentang konveksi, terlintas dibenaknya mahfudhot klasik di kalangan pesantren, “Jarrib walaahidz takun ‘aarifan”—Cobalah dan perhatikan, maka kau akan tahu. Pesan ini dijabarkan Safrudin dalam berbisnis juga, bahwa berbisnis tanpa mencoba hanya omong kosong belaka.

Setelah beberapa bulan bekerja dan belajar di Tanah Abang, Safrudin kemudian memutuskan untuk membuka sendiri bisnis kecil-kecilan. Tapi yang digarap pertama kali bukan Jakarta, tapi Palembang—daerah asalnya. Berbekal modal

hutang dari teman-temannya sebanyak Rp 900 ribu, suami dari Nur Haida ini memulai tekadnya merengkuh kesuksesan di bisnis konveksi. Dengan modal yang mepet itu, mula-mula ia membelikan bahan-bahan blues di Tanah Abang dan mengirimkannya ke di Palembang untuk dijual. Meski pada mulanya kurang lancar—barang baru habis setelah satu bulan lebih—tapi Safrudin tidak mau menyerah begitu saja.

Hasilnya, dengan dana patungan keluarga, Safrudin akhirnya bisa menyewa toko seharga Rp 4,5 juta per tahun di pasar 16 Hilir. Dan bukan hanya itu, ia juga bisa membayar sewa toko dan mendirikan toko kedua dan ketiga di Palembang. Ia menamakan tokonya “MEDIA”, singkatan dari “Mencari Dengan Izin Allah”. Sebuah cerminan dari prinsip hidup dan bisnis Safrudin sekaligus.

Merasa sukses membuka toko konveksi di kota empek-empek, Safrudin mencoba kembali peruntungannya di Tanah Abang. Saat itu ia hanya bisa menyewa satu toko tok, sedang barang-barang yang mau dijual tidak ada. Tapi berkat kenalannya, Safrudin akhirnya dipercaya oleh seorang pedagang untuk mengambil satu kodi (20 buah). “Barang tersebut saya pasang semua di toko. Padahal, saat itu belum ada patung untuk memajang baju. Patung pun saya hutang tiga biji,” ucapnya.

Hari pertama ia membuka toko, respon pembeli ternyata positif. Meski hanya satu motif baju yang dipasang, tapi pembelinya cukup banyak. Dalam sehari omsetnya mencapai Rp 750 ribu. Hari kedua mencapai Rp 800 ribu. Hari-hari berikutnya omset Safrudin mencapai Rp 600 ribu hingga Rp 1,4 juta per hari. Ia pun terus berdoa, “Ya Allah, jika di sini ada rezeki saya, maka bukakanlah pintu rezeki itu,” pintanya kepada Sang Khalik.

Suatu hari, seorang pembeli melihat-lihat barang dagangannya. Pembeli itu meninggalkan tokonya dengan ungkapan klasik para pembeli, “Jika saya berminat, nanti saya akan kembali lagi,” ujarnya.

Namun dalam hati, Safrudin berdoa, “Ya Allah jika ia membawa rezeki untuk saya, kembalikanlah ia ke toko ini.” Ternyata, pembeli itu benar-benar datang kembali dan memesan pakaian dengan total harga Rp 45 juta!

Safrudin gemetar dan terharu mendapatkan order sebesar itu. Ia tak menyangka sebelumnya. Padahal barang yang dipesan hanya ada 30 persen-nya saja di Tanah Abang. Untuk melengkapinya, Safrudin harus pergi ke Tasikmalaya untuk mencari motif yang dipesan. Dan parahnya, ia tidak memegang banyak uang untuk membayar uang muka pesanannya.

Kepada setiap calon pedagang ia mengatakan sejujurnya bahwa ia mendapatkan pesanan besar, tapi tidak punya uang muka untuk membayarnya. “Kang, saya butuh barang. Saya mau belanja, tapi saya tidak punya duit. Kalau Anda percaya sama saya, kasih barang. Kalau tidak, jangan! Atau jika ragu-ragu, jangan! Prinsip saya: haram bagi saya makan hak orang lain,” demikian ucapan Safrudin kepada setiap pedagang akan ia ajak kerjasama.

Berkali-kali ia ditolak sampai akhirnya ia dipercaya oleh seorang pedagang yang memang sudah lama bergelut di bisnis konveksi. Esoknya, pembeli yang memesan barang itu mengabarkan akan mentransfer uangnya. Kembali Safrudin bingung. Ia ternyata belum memiliki rekening di bank! Setelah membuka rekening dengan uang yang tersisa di tangannya, akhirnya uang Rp 45 juta ditransfer ke rekening barunya. Ini pengalaman yang terlupakan bagi Safrudin.

Kini, seiring berjalannya waktu, bisnis Safrudin makin berkembang besar. Apalagi, ketika kiprahnya ditulis oleh sebuah majalah ibu kota. Namanya makin dikenal saja dan pelanggannya pun terus berkembang. Tidak hanya dari Jakarta, tapi juga datang dari Sulawesi, Aceh, dan daerah-daeran lain. Menjelang lebaran ini, ia mengaku bisa menjual barangnya hingga Rp 35 juta sehari dengan keuntungan sebesar 30 persen.

Ke depan, Safrudin berencana untuk membuka satu toko lagi di Tanah Abang dan Aceh. “Saya merasa bermimpi. Saya jadi ingat, kalau Allah memberi rezeki, rezeki itu seperti air bah,” ujar lelaki yang biasa dipanggil “Buya” di kawasan pasar Tanah Abang, sumringah. [] roji

Tidak ada komentar: