Senin, 11 Februari 2008

Guru Ngaji Jadi Bos Haji

Imam Bashori

Berawal dari guru ngaji, Imam Bashori sukses meretas bisnis haji. Multazam Tour, perusahaan yang ia dirikan, telah memberangkatkan ribuan jamaah haji. Hasil kerja keras dan semangat tinggi.

Pada tahun 1983, Imam Bashori hanyalah seorang perantauan di Jakarta. Ia tidak punya pekerjaan tetap. Tapi dengan bekal ilmu agama yang ia miliki selama belajar di PGA (Pendidikan Guru Agama) Kediri, Bashori sehari-hari menjadi seorang ustadz di sebuah masjid di Matraman, Jakarta Pusat. Pria kelahiran Kediri, 10 Februari 1962, ini selalu membaca buku-buku agama sebelum mengisi pengajian di masjid tempatnya tinggal. “Saya bersyukur bisa tinggal di rumah dekat masjid, dan gratis,” kenangnya.

Namun Bashori tidak hanya mengisi pengajian di masjid. Lelaki yang juga pernah belajar di Mekkah, Arab Saudi, selama tiga tahun ini juga kerap dipanggil jamaah untuk mengajar privat di rumah. Dengan sistem seperti itu, jamaah merasa lebih leluasa bertanya apa saja tentang Islam.

Nah, lama-kelamaan, dari aktivitas mengajarnya, Bashori memiliki jaringan dan kenalan orang-orang mapan. Dari sinilah ia terdorong untuk mencoba bisnis kecil-kecilan dengan memanfaatkan jaringan yang ia miliki. Pilihannya jatuh pada bisnis jual-beli buku agama. Mulai al-Qur’an hingga tema-tema pengajian.

Tapi karena modalnya cekak, Bashori mengaku tidak bisa banyak //kulakan// buku di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Paling, sekali belanja ia hanya menghabiskan Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu atau setara dengan 4 sampai 5 buku pada waktu itu.“Saya jual buku ke jamaah. Kadang ada yang membeli lebih, kadang juga hanya pas untuk transport,” kata bapak empat anak ini mengenang.

Baginya, berjualan buku hanyalah pekerjaan sampingan. Ia menawarkan bukunya setiap selesai mengajar atau mengisi pengajian.

Pada tahun 1987 Bashori menikah dengan Winarti. Diapun mulai merasakan tanggung jawab yang diembannya kian bertambah. Inilah yang mendorong dirinya untuk mencari rezeki tambahan selain berjualan buku. Untunglah, H Abdul Mutif, salah seorang jamaahnya di Klender, menawarinya menjadi //sales// sepatu.

Tanpa menunggu lama, meski tidak pernah menjadi //sales//, tawaran itu diambil Bashori. Ia pun diajak keliling ke tempat-tempat pembuatan sepatu di Sukabumi dan Bogor. “Dari sana kami membandingkan dengan produk-produk lain. Dari soal harga, tenaga kerja, bahan, kualitas, pemasaran dan lain-lain,” ujarnya.

Selama menjadi //sales// sepatu, setiap hari, Bashori harus menyetir mobil boks yang berisi sepatu dan menawarkan ke toko-toko sepatu. Ia juga harus menagih hasil dagangannya setiap kali jatuh tempo. Tapi karena memang bukan bidangnya, ia akhirnya mengundurkan diri. ”Saya sadar ini bukan bidang saya,” tandasnya. Bashori akhirnya memilih menjadi sopir taksi //Blue Bird//. Kebetulan ia bisa menyetir mobil dan memiliki perlengkapan mengendarai mobil.

Mula-mula pekerjaan menjadi sopir terasa nyaman. Namun setelah dijalani, ada satu hal yang mengganjal hati kecil Bashori: pekerjaan sopir taksi ternyata banyak menyita waktunya. Ia terpaksa harus sering pulang malam sehingga tidak sempat memberikan pengajian kepada jamaahnya. Dari sinilah hati kecilnya memberontak. Bashori merasa tidak rela meninggalkan jamaahnya.

“Sebelumnya saya punya kebiasaan mengajar pada malam hari, tapi sekarang hanya berada di belakang setir. Akhirnya saya putuskan untuk pindah kerja lagi,” katanya. Bashori akhirnya kembali menjadi //sales// sepatu. Tapi tidak seperti sebelumnya yang harus mengantar ke toko-toko. Kali ini ia membuka toko di daerah Gembrong, Jakarta Pusat. Modalnya hanya Rp 2 juta, yang ia dapatkan dari pinjaman H Abdul Mutif.

Dengan kondisi seperti itu, Bashori memiliki kesempatan lagi untuk mengajar pengajian kepada jamaahnya. “Ketika berada di toko sepatu, saya punya waktu banyak untuk mengajar. Bahkan, lebih aktif di banding sebelumnya,” katanya.

Pada tahun 1992, keluarga Bashori yang sebelumnya tinggal bersama mertua pindah ke kawasan Sunter, Jakarta Utara. Ia mengontrak rumah selama 5 bulan. Eh, namanya juga rezeki. Pak Nurudin (almarhum), pemilik kontrakan, malah menawari untuk mengkredit rumahnya, semampu Bashori. Syaratnya: Bashori harus mengisi pengajian di masjid depan rumah.

Selain menawari kredit rumah, Pak Nurudin juga memberi pekerjaan Bashori berupa jualan teh hijau ke koperasi-koperasi di Jakarta. Waktu itu, teh hijau memang masih jarang di pasaran. “Awalnya banyak koperasi yang tidak mau. Tapi saya tawarkan terus. Yang pertama menerima adalah koperasi di Bank Indonesia (BI), dengan sistem konsinyasi,” kenangnya.

Setelah koperasi BI menerima barangnya, ia terus bergerilya ke koperasi-koperasi perkantoran pemerintahan. Bashori akhirnya berhasil memasukkan teh hijaunya ke koperasi Indosat, Departemen Perhubungan, Departemen Dalam Negeri, Bulog, dan Pertamina. Hingga beberapa bulan ia mampu memasok sekitar 30 koperasi.

Tidak berhenti pada teh hijau, dalam perjalanannya, ternyata banyak koperasi yang tertarik memesan order jajanan. “Ternyata teh hijau hanya sebagai pintu masuk untuk bisa mengembangkan bisnis yang lain,” ujarnya. Saat Ramadhan tiba, pesanan dari koperasi meningkat hingga 100 persen. Bashori pun kebanjiran order kue, kurma, kacang, roti, dan lain sebagainya.

Sampai-sampai motor //Vespa//-nya tak cukup lagi mengangkut barang pesanan. Ia akhirnya membeli sebuah mobil //Suzuki Trontong// seharga Rp 1 juta. “Mobil itu masih memakai oli samping. Saya ambil barang sendiri, kemas, dan antar sendiri,” jelasnya. Untuk pesanan kacang saja, Bashori mengaku bisa mengantar hingga 3 ton. Padahal, harga satu kilogramnya mencapai Rp 10 ribu.

Dari hasil pesanan itu, Bashori meraup keuntungan bersih 10 sampai 20 persen. Dan alhamdulillah, bisnis kecil-kecilan Bashori ini semakin sukses. Hasil yang paling kelihatan, ia akhirnya bisa menunaikan ibadah haji.

Pada saat itulah dia memohon agar diberi kesempatan untuk sering datang ke Tanah Suci. Doa yang dipanjatkan di Multazam itu ternyata makbul. Marzuki, salah seorang jamaahnya yang juga komisaris PT Arfasona Mandiri, tiba-tiba mengajaknya menjadi pembimbing haji dan umrah di perusahaannya. Bagi Bashori, tugas yang diembannya tidaklah asing dan sulit. Hal itu karena ia sudah punya pengalaman 3 tahun di Mekkah. Tapi toh ia tetap terus belajar.

Setelah satu tahun menjadi pembimbing haji di Arfasona, Bashori pindah ke PT Garuda Indonesia. Saat itu, koperasi Garuda sedang membutuhkan petugas pembimbing haji dan umrah. Selama dua tahun ia berada di Garuda. Dan selama itu pula ia banyak mengambil nilai positif dari apa yang dikerjakannya.

Berbagai pengalaman yang telah ia dapatkan membuatnya ingin membuka sendiri usaha travel haji dan umrah. Setelah melakukan berbagai persiapan, mulai dari tempat, administrasi, surat perizinan buka usaha, sumber daya manusia, dan lain sebagainya. Akhirnya, Bashori mendirikan perusahaan sendiri pada tanggal 15 Juli 1999. Namanya, PT Tisaga Multazam Utama.

”Nama itu saya ambil dari sebuah tempat mustajab untuk berdoa: Multazam. Di tempat ini pula saya bermunajat untuk bisa sering kembali ke Mekkah,” ujarnya.

Karena mungkin sudah berpengalaman, tidak sedikit order yang didapatkan Bashori. Pada tahun 2003 misalnya, Multazam dipercaya memberangkatkan 40 jamaah umrah yang semuanya adalah kiai dari Jawa Timur. “Alhamdulillah saya mendapatkan kepercayaan untuk memberangkatkan para kiai mulai dari Banyuwangi, Jember, Probolinggo, Surabaya, Pasuruan dan lainnya,” katanya.

Kini, Multazam Tour telah memiliki banyak //partner// bisnis di berbagai kota di Indonesia. Dari mulai Palembang, Lampung, Balikpapan, Tegal, dan Surabaya. Dalam menjalankan bisnisnya, Bashori memprioritaskan kepuasan pelanggan, integritas, kualitas, komitmen, //team work//, kompetitif, dan inisiatif. ”Alhamdulillah, telah ribuan jamaah yang telah kami berangkatkan,” katanya.

Bagi Bashori, merintis usaha memang tidak mudah. Perlu perjuangan keras serta semangat yang tinggi. “Pokoknya pantang menyerah pada keadaan,” tandasnya. Siap...fathurrozi NK

Tidak ada komentar: